Salah satu ”mata acara” terpenting dalam tradisi Lebaran di Nusantara adalah silaturahmi, selain tujuan utama untuk merayakan akhir Ramadhan bersama orang-orang tercinta dalam suasana penuh kenyamanan di kampung halaman sebagai titik asal kehidupan. Apalagi, selepas dua tahun merelakan tradisi akibat disrupsi pandemi Covid-19. Kunjungan dan pertemuan yang sebelumnya sangat terbatas, pada Lebaran tahun 2022 ini menjadi momen saling kangen dan sambung rasa.
Walaupun sekilas hanyalah hal yang sederhana, silaturahmi Lebaran menyimpan makna yang sangat dalam. Dalam bukunya, Membumikan Al-Qur’an (1994), Profesor Quraish Shihab menuliskan bahwa silaturahmi berarti menyambung apa yang telah putus dalam hubungan antarmanusia (hablum minannas). Ia dapat dilakukan kapan saja. Namun, momentum Lebaran bukan hanya menjadi momen saling berkunjung untuk menjaga persaudaraan, tapi juga memperkuat hubungan dengan saling memohon maaf atas kesalahan dan kesalahpahaman yang terjadi sebelumnya.
Maka, menjadi menarik untuk melihat bagaimana para tokoh politik nasional pun tak ketinggalan saling bersilaturahmi Lebaran, sebagaimana diekspos media massa sejak hari pertama Lebaran tahun ini.
Sejatinya ini adalah tradisi lama. Saya ingat, bila tidak mudik ke Jombang, Gus Dur selalu membuka rumah (open house) karena banyak orang akan bersilaturahmi ke kediaman kami, baik tokoh nasional maupun rakyat biasa. Meski demikian, Gus Dur akan menghilang beberapa saat untuk bersilaturahmi ke kediaman Presiden Soeharto di Cendana, sebelum kembali menemui para tamu di rumah.
Padahal, pada masa yang sama, Gus Dur adalah salah satu tokoh terkuat penentang praktik opresif rezim militer Orde Baru. Gus Dur selalu berada di barisan terdepan kala terjadi kasus-kasus penindasan rakyat atas nama agenda pembangunan, sebagaimana dilakukannya bersama Romo YB Mangunwijaya pada kasus Waduk Kedungombo.
Apalagi, Gus Dur adalah ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama yang bermassa sangat besar. Maka, Gus Dur pernah masuk daftar hitam tidak bisa berbicara di forum-forum publik. Ia bahkan sempat menjadi target operasi politik rezim Orde Baru melalui Muktamar Cipasung yang fenomenal, di mana Gus Dur berhasil memenangi pertarungan dan semakin membuat rezim saat itu frustrasi.
Saya pun heran mengapa Gus Dur masih menyempatkan untuk bersilaturahmi kepada tokoh yang memusuhinya secara literal. Tetapi, beliau pernah berujar, kita melakukan segala sesuatu sesuai dengan prinsip dan nilai yang kita anut, bukan karena apa pun perlakuan orang lain kepada kita.
Bagi Gus Dur, bersilaturahmi Lebaran kepada Presiden Soeharto menjadi ruang untuk memperbaiki hubungan. Tetapi, pesannya yang terpenting adalah untuk menunjukkan bahwa perbedaan dan kritik adalah tentang perilaku dan peristiwa, bukan tentang manusia dan persaudaraan.
Apa pun ketegangan dan perbedaan yang terjadi secara politik, hubungan kemanusiaan tetap harus dijaga. Di sisi lain, hubungan yang baik tidak berarti penerimaan tanpa syarat atas kebijakan dan praktik yang diambil, tanpa mampu bersikap kritis.
Saya mengimajinasikan hal yang sama pada kunjungan silaturahmi Lebaran antara tokoh nasional tahun ini, terutama tokoh-tokoh dengan agenda politik pada tahun 2024. Alih-alih memanfaatkan momentum ini untuk menjajaki kemungkinan-kemungkinan dukungan politik, sungguh indah ketika kunjungan itu justru menjadi momen dengan makna yang tetap sakral.
Bayangkan bila melalui kunjungan tersebut para tokoh nasional saling bermaafan atas strategi politik yang saling menafikan, juga atas perilaku para pendukung yang saling menyerang dengan brutal baik secara luring maupun daring, yang pada akhirnya menciptakan polarisasi yang luar biasa tajam di akar rumput.
Bayangkan bila para tokoh nasional saling berbincang mengenai kondisi bangsa dan negara Indonesia saat ini berikut pekerjaan rumah yang perlu segera diselesaikan dan mencari jalan yang diperlukan untuk bersama-sama memperbaiki masa depan seperti kualitas kehidupan masyarakat, kesenjangan ekonomi kelompok atas dan kelompok terbawah, pendidikan, dan seterusnya.
Bayangkan bila percakapan dalam kunjungan silaturahmi Lebaran ini berfokus pada menjaga semangat persatuan dalam keberagaman kita, Bhinneka Tunggal Ika, di tengah meningkatnya semangat primordialisme yang tengah melanda dunia, termasuk Indonesia. Barangkali, situasi ketegangan antara umat Islam dan umat Buddha di Lombok pun dapat segera ditemukan solusinya.
Bayangkan bila dalam silaturahmi Lebaran ini, para tokoh saling membuka diri tentang niatan 2024 serta saling menyampaikan komitmen untuk menjaga pesta demokrasi dari praktik-praktik hitam dalam politik praktis. Lebaran tahun ini akan menjadi momen titik balik bagi bangsa Indonesia bila kita mampu melakukannya melalui tokoh-tokoh nasional kita.
Di abad-abad lampau saat peradaban masih bertumpu pada bentuk kerajaan, hubungan-hubungan politik diperkuat dengan pernikahan antarkeluarga, misalnya di kerajaan-kerajaan di Eropa dan China.
Di bumi Nusantara, memperkuat posisi kerajaan melalui pernikahan antarkeluarga juga menjadi tradisi. Kerajaan Demak, misalnya. Sultan Trenggana menikahkan putrinya dengan Bupati Madura untuk memperkuat Kerajaan Demak. Ia pun mengangkat Jaka Tingkir, putra Bupati Pengging, menjadi menantu yang kelak menggantikannya.
Di masa kini, tentu hampir muskil melakukan konsolidasi politik melalui perkawinan. Para tokoh politik harus mencari cara lain. Apakah silaturahmi Lebaran yang penuh muatan spiritual yang akan menjadi tradisi penggantinya?