Karakter dunia fiksi (oleh pengarang yang baik) meninggalkan kesan lebih mendalam dibandingkan manusia-manusia nyata pada umumnya.
Oleh
Bre Redana
·4 menit baca
Meursault, Olenka, Holden Caulfield, Kafka Tamura, Minke, Hank Chinaski, Tomas-Teresa-Sabina, Karto Iyo, Ajo Sidi, Ismail Smile, Simone Simonini, Jose Arcadio Buendia, Estha-Rachel-Ammu, Parvez-Ali-Bettina, Sri Sumarah, Lady Constance ”Connie” Chatterley, Ajo Kawir, dan seterusnya.
Kalau nama-nama tokoh fiktif tersebut saya teruskan, tulisan ini akan menjadi tak ubahnya buku telepon tempo dulu. Mereka adalah tokoh-tokoh dunia prosa oleh para pengarang dari berbagai belahan dunia dan zaman, kecuali Karto Iyo, dari puisi Darmanto Jatman berjudul Karto Iyo Bilang mBoten.
Bagi saya, karakter dunia fiksi (oleh pengarang yang baik) meninggalkan kesan lebih mendalam dibandingkan manusia-manusia nyata pada umumnya.
Jose Arcadio Buendia dalam One Hundred Years of Solitude saya kenang keteguhan sikapnya serta minatnya yang tak pernah goyah terhadap pengetahuan, inovasi, dan hal-hal yang ia impikan bisa mengubah dunia. Dia berani menjalani konsekuensi dari pilihan hidupnya: kesepian.
Dalam situasi sekarang sering saya teringat tokoh-tokoh dalam My Son the Fanatic karya Hanif Kureishi: Parvez, Ali, dan Bettina. Parvez, emigran Pakistan di London, mempertaruhkan hidup sebagai sopir taksi untuk kebahagiaan anak lelakinya, Ali. Ia bahagia bahwa anaknya bisa tumbuh dan berasimilasi dengan baik terhadap budaya Barat yang fleksibel, dalam hal ini London.
Sampai akhirnya ia bertanya-tanya, kenapa anaknya tidak lagi mendengarkan musik, berhenti main basket, memutuskan hubungan dengan pacarnya wanita kulit putih, mengisolasi diri, tidak lagi menaruh hormat terhadap orangtua. Apalagi terhadap Bettina, perempuan malam yang menjadi sandaran Parvez dalam menghadapi kegalauan hidup.
My Son the Fanatic adalah cerminan konflik Barat versus Islam, diwakili oleh hubungan bapak-anak, Parvez dan Ali. Termasuk di sini persoalan budaya dan identitas. Dalam ukuran agama yang memesona Ali yang tengah mencari jati diri, seluruh isi dunia ia anggap tidak beres belaka. Orientasi dia surga.
Untuk tema spiritualitas keagamaan, tak kurang di negeri ini pernah lahir karya monumental berjudul Robohnya Surau Kami oleh AA Navis. Tokoh novel ini, Ajo Sidi, dengan bualannya membuat kakek tua penjaga surau dilanda keresahan. Si kakek diresahkan oleh bualan Ajo Sidi, ditakut-takuti neraka, bahwa ibadat saja tidak cukup. Akhirnya penjaga surau bunuh diri.
Dulu, setiap kali ke Padang saya selalu menyempatkan diri bertandang ke rumah Pak Navis. Sumatera Barat saya sukai baik alam maupun makanannya. Kepada Pak Navis yang kini telah almarhum saya pernah bertanya bagaimana proses kelahiran karya tadi. Saya banyak belajar darinya.
Belum lagi tokoh-tokoh dalam The Unbearable Lightness of Being karya Milan Kundera. Novel ini merupakan salah satu favorit saya. Saya suka membayangkan Sabina, wanita pelukis, yang meski tidak percaya pada cinta dan komitmen, apalagi agama, senantiasa membuat tokoh utama dalam novel ini, Tomas, ingin kembali padanya.
Apa yang menarik pada wanita ini?
Lightness, begitu lebih kurang dirumuskan oleh Kundera. Suatu karakter yang sulit diterjemahkan, apalagi ditemukan dalam dunia nyata. Oh ya, Sabina suka memakai topi, bahkan tatkala bercinta.
Saat menulis esai ini saya tengah membaca Girl, Woman, Other (juga sambil berdoa agar balapan Formula E sukses).Ditulis aktivis literasi, pengajar di Universitas Brunel, London, Bernardine Evaristo, novel ini menampilkan tokoh-tokoh bernama Amma, Yazz, Dominique, Carole, Bummi, dan masih banyak lagi. Semuanya perempuan, kulit hitam, termarjinalkan, lesbian, hidup dalam perjuangan berat, sebagian tumbang, sebagian lagi keluar sebagai pemenang.
Sebagai manusia lawas produk media cetak bekerja puluhan tahun dan pensiun sebagai orang koran, saya tidak bisa membayangkan diri hidup tanpa baca buku. Tentu saja saya tidak bisa menghindarkan diri menggunakan peranti digital, termasuk telepon seluler. Hanya saja, saya gagap dan tidak memiliki engagement terhadapnya.
Sama seperti tokoh-tokoh dunia novel, dalam era digital manusia nyata bermutasi menjadi manusia fiktif, maya, sebagian mengidentifikasi diri dengan akun palsu, menjadi buto tidak dikenal dari kegelapan hutan medsos.
Mereka bising, sibuk menyebar benci dan rasa permusuhan, rajin mengucapkan selamat pagi dan membagikan petuah-petuah hidup yang menurut saya sebaiknya diabaikan saja.