Strategi Akselerasi Transisi Energi Melalui Keuangan Hijau
Transisi energi di Indonesia tidak cukup hanya mengandalkan green sukuk. Strategi lainnya untuk mengakselerasi transisi energi adalah mencipta pasar karbon.
Pada Presidensi G20, salah satu topik utama adalah transisi energi berkelanjutan (sustainable energy transition). Transisi energi menuju net zero emission (NZE) merupakan salah satu upaya bersama G20 untuk menjawab tantangan global tersebut. Negara-negara G20 berkontribusi 75 persen atas permintaan energi dunia. Maka negara-negara ini berperan strategis untuk mendorong pemanfaatan energi bersih dalam memitigasi perubahan iklim.
Pemerintah Indonesia menempatkan transisi energi sebagai prioritas, mengingat komitmen menurunkan emisi gas rumah kaca pada tahun 2030, mencapai 29 persen tanpa usaha keras; namun apabila bekerja sama dengan masyarakat dunia, targetnya dapat menjadi 41 persen.
Topik transisi energi berkelanjutan pada Presidensi G20 berfokus pada tiga prioritas: (1) akses, (2) teknologi, dan (3) pendanaan. Isu pendanaan dinilai sangat penting mengingat biaya yang dibutuhkan untuk transisi energi ini sangatlah besar. Pada suatu forum, Sri Mulyani, Menteri Keuangan Republik Indonesia pernah mengemukakan bahwa dana yang dibutuhkan untuk membiayai transisi energi sangatlah besar, yaitu diperkirakan Rp 266 triliun/tahun sampai dengan 2030. Transisi energi itu mahal!
Namun, kita akan membayar lebih mahal jika kita tidak mengakselerasi transisi energi dalam rangka memitigasi perubahan iklim. Risiko yang harus ditanggung adalah antara lain kelangkaan air, kerusakan ekosistem lahan, dan penurunan kualitas kesehatan manusia.
Secara ekonomi, berdasarkan Roadmap Nationally Determined Contribution (NDC) Adaptasi tahun 2020, potensi kerugian yang akan dialami Indonesia diperkirakan mencapai 0,66 persen sampai 3,45 persen PDB pada tahun 2030. Maka akselerasi transisi energi merupakan pilihan yan tepat.
Mengingat besarnya biaya untuk transisi energi tersebut, maka diperlukan terobosan baru untuk biayai investasi sejumlah proyek yang mendukung transisi energi. Namun biaya besar tersebut seyogyanya tidak ditanggung oleh keuangan negara. Apalagi saat ini, anggaran pemerintah dibutuhkan untuk penanganan sektor pasca pendemi Covid-19.
Pemerintah berperan memformulasi kebijakan inovatif untuk implementasi berbagai upaya pembiayaan transisi energi. Presidensi G20 sendiri merupakan momen penting untuk “menagih” komitmen dari negara maju yang bertujuan untuk memobilisasi climate finance 100 miliar dollar AS setiap tahun, yang dimulai pada tahun 2020 sampai tahun 2025. Selain juga Pemerintah Indonesia mengajak sektor swasta berpartisipasi melalui green finance.
Pembiayaan hijau sebagai inovasi instrumen investasi
Green finance atau ‘pembiayaan hijau’ merupakan salah satu mekanisme untuk implementasi transisi energi berkelanjutan. Hal itu berupa aktivitas keuangan untuk investasi pada proyek yang terkait dengan mitigasi perubahan iklim. Instrumen green finance berupa green bonds, green sukuk, green securities, carbon finance dan sebagainya.
Penerbitan pertama green bonds atau obligasi hijau dilakukan tahun 2007 oleh Bank Dunia. Climate Bonds Initiative pada tahun 2019 melaporkan akumulasi penerbitan green bonds telah mencatat 521 miliar dollar AS pada akhir tahun 2018.
Di Indonesia, pemerintah telah melakukan terobosan di sektor keuangan dengan menerbitkan green sukuk sebanyak tiga kali. Green sukuk adalah instrumen obligasi hijau berbasis prinsip syariah Islam. Penerbitan pertama green sukuk adalah pada tahun 2018, yang bernama Sukuk Hijau Republik Indonesia pada pada pasar keuangan global. Penerbitan pertama telah berhasil mengumpulkan dana senilai USD 1,25 miliar.
Indonesia boleh berbangga karena hal ini merupakan Sukuk Hijau negara pertama di dunia yang investornya pun tersebar di dunia. Penerbitan kedua pada tahun 2019 dengan nilai USD 750 juta. Selanjutnya, pada November 2019, Pemerintah menerbitkan lagi green sukuk ritel pertama di dunia senilai Rp 1,46 triliun dan berhasil menarik investor-investor Indonesia, termasuk generasi milenial.
Hasil penerbitan green sukuk tersebut didistribusikan untuk membiayai proyek ramah lingkungan sesuai dengan Kerangka Hijau (Green Framework) Republik Indonesia.
Pada tahun 2021, Kementerian Keuangan melaporkan bahwa kumulatif penerbitan green sukuk Indonesia di tahun 2020 telah mencapai USD 3,4 miliar dari global green sukuk (USD 2,75 milyar) dan retail green sukuk (USD 490,1 juta).
Dana yang dikumpulkan tersebut untuk membiayai berbagai proyek pembangunan berkelanjutan. Tahun 2020 misalnya, Kementerian Keuangan melaporkan pembiayaan pada proyek transportasi berkelanjutan, emisi gas rumah kaca yang berhasil diturunkan sekitar 1,4 juta ton CO2e. Masyarakat juga diberikan keuntungan dalam sektor transportasi karena dapat menghemat waktu perjalanan rata-rata sebanyak 30 menit.
Tantangan
Namun, green finance bukan tanpa tantangan. ADB mengemukakan setidaknya terdapat 3 (tiga) tantangan dalam menerapkan mekanisme green finance, yaitu; (1) mengidentifikasi proyek yang tepat; (2) membangun rencana yang kompleks yang melibatkan sektor publik dan swasta, dan bisa melibatkan negara lain; dan (3) menstrukturisasi pembiayaan.
Mengidentifikasi proyek yang tepat untuk dibiayai oleh inventasi hijau bukan hal yang mudah. Teknologi energi terbarukan bisa dikatakan “relatif baru” dibandingkan teknologi energi fosil yang sudah mature dan telah diimplementasikan dalam jangka panjang. Misalnya, investor lebih mudah memperkirakan resiko pembiayaan pembangunan PLTU, dibandingkan pembangunan pembangkit listrik tenaga bayu (PLT Bayu).
Selanjutnya green finance ini memerlukan perencanaan yang matang yang melibatkan banyak pihak dari sektor publik dan swasta. Cakupan investor yang dijaring melalui mekanisme ini berbeda sesuai dengan perencanaan dan keterlibatan pemangku kepentingan.
Melalui terobosan kebijakan yang inovatif, Pemerintah Indonesia dapat menerbitkan green sukuk di pasar global pada tahun 2018. Hal itu perlu persiapan yang kompleks mengingat penerbitan green sukuk memerlukan suatu kerangka acuan tertentu dan bersifat global.
Pada konteks Indonesia, pemerintah menggunakan green framework sebagai acuan untuk mengalokasikan pembiayaan green sukuk yang mencakup 9 (sembilan) sektor; yaitu, energi terbarukan, transportasi berkelanjutan, manajemen sumber daya alam berkelanjutan, pariwisata hijau, pertanian berkelanjutan, pengelolaan limbah dan energi, efisiensi energi, serta ketahanan terhadap dampak perubahan iklim. Pedoman tersebut disusun dengan mengacu pada penerbitan obligasi hijau yang diimplementasikan di negara lain, yaitu Polandia, Fiji dan Perancis.
Mengembangkan Strategi
Transisi energi di Indonesia tidak cukup hanya mengandalkan green sukuk. Strategi lainnya untuk mengakselerasi transisi energi adalah mencipta pasar karbon. Pada tahun 2021, Pemerintah Indonesia mengeluarkan Undang-undang No 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan yang mengatur emisi karbon. UU ini menjadi landasan bagi Indonesia menerapkan pajak karbon dengan prinsip keadilan (just) dan keterjangkauan (affordable).
Pajak karbon seharusnya direalisasikan tanggal 1 April 2022. Namun sejumlah aturan masih disusun, terkait tarif, tata cara dan mekanisme, peta jalan, serta subyek dan alokasi pajak karbon. Badan usaha yang memiliki PLTU batubara merupakan inisiatif pertama tenang pengenaan pajak karbon. Pemerintah Indonesia juga telah mengeluarkan Peraturan Presiden No. 98 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon (NEK), atau nilai setiap unit emisi gas rumah kaca yang dihasilkan dari kegiatan manusia dan kegiatan ekonomi. Peraturan tersebut merupakan pintu menuju perdagangan karbon.
Sumber Daya Manusia Hijau
Strategi green finance tentunya tidak dapat berjalan dengan baik jika kapabilitas sumber daya manusia di sektor energi dan keuangan tidak siap. Maka strategi green finance harus diimbangi oleh strategi pengembangan sumber daya manusia berwawasan lingkungan hijau. Sasarannya adalah menciptakan “sumber daya manusia hijau”, terutama “investor hijau”, “konsumen hijau”, dan “tenaga kerja hijau” untuk mendukung implementasi ekonomi hijau.
Strategi ini merupakan suatu strategi yang paling efektif mendorong terbentuknya implementasi ekonomi hijau yang berkelanjutan, jika seluruh elemen masyarakat dapat bergerak (bersifat kolektif) dan saling mendukung. Contoh, dengan terbentuknya sumber daya hijau, maka para investor akan mulai berhenti membiayai proyek yang dinilai dapat berdampak negatif terhadap lingkungan, dan konsumen lebih memilih produk ramah lingkungan.
Saat ini, pada sektor energi, lembaga keuangan dunia bertahap mulai beralih pada investasi pembangkit listrik berbasis energi bersih, dan tidak membiayai proyek pembangkit listrik berbasis batubara. Juga konsumen listrik di negara maju lebih memilih membayar listrik yang sedikit lebih mahal asalkan berasal dari pembangkit listrik berbasis energi terbarukan.
Konsumen listrik juga dapat memilih teknologi energi terbarukan, seperti Pembangkit Listrik Tenaga Surya Atap (PLTS Atap), sebagai salah satu kontribusinya terhadap penciptaan lingkungan hijau. Kementerian ESDM sendiri telah menargetkan pemasangan PLTS Atap yang mencapai 3,6 GWp pada tahun 2025. Selanjutnya, para tenaga kerja hijau ini tentunya akan didorong untuk menciptakan produk inovatif yang lebih efisien dan berwawasn lingkungan. Nah, jika Pemerintah mampu menghasilkan “sumber daya manusia hijau” ini, maka Transisi Energi itu seharusnya tidak lagi mahal!
Fitria Astuti Firman adalah Analis Kebijakan Ahli Madya yang bertugas di Sekretariat Jenderal Dewan Energi Nasional (Setjen DEN) sebagai Koordinator Fasilitasi Pengawasan Pelaksanaan Kebijakan Energi. Penulis juga merupakan anggota dari Indonesia Strategic Management Society (ISMS). Tulisan ini merupakan pendapat pribadi dan tidak mewakili institusi tempat Penulis bekerja.
Email: fitria.fahlefi@gmail.com