Kreasi Anak Muda Bandung Selamatkan Pasar Tradisional
Pasar tradisional terancam harga komoditas yang tidak pasti. Keberadaan ruang-ruang kreatif diharapkan bisa ikut menjaga napas panjangnya.
Oleh
MACHRADIN WAHYUDI RITONGA
·7 menit baca
MACHRADIN WAHYUDI RITONGA
Suasana depan Pasar Sarijadi, Kota Bandung, Jawa Barat, Rabu (9/3/2022). Pasar yang eksis sejak tahun 1985 ini tengah direvitalisasi agar lebih akrab dengan anak muda.
Kisah hidup pasar tradisional kini tidak ringan. Di tengah ketidakpastian harga beragam komoditas hingga kemudahan yang ditawarkan transaksi daring, pedagang tradisional butuh inovasi dan solusi. Di Bandung, ruang kreatif khas anak muda coba didekatkan untuk membuat eksistensi pasar tradisional tetap ada.
Di antara lorong sepi Pasar Sarijadi, Kota Bandung, Jumat (18/3/2022), Sartika (63) setia menunggu pelanggan yang sesungguhnya sudah jarang berbelanja di sana. Namun, Sartika tidak bisa menutupi kekhawatirannya akibat pandemi hingga harga komoditas yang tidak pasti. Dia tidak tahu sampai kapan akan bertahan di pasar yang menjadi tempatnya berjualan selama lebih dari 25 tahun.
Dari belasan lapak berukuran 2,5 meter x 2,5 meter yang ada di sekitar Sartika, hanya kurang dari lima unit yang diisi penjual. Dia pun hanya mendapatkan belasan pembeli setelah buka pukul 08.00-11.00. Itu pun dari pelanggan yang berbelanja untuk kebutuhan sehari-hari dan kantin yang ada di sekitar pasar.
Selama dua tahun terakhir, Sartika merasakan jumlah pembeli yang berkurang drastis selama pandemi. Sebelumnya Sartika tidak pernah khawatir akan kekurangan pelanggan.
Dulu, pasar yang berada di dekat sejumlah kampus ini selalu ramai pembeli. Bahkan, puluhan orang bisa berbelanja di kios Sartika sejak pagi hingga tengah hari. Dari mahasiswa hingga pedagang kantin di kampus selalu berbelanja di sana untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
”Saya sudah berjualan di sini dari umur 35 tahun. Dulu, yang belanja di sini tidak hanya orang tua, tetapi juga mahasiswa yang kos di sekitar sini. Sekarang karena pandemi, tidak ada mahasiswa, kantin-kantin juga tidak buka. Jadi, tidak ada yang belanja,” ujarnya lesu.
Kekhawatirannya makin bertambah di tengah harga barang pokok yang tidak pasti, seperti minyak goreng yang harganya kembali naik setelah harga eceran tertingginya dicabut.
”Walaupun harga naik, saya tetap sulit mendapatkan minyak goreng. Kali ini saja saya hanya dapat satu dus 2 liter, isi enam, dijual harga Rp 45.000. Walaupun sudah di bawah harga supermarket, tetap tidak ada yang beli,” ujarnya.
Dede Rohma (54), pedagang di Pasar Sarijadi lainnya, bahkan belum mendapatkan suplai minyak goreng sejak beberapa hari lalu. Dia berujar, berulang kali pelanggannya kecewa karena minyak yang diinginkan tidak kunjung datang.
”Kalau terus tidak ada, saya khawatir pelanggan tidak mau lagi ke sini. Apalagi sekarang pandemi, pembeli makin sedikit. Kalau tidak dapat minyak di sini, pelanggan lari ke online,” katanya.
Asep (40), pedagang sayuran dan bumbu dapur di Pasar Sarijadi, pun hanya bisa gigit jari karena jarang sekali ada pembeli. Padahal, pria asal Cimahi Utara ini berharap bisa mendapatkan pelanggan di pasar yang berjarak 9 kilometer dari rumahnya.
”Biasanya saya berjualan di Cimahi. Karena di sana sudah tidak boleh berjualan, saya mencoba buka lapak di sini. Ternyata masih saja sepi. Dapat Rp 100.000 sehari saja sudah syukur,” ujarnya.
Ubah pasar
MACHRADIN WAHYUDI RITONGA
Seorang pedagang melintasi salah satu koridor di Pasar Sarijadi, Kota Bandung, Jawa Barat, yang sepi pengunjung, Jumat (18/3/2022). Selama pandemi, pasar ini menjadi jarang dikunjungi pembeli.
Saat para pedagang tradisional di lantai dasar Pasar Sarijadi menghadapi sepinya pasar, mereka menaruh harap pada pembangunan di tiga lantai di atasnya. Lantai 1, 2, dan 3 akan ditempati oleh sejumlah kios makanan dan tempat nongkrong anak muda.
Revitalisasi Pasar Sarijadi yang eksis sejak tahun 1985 ini telah dilakukan sejak tahun 2015. Pembangunan digagas oleh Ridwan Kamil, saat itu Wali Kota Bandung. Ia mengklaim mengedepankan kenyamanan hingga aksesibilitas untuk penyandang disabilitas.
Lebar koridor di lantai dasar lebih dari 1,5 meter. Selain tangga, ada pula akses jalan miring yang bisa diakses oleh pengguna kursi roda hingga ke lantai 4. Namun, kondisi pasar menjadi agak menjorok ke dalam sehingga para penjual di lantai dasar tidak terlihat dari pinggir jalan.
”Semoga saja nanti lapak yang di atas akan belanja di bawah untuk kebutuhan mereka. Soalnya sekarang sudah jarang juga anak-anak muda berbelanja ke pasar. Tetapi sayang, tempat kami terlalu ke bawah, jadi tidak terlalu terlihat,” ujar Sartika.
Menurut Kepala Pasar Sarijadi Yulia Ulfah, tiga lantai teratas memang akan dikelola oleh pihak ketiga untuk berbagai aktivitas. Menurut rencana, puluhan kios yang ada di atas akan digunakan untuk berjualan aneka makanan dan sejumlah produk. Dia berharap para pengelola kios akan berbelanja ke bawah untuk memenuhi bahan bakunya.
”Kami berharap pandemi segera berakhir dan ini jadi momentum untuk meramaikan kembali pasar. Saat ini hanya 19 kios dari 63 unit di lantai dasar yang terisi pedagang. Bahkan, hanya 13 pedagang yang aktif,” ujarnya.
Dekati kaum muda
KOMPAS/ PRIYOMBODO
Suasana di warung nasi Bu Eha di Pasar Cihapit, Bandung.
Tidak hanya Pasar Sarijadi yang berbenah untuk menarik minat anak muda. Dua pasar lainnya di Kota Bandung, yakni Pasar Cihapit dan Pasar Kosambi, mengubah tampilan hingga fungsi yang ada di dalamnya agar menjadi akrab dengan pelanggan muda.
Pasar Cihapit yang ada sejak zaman Hindia Belanda bergerak melintasi zaman. Pasar yang memiliki sejumlah jejak sejarah ini mulai berbenah dan mengakrabkan diri dengan anak muda. Di samping memberikan mural yang apik, di sejumlah titik terdapat kedai kopi yang selalu ramai sebelum pandemi.
Selain sayur hingga lauk yang dijual di sana, warung nasi Bu Eha jadi ikon yang paling setia berdiri di sana, tidak lama setelah Indonesia merdeka. Dirintis oleh almarhum Bu Enok, ibu kandung Bu Eha, gepuk, perkedel, dan sambal dadak jadi incaran pelanggan setianya.
Meski tidak lagi muda, Bu Eha ingat Pasar Cihapit awalnya lapangan tempat menjemur pakaian usaha penatu. Masa jaya Cihapit sekitar tahun 1970-an hingga mengalami kemunduran memasuki tahun 2000-an.
Akan tetapi, itu kisah masa lalu. Sejak 2010, Pasar Cihapit lebih tertata. Tidak becek dan jorok, kiosnya beragam. Ada pedagang sayur hingga daging di bagian depan pasar. Di bagian belakang pasar, ”pesta” kuliner digelar. Bersama menu legendaris seperti Bu Eha dan Kupat Tahu Cihapit, ada kedai kopi, restoran rasa oriental, hingga es krim ikut buka lapak.
MACHRADIN WAHYUDI RITONGA
Suasana The Hallway, Pasar Kosambi, Kota Bandung, Jawa Barat, Kamis (10/3/2022). Ruang kreatif ini diisi oleh sejumlah produk UMKM dari anak-anak muda.
Pasar Kosambi lewat kawasan The Hallway juga diramaikan muda-mudi Bandung. The Hallway merupakan ruang kreatif yang ada di lantai dua Pasar Kosambi di Jalan Ahmad Yani, Kota Bandung.
Di sana terdapat lebih dari 150 gerai produk usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) kreasi anak muda Kota Bandung, seperti distro, fotografi, dan kerajinan kayu. Selain itu, ada 20 gerai makanan yang akan memanjakan lidah pengunjung.
Sebagian besar pedagang makanan ini berbelanja di pasar tradisional Kosambi yang ada di lantai dasar. Kevin Dwi Lestanto (30) adalah salah satunya. Dia sering berjualan di pasar tradisional untuk memenuhi kebutuhan kedai ramen yang dikelolanya di The Hallway.
Sekali berbelanja, transaksi yang dikeluarkan Rp 300.000-Rp 700.000. Kevin mengaku lebih suka berbelanja di bawah karena dekat sehingga terjaga kesegarannya. Menurut dia, ada keseruan tersendiri saat berbelanja di pasar tradisional.
”Contohnya waktu cari pedagang ayam di bawah. Saya dulu suka belanja di Pasar Andir. Lalu pengelola The Hallway bilang di bawah juga ada. Pas saya coba tawar, mereka mau memberi harga sama dengan yang di Andir. Jadi, saya bisa menghemat tenaga tanpa perlu ke Andir,” ujarnya. Pasar Andir berjarak sekitar 7 kilometer atau setara setengah hingga satu jam dari Kosambi.
Selain harus bisa menawar, Kevin juga harus dekat dengan penjual agar bisa membantunya memenuhi kebutuhan bahan pangan yang segar. Bahkan, tidak jarang Kevin menumpuk pembayaran belanjanya di akhir bulan.
”Saya sudah berbelanja di bawah (pasar tradisional) selama 1,5 tahun dan sudah ada beberapa pedagang yang berlangganan dengan saya. Kalau sudah dekat, pedagangnya bahkan mau dibon, jadi uangnya bisa saya pakai untuk kebutuhan lain,” ujar Kevin sambil tertawa.
Paduan kreasi
Konsep mendekatkan anak muda dengan pasar tradisional memang dipegang oleh The Hallway sejak dirancang tahun 2018. Bahkan, kebakaran di Pasar Kosambi tidak menyurutkan The Hallway dekat dengan pasar tradisional.
”Sekitar enam bulan pembangunan The Hallway, kebakaran terjadi di Kosambi pada tahun 2019. Tetapi, kami tetap melanjutkan pembangunan. Harapannya agar Pasar Kosambi ramai kembali,” ujar Pam Setiawan (30), salah satu pengelola The Hallway.
Pam memaparkan, The Hallway dikhususkan untuk UMKM yang memiliki kreasi unik dan menarik. Bahkan, untuk gerai makanan, pihaknya selalu mengurasi agar jenis makanan berbeda satu sama lain.
”Selain mengurangi persaingan, ini juga membuat kuliner di The Hallway makin beragam. Jadi, ada banyak jenis bahan makanan yang mungkin bisa mereka beli di pasar tradisional,” ujarnya.
Di tengah ketidakpastian beragam harga komoditas dan kemudahan daring, setidaknya kedekatan dengan ragam energi kreatif diharapkan membuat pasar tradisional di Bandung tidak mati begitu saja. Dengan begitu, sejarah hingga peran pasar terus hidup untuk menjamin kesejahteraan lintas generasi.