Baru-baru ini kita dikejutkan oleh rentetan peristiwa yang melibatkan massa. Apakah sekarang muncul pola hidup yang berbeda di masyarakat?
Oleh
Albert Widjaja
·5 menit baca
Baru baru ini kita dikejutkan oleh rentetan peristiwa yang melibatkan massa: antrian minyak goreng yang luas berbulan bulan, demo BEM SI menentang Jokowi menjadi Presiden ke-3 kali, dan penganiaya Ade Armando. Apakah sekarang muncul pola hidup yang berbeda di masyarakat?
Protes massa atau demonstrasi atau kerumunan massa atau huru-hara dengan kekerasan telah menjadi tren global, dengan peningkatan rata rata 11.5 persen per tahun antara 2009 sampai 2019. Menurut studi Center for Strategic and International Studies (CSIS) yang berpusat Washington DC, kejadian-kejadian tesrebut paling banyak terjadi di Timur Tengah, Afrika Utara, dan Afika Sub-Sahara,
Unjuk rasa atau kumpulan orang yang membangun perilaku kolektf yang militan, terjadi dengan evolusi mulai dari, undangan: melalui medsos untuk ungkapan aspirasi. Orientasi: kumpulan massa yang terbentuk dapat orientasi dari satu atau lebih orang berpidato mengobarkan semangat untuk bertekad pada suatu perjuangan. Lokomosi: membangun kekuatan untuk bergerak bersama. Gestikulasi: isyarat gerakan tangan serta pengeras suara, mengajak massa bergerak. Vokalisasi: berteriak bersama, membangun ketidak-puasan atau menentang peristiwa nasional yang tidak terpuji.
Protes Massa
Faktor pemicu protes massa yang menjadi ganas, kurang lebih sama di berbagai negara, yaitu sekitar kekecewaan individu dan sosial, seperti: 1) Peningkatan kemiskinan; 2) Memburuknya lingkungan alam sekitar pemukiman seperti kebakaran hutan atau banjir; 3) Pengangguran yang luas yang menyulut pencurian dan perampokan; 4) Persepsi ketidak-adilan ekonomi yang dirasakan generasi muda dengan pendidikan tingginya.
Di samping itu, ada pemicu diluar diri individu, seperti: 1) Meluasnya korupsi di lingkungan pemerintah dan penegak hukum; 2) Berita bohong yang massif, baik kebohongan individu maupun kebohongan pejabat pemerintah; 3) Kejengkelan terhadap pemakaian teknologi oleh penguasa, seperti pemakaian gas airmata yang otomatis.
Ada pemicu lain yang memanasi protes massa dengan kekerasan: ada beberapa negara di dunia dimana pemerintahnya menindas keras setiap gerakan protes; tapi juga pemerintah yang sama punya kebiasaan mencampuri urusan negara lain. Walaupun tidak diundang, tangan dari pemerintah asing tersebut mengambil inisiatif memanasi konflik yang timbul pada kondisi social politik di negera lain, serta turut mendanai protes massa, termasuk membiaya nasi bungkus bagi pendemo.
Ada pula pemicu baru memanaskan protes massa: gelombang virus Covid-19 memanasi iklim politik, dalam anti-vaksinasi dan anti-masker di banyak negara, dengan melibatkan sejumlah besar bapak bapak dan emak-emak, siap turun ke jalan, walaupun tidak suka.
Tidak ketinggalan pula, demo para gadis dan ibu-ibu di kota besar di Amerika, menuntut hak hidup mereka dengan jaminan kebebasan beraborsi. Kekacauan berbagai kota tersebut dipicu oleh bocoran notulen rapat Sidang Mahkamah Agung Amerikat Serikat. Penyelidikan siapa yang membocorkan notulen belum ditemukan sampai saat ini.
Adapun penanganan atau pengendalian protes massa atau demo perlu memastikan cara penegak hukum menanganinya dengan tetap menekankan ketertiban public dan perlindungan kepada tiap anggota masyarakat tanpa kecuali. Di Selandia Baru, polisi membubarkan demo dengan memutarkan lagu “Macarena”. Dapatkah polisi di Indonesia mencoba membubarkan demo dengan lagu dangdut, tidak dengan gas airmata?
Pertandingan Olahraga
Dunia olahraga, yang diwarnai ilmu pendidikan olahraga, mengandung empat semangat: 1) Meritokrasi: ketrampilan atau kecakapan sebagai sumber prestasi; 2) Kesadaran sosial: kerjasama atau saling menghargai sebagai dinamika pola kerja yang sukses; 3) Tanggung jawab warga kumpulan dan warga negara, dimana satu sama lain saling bergantungkan.
Tetapi aspirasi di atas tidak selalu diperlihatkan oleh para pemain olahraga dan penonton; dan bahkan yang sering muncul perilaku sebaliknya; seperti kebencian pada prestasi pihak lain, sikap diskriminatif dengan muatan semangat identitas, atau kebencian terhadap perbedaan. Maka sering pertandingan olahraga menjadi platform pertarungan dengan kekerasan, baik diantara penonton yang memang berpihak, para main lapangan sendiri dengan mentalitas “win-at-all-costs”, bahkan wasit ikut-ikutan. Bahkan tidak mengherankan juga, peristiwa pesta olahraga Olimpiade menyulut perang antar negara, yang belum lama ini telah terjadi.
Di Indonesia, menurut pengakuan Satrio Sakti Rumpoko, dosen Universitas Tunas Pembangunan Surakarta, sepakbola dan suporter tidak bisa dipisahkan. Dimana ada sepakbola disitu ada suporter. Ternyata sepakbola telah mengubah pikiran normal manusia menjadi “tergila-gila”, tulisnya.
Tidak pandang tua atau muda, kecintaan mereka terhadap klub yang dibelanya merupakan harga mati, dan membara fanatisme siap bertempur bila klub yang dipujanya kalah. Hal ini ditunjukkan oleh antara lain penonton yang sering disebut “bonek”, dapat langsung menyerang dengan kekerasan terhadap masyarakat pendukung team lawan yang menang.
Keakraban Sosial
Nilai nilai institusional dunia olah raga selalu bertujuan mencipta manfaat sosial, antara lain 1) Memotivasi meningkatkan kesehatan; 2) Memberi semangat hidup karena mengejar prestasi; 3) Mengurangi kejahatan karena harus berlaku adil; 4) Cinta lingkungan alam, karena olahraga membutuhkan lingkungan alam yang hijau; 5) Mengejar prestasi memberi aspirasi orang mncapai pendidikan makin tinggi; 6) Dengan meluasnya tim-tim olahraga mengejar prestasi, generasi muda menjadi makin sehat dan makin penadau; 7) Mengurangi kebiasaan malas serta mengendalikan konsumsi agar tidak menderita obesitas.
Oleh sebab itu, masyarakat di banyak negara selalu mempunyai banyak program pertandingan olahraga dengan frekuensi praktis hampir setiap hari; mulai dari sepakbola, bola basket, badminton, balap sepeda, balap kaki, baik orang dewasa maupun anak.
Pada masa kini, telah ada inisiatif di banyak negara dalam perencanaan tata kota atau pembaruan kota, dengan berperhatian pada “sport geography”, yaitu pengembangan infrastruktur untuk memfasilitasi pelbagai jenis olah raga, agar pelatihan dan pertandingan olahraga mudah diselengarakan pada system geografi perkotaan. Bahkan banyak negara besar beraspirasi menjadi tuan rumah “sporting mega‐events” seperti Olimpiade dan Asian Games, dengan manfaat tidak hanya memotivasi memajukan bisnis seperti restoran baru dari pengusaha UMKM, tetapi juga mempromosi industri turisme, serta memberi motivasi masyarakat memperkuat kebersamaan sosial.
Pengetahuan di kalangan penegak hukum dan masyarakat professional mungkin masih terbatas dalam hal membina pengendalian dan kebersamaan social, dan mungkin juga berperan memberi motif pengendalian kekerasan massa; karena semua itu dianggap hanya menjadi tanggung jawab penegak hukum. Agenda baru perlu dikembangkan untuk mencintai kebersamaan social pada arena publik, dan meninggalkan budaya identitas.
Albert Widjaja, pengajar dan anggota Indonesia Strategic Management Society (ISMS)