Hantu Stagflasi dan Dampaknya Bagi Indonesia
Menjelang perhelatan politik di tahun 2024, suasana politik dalam negeri bakalan lebih memanas. Dibutuhkan sosok pengganti Presiden Joko Widodo yang memiliki visi dan misi dalam membangun Indonesia jangka panjang.
Global Fund Manager Survey yang dilakukan oleh Bank of America mengungkapkan bahwa perekonomian Amerika Serikat akan memasuki kondisi stagflasi, yang ditandai melambatnya pertumbuhan ekonomi, tingkat pengangguran yang meningkat, dan kenaikan harga barang-barang.
Kata stagflasi pertama kali dikenalkan oleh seorang politisi Inggris Iain Macleod pada tahun 1960-an. Stagflasi menggambarkan kondisi ekonomi Inggris yang tengah menghadapi tekanan kala itu. Saat memberikan pidato di Dewan Rakyat Britania Raya, Macleod menggambarkan kondisi inflasi sekaligus stagnasi yang terjadi di Inggris sebagai situasi stagflasi.
Istilah stagflasi kemudian kembali digunakan pada resesi tahun 1970-an seiring krisis bahan bakar saat Amerika Serikat mengalami pertumbuhan PDB negatif selama lima kuartal berturut-turut. Tingkat inflasi tumbuh dua kali lipat pada tahun 1973 dan mencapai double digit pada tahun 1974. Di sisi lain, tingkat pengangguran AS kala itu mencapai 9 persen per Mei 1975.
Secara teoritis, kondisi stagflasi sebenarnya adalah sebuah kontradiksi. Pertumbuhan ekonomi yang melambat dan tingkat pengangguran yang tinggi seharusnya menyebabkan penurunan permintaan, sehingga tidak menyebabkan kenaikan harga barang-barang. Maka kondisi stagflasi biasanya hanya terjadi apabila terjadi pasokan uang melimpah, sehingga terjadi penurunan nilai uang yang akibatnya adalah naiknya harga barang. Tentu saja pada gilirannya akan mengakibatkan rontoknya harga-harga saham di pasar ekuitas.
Kondisi stagflasi tidak mudah untuk diatasi. Kebijakan moneter, yaitu menurunkan suku bunga, hanya cocok untuk kondisi ekonomi yang melambat. Suku bunga yang rendah akan memicu pertumbuhan ekonomi. Amerika menurunkan suku bunga sampai ke level 0 persen ketika menghadapi krisis utang pada tahun 2008 sehingga pertumbuhan ekonomi lebih cepat pulih.
Kebijakan penurunan suku bunga ini tidak efektif untuk kondisi saat ini karena inflasi yang tinggi. Yang dilakukan justru sebaliknya, yaitu Bank Sentral Amerika, The Fed, memutuskan untuk menaikkan suku bunga 50 basis poin untuk menekan laju inflasi. Akibatnya tentu pertumbuhan ekonomi Amerika akan melambat dan ini akan berdampak bagi melambatnya pertumbuhan ekonomi dunia.
Kondisi buruk ini tentu tidak terjadi sekonyong-konyong. Perang dagang Amerika dan China adalah salah satu pemicunya dan ini sudah dimulai sejak tahun 2018, tepatnya 22 Januari 2018, ketika Presiden Amerika Serikat Donald Trump memutuskan untuk menaikkan bea masuk impor panel surya dan mesin cuci dari China sebesar 30 persen dan 20 persen. Perang dagang bermula karena Trump kesal dengan neraca perdagangan negaranya yang selalu tercatat defisit dengan China. Untuk itu, ia memilih langkah proteksionisme untuk memperbaiki neraca perdagangan AS.
Trump juga mengenakan tarif bea masuk untuk baja sebesar 25 persen dan 10 persen untuk aluminium. Kebijakan ini diputuskan pada Maret 2018. Tak tinggal diam, China ikut menaikkan tarif produk daging babi dan skrap aluminium mencapai 25 persen, dan Beijing memberlakukan tarif 15 persen untuk 120 komoditas AS, termasuk almond dan apel. Perang dagang ini semakin parah ketika masing-masing negara menerapkan kebijakan pembatasan impor, yang jelas-jelas melanggar kesepakatan dalam WTO.
Kondisi tersebut lalu diperparah dengan munculnya pandemi Covid 19 yang mengakibatkan pembatasan bukan hanya lalu lintas barang, tetapi juga lalu lintas orang antarnegara. Kebijakan proteksionisme dan menurunnya globalisasi menyebabkan kenaikan harga barang, sekaligus menyebabkan penurunan pertumbuhan ekonomi dunia. Perang antara Russia dan Ukraina semakin mengganggu jalur logistik dan rantai pasok global.
Lalu yang menjadi pertanyaan adalah, bagaimana dampak stagflasi bagi Indonesia? Untuk sementara Indonesia masih diuntungkan oleh kenaikan harga komoditas utama dunia. Hal ini terlihat dari surplus pada neraca perdagangan berturut-turut sejak Mei 2020. Bahkan sepanjang 2021, surplus Neraca Perdagangan Indonesia mencapai US$ 35,34 miliar. Nilai surplus tersebut merupakan rekor tertinggi sejak 15 tahun terakhir atau sejak 2006, di mana pada tahun tersebut nilai surplus mencapai 39,37 miliar dollar AS.
Kinerja surplus sepanjang 2021 ditopang dari nilai ekspor yang mencapai US$ 231,54 miliar atau tumbuh double digit sebesar 41,88 persen secara tahunan (yoy). Hilirisasi komoditas unggulan, seperti turunan produk CPO, berhasil mendorong performa ekspor Indonesia. Hal tersebut tercermin dari ekspor komoditas lemak dan minyak hewan/nabati (HS 15) yang sepanjang 2021 mencapai 32,83 miliar dollar AS atau meningkat sebesar 58,48 persen yoy.
Selain CPO, hilirisasi komoditas nikel juga memperkuat performa ekspor Indonesia, dengan pertumbuhan ekspor komoditas nikel dan barang turunannya (HS 75) mampu tumbuh sebesar 58,89 persen yoy menjadi sebesar 1,28 miliar dollar AS.
Lebih lanjut, dari 10 besar komoditas utama ekspor, komoditas bijih logam, terak dan abu (HS 26) mengalami pertumbuhan tertinggi yakni 96,32 persen yoy menjadi sebesar 6,35 miliar dollar AS. Diikuti oleh ekspor komoditas besi dan baja (HS 72) yang juga naik signifikan mencapai 92,88 persen yoy menjadi senilai 20,95 miliar dollar AS. Ekspor non migas Indonesia juga mengalami pertumbuhan 35,11 persen yoy menjadi sebesar 177,11 miliar dollar AS.
Penurunan tingkat globalisasi juga belum berpengaruh banyak terhadap Indonesia karena rasio perdagangan Indonesia terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) berada di urutan paling buncit di kawasan Asia Tenggara (ASEAN). Berdasarkan data Bank Dunia, rasio perdagangan Indonesia sebesar 43,02 persen dari PDB. Posisi tersebut berada di bawah Myanmar (47,5 persen) maupun Laos (75,83 persen).
Sementara itu, Singapura merupakan negara dengan rasio perdagangan terbesar di ASEAN, yakni lebih dari tiga kali lipat PDB. Kondisi ketertinggalan ini sementara “menyelamatkan” Indonesia, walaupun sekaligus menunjukkan bahwa keterbukaan ekonomi Indonesia masih rendah. Di masa mendatang, ketika ekonomi dunia bertumbuh, maka Indonesia harus mampu meningkatkan rasio perdagangan terhadap PDB agar bisa ikut lebih menikmati kue globalisasi.
Peranan Indonesia dalam rantai pasok (supply chain) dunia juga masih sangat kecil, kecuali sebagai penyedia bahan baku mentah dan energi. Sehingga dampak penurunan globalisasi belum signifikan.
Dampak arus balik modal ke pasar uang Amerika akibat naiknya tingkat suku bunga The Fed sebesar 50 basis poin juga tidak terlalu signifikan akibat sudah turunnya porsi asing di pasar modal Indonesia sejak beberapa tahun terakhir. Sebelumnya asing sempat mendominasi pasar saham Indonesia hingga mencapai 60 persen, tetapi saat ini kepemilikan saham asing hanya tinggal sekitar 25 persen.
Yang lebih dominan mempengaruhi perekonomian dan pasar modal di Indonesia sebenarnya adalah faktor domestik. Menjelang perhelatan politik di tahun 2024, suasana politik dalam negeri bakalan lebih memanas. Dibutuhkan sosok pemimpin pengganti Presiden Joko Widodo yang memiliki visi dan misi dalam membangun Indonesia jangka panjang. Salah dalam memilih pemimpin bisa berakibat fatal dan merusak semua yang sudah dibangun selama ini. Siapapun pemimpinnya, keutuhan NKRI dan kebhinnekaan harus menjadi harga mati yang dipertahankan. Demi Indonesia yang lebih hebat.
Harris Turino adalah Anggota Komisi VI DPR RI dan Head of Reseach Indonesia Strategic Management Society
Email harristk@gmail.com