Kesadaran konsumen yang hendak menikmati hidangan terus meningkat. Mereka sama sekali tak keberatan dengan berbagai inisiatif yang diaplikasikan pengelola usaha. Teknologi itu sejatinya menguntungkan kedua belah pihak.
Oleh
DWI BAYU RADIUS, DWI AS SETIANINGSIH
·6 menit baca
Pengunjung tujuan-tujuan bersantap kini semakin berhati-hati. Mereka tak hanya menjaga jarak dan menerapkan protokol kesehatan. Reservasi, memesan secara daring, hingga jam makan yang ditentukan pun dipatuhi. Bukan merepotkan, tamu justru sadar jika pengelola berpikir jauh agar tempatnya lebih aman.
Gita Safira (21) asyik bercengkerama dengan beberapa sahabatnya. Mahasiswi-mahasiswi universitas di Jakarta itu duduk beralaskan tikar bermotif bunga dan kain kotak-kotak dengan bean bag atau kantong besar serupa bantal. Rekreasi mereka jadi unik lantaran keranjang piknik yang diletakkan di atas boks kayu. Masker tentu dikenakan.
Mereka tengah menikmati suasana Taman Sedjarah di Museum Satria Mandala, Jakarta, Rabu (16/2/2022). Di bawah pohon rimbun, udara mulai sejuk dengan matahari yang tak lagi garang bersinar. Rekita Amalia (21) yang asyik berswafoto dengan latar belakang rudal lantas tertawa dan memekik seraya terbirit-birit saat melihat kawanannya berpotret bersama.
”Kami lagi libur kuliah. Jadi, mau piknik saja sambil ngobrol. Bikin konten Tiktok, Youtube, atau Instagram juga,” kata Gita. Ia mengecek media sosial Taman Sedjarah. Ternyata, foto-foto kafe dengan lahan berumput dan aneka tanaman itu sangat memikat.
”Langsung kami datang naik mobil bareng. Baru pertama ke sini. Senang banget dan adem. Enggak perlu repot bawa makanan dari rumah,” ujarnya. Gita pun merasa aman dengan memindai kode bar terlebih dulu untuk memesan makanan. Malah, ia bisa reservasi sebelum datang untuk mengurangi antrean.
”Jadi, scan (pindai) menu dulu. Kami pilih makanan yang mau dipesan, baru bayar. Di kasir sebentar saja. Enggak ada kesulitan sama sekali,” ucapnya. Gita mengambil gawai milik kafe yang akan menginformasikannya jika makanan sudah siap diambil.
”Enggak ngumpul buat nunggu pesanan jadi. Harga makanannya pas. Pelayanannya juga bagus,” kata Gita yang piknik selama dua jam hingga pukul 17.00 itu. Ia leluasa lesehan karena taman yang begitu lapang. Jarak antartikar pun jauh.
Protokol kesehatan (prokes) ketat bisa diterapkan. Alat utama sistem persenjataan (alutsista) yang dipajang menambah pengetahuan Gita dan kawan-kawannya. ”Pesawat, kapal, sampai meriam menarik untuk dilihat. Baca-baca keterangan monumennya jadi belajar sejarah,” katanya sambil tersenyum.
Fira Anggilita (21) juga berkunjung ke Taman Sedjarah bersama tiga temannya. Kebetulan, temannya, Icha, berencana membuka usaha pakaian daring dan perlu membuat foto produk. Fira membantu menjadi model.
Demi keamanan dan kenyamanan, mereka memilih Taman Sedjarah. Sayang, baru 15 menit tikar digelar, hujan turun cukup lebat. Mereka terpaksa pindah ke area dalam.
”Tadinya mau foto-foto sekalian piknik. Tapi, baru dapet satu angle, hujan. Ya, sudah, berhenti,” kata mahasiswi universitas di Jakarta itu. Terlepas dari rencana yang gagal, ia mengatakan, Taman Sedjarah sangat pas dalam situasi pandemi. Konsep piknik membuat mereka bisa mengatur jarak dengan pengunjung lain.
”Aku berani keluar rumah asal prokes dijaga. Di sini, kan, enggak terlalu ramai, jadi aku lumayan berani. Tempat ini cukup representatif. Suasana alamnya dapet, protokolnya juga oke. Insya Allah aman,” tutur Fira yang sudah divaksin dua kali ini.
Di tempat lain yang juga menawarkan konsep piknik, pengaturan jaraknya masih terlalu dekat. Apalagi di akhir pekan, sangat padat. Fira memilih tetap berhati-hati.
”Di sini relatif berjarak, jadi lebih aman. Kalau weekdaygini juga sepi,” katanya. Penggunaan aplikasi khusus untuk pemesanan makanan dan minuman, menurut dia, juga cukup bagus.
Justru membantu
Sejumlah pengunjung juga merasa tenang saat makan sambil menikmati panorama Padi-Padi di Jalan Raya Pakuhaji, Kramat, Tangerang, Banten. Di tempat piknik itu, konsumen harus reservasi, memesan makanan lewat ponsel, dan membayar secara nontunai jika memungkinkan.
Pramusaji yang hilir mudik mengantar hidangan pun mengenakan masker. Di tengah merdunya kicau pipit yang bertengger dan beterbangan, pengunjung duduk atau lesehan di padang rumput luas. Jarak antarmeja beserta kursinya atau tikar juga berjauhan.
Iskandar Zulkarnain (32) tak direpotkan dengan reservasi untuk berkunjung ke Padi-Padi. Ia menggunakan aplikasi percakapan lewat ponsel. ”Gampang banget. Lebih baik begitu karena jadi secure (aman). Enggak risau dengan ruang terbuka yang lega,” katanya.
Ia berkunjung untuk merayakan ulang tahun pernikahan. Saat ditanya usia rumah tangganya, istri Iskandar, Ricarla Anjani (32), seraya tersipu menjawab sudah tujuh tahun. Mereka datang dengan anaknya yang tampak meloncat dan berputar-putar. Bocah itu juga asyik bergantungan di lengan orangtuanya.
”Justru, reservasi membantu. Kasihan, kan, kalau pengunjung datang enggak dapat meja atau tikar. Konsumen niat datang dan yakin karena tamu dibatasi,” kata Iskandar. Warga Tangerang Selatan, Banten, itu memang mencari lokasi seperti Padi-Padi.
”Ternyata, sesuai ekspektasi. Tempatnya adem, sepi, nyaman, dan tenang. Prokesnya juga bagus,” ucap Iskandar yang menempuh perjalanan sekitar satu jam itu. Ia tertarik mengunjungi Padi-Padi setelah melihat sejumlah foto lewat internet.
Amalia (44) juga tertarik pada konsep piknik di tengah alam. Lokasi pilihannya, Tansu Parung Plantation, berlokasi di Bogor, Jawa Barat. Ini adalah areal kebun seluas 9 hektar di Parung dengan sejumlah fasilitas. Amalia merasa tak terlalu banyak bersinggungan dengan orang lain.
”Sebelumnya cari info di media sosial soal lokasi dan prokesnya. Ternyata, selain tempatnya privat, tak banyak menerima pengunjung di saat bersamaan, mereka juga menerapkan reservasi serta pemilihan dan pemesanan makanan melalui aplikasi khusus. Tinggal scanbarcode (kode bar) sesuai nomor meja atau tempat duduk,” tuturnya.
Reservasi dengan membayar sejumlah biaya dilakukan melalui Whatsapp. Pengelola lalu mengirimkan detail aturan dan prokes sekaligus menu. Begitu datang, Amalia tinggal memilih lokasi, lalu memesan makanan tambahan melalui aplikasi khusus.
”Praktis banget dan minimal kontak karena enggak harus order di kasir. Kontaknya paling pas pramusaji antar pesanan. Bayar juga cashless (nontunai). Tinggal jaga jarak. Mereka juga tertib pakai masker,” katanya.
Amalia relatif tak banyak berjumpa dengan konsumen lain. Saat berkunjung, hanya ada keluarga Amalia dan satu keluarga lagi yang duduknya pun sangat berjauhan. Karena sedang sepi, waktu yang semestinya 90 menit bisa lebih longgar. Setelah makan dan puas berjalan-jalan, Amalia pulang. ”Enggak pakai kontak-kontak sama orang lain. Tinggal masuk mobil,” ujarnya.
Konstruksi kesadaran
Menurut dia, Tansu Parung Plantation sangat memudahkan di tengah pandemi. Pengunjung bisa berada di luar rumah, tetapi tetap merasa aman dan nyaman. ”Kreativitas dan inovasi ini keren banget. Kalau bisa dicontoh tempat-tempat lain oke banget,” kata Amalia.
Pengamat budaya populer dan gaya hidup Idi Subandy Ibrahim menyambut baik inovasi-inovasi yang diterapkan pengusaha kuliner demi ketenangan konsumen. ”Masyarakat tertentu masih susah diatur. Pandemi jadi cara belajar baru supaya konsumen tak berkumpul,” ujarnya.
Dosen Komunikasi Pascasarjana Universitas Pasundan dan Universitas Brawijaya itu berpendapat, restoran pun diuntungkan. ”Sistem mereka menciptakan keteraturan baru agar tak terjadi antrean. Konsumen yang datang pun niatnya tentu besar agar semakin aman untuk makan,” katanya.
Ia meyakini, jika pandemi sudah usai pun, sistem itu tetap diimplementasikan karena kemajuan teknologi yang sangat memudahkan. ”Saling bikin nyaman. Konsumen pun teredukasi. Mereka merasa naik kelas dengan statusnya yang meningkat secara simbolik,” katanya.
Asumsinya, boleh dikatakan tamu yang memesan menu secara daring, reservasi, dan membayar nontunai termasuk kalangan menengah atas dan cenderung memahami modernisasi sistem dengan baik. Idi menyebut fenomena itu konstruksi kesadaran yang dibuat teknologi.
Jika diberlakukan hingga rumah makan kecil, bisa saja kalangan kelas bawah dikondisikan untuk mengikuti inovasi serupa. ”Teknologi membuat demokratisasi cita rasa. Inovasi akan terus berlanjut untuk mempermudah banyak orang,” ujar Idi.