Banyak istilah asing, khususnya istilah di dunia bisnis, bermunculan tanpa kita sempat, atau lalai, mengindonesiakannya. Padahal, dulu, kaum cerdik pandai kita terampil dan pas dalam mengindonesiakan istilah asing.
Oleh
ANDREAS MARYOTO
·3 menit baca
Dunia bisnis turut menyumbang kosakata baru dalam perkembangan bahasa Indonesia. Sejak dulu kalangan ini berperan cukup signifikan. Mereka, misalnya, ikut mengindonesiakan istilah-istilah bisnis dari bahasa asing. Namun, kini, di tengah banyaknya wirausaha yang bermunculan di banyak tempat, penggunaan istilah asing semakin kencang saja dan relatif tidak segera diindonesiakan.
Beberapa istilah asing yang belakangan sering muncul, antara lain, business plan, venture capital, pitching, funding, angel investor, growth hacking, robot trading, dan point of sales. Semangat untuk membangun usaha sendiri menjadikan kata-kata itu sering keluar dari mulut para pelaku usaha. Mereka sebenarnya hanya mencomot kata-kata itu dari berbagai teks bisnis, mendengar dari rekan-rekannya, dan bahkan beberapa untuk bergaya.
Dari pertemuan dengan para pelaku usaha, saya mendapat kesan bahwa sangat sedikit yang ingin mengindonesiakan istilah-istilah baru. Mereka cenderung mendiamkan istilah asing yang telanjur digunakan sehari-hari.
Dunia bisnis menjadi sangat eksklusif. Masyarakat makin tidak bisa menjangkau dunia yang satu ini.
Bisa jadi karena beberapa di antara mereka mendapat pendidikan di luar negeri dan begitu saja membawa berbagai istilah itu ke Tanah Air. Ada juga yang latah dan ikut-ikutan saja. Namun, ada pula karena sejumlah istilah asing memang sulit diindonesiakan secara pas.
Dulu, kaum cerdik pandai kita telah dengan terampil dan pas mengindonesiakan sejumlah istilah bisnis, seperti balance of trade menjadi neraca perdagangan, cash flow menjadi arus kas, dan general ledger untuk buku besar. Hasil pengindonesiaan ini menyiratkan upaya yang serius, tekun, sekaligus hati-hati dari para pendahulu kita itu.
Institusi pendidikan sepertinya layak menjadi pihak pertama yang bertanggung jawab terhadap masalah ini. Kita makin sulit menemukan ”pendekar-pendekar bahasa” di jurusan atau departemen bisnis di lembaga-lembaga pendidikan. Mereka malah makin menyuburkan penggunaan istilah asing. Para pengajar pun lebih suka menggunakan istilah asing yang kadang ”lebih bergaya” itu.
Media boleh dibilang sebagai pihak berikutnya yang sering menyebarkan dan menyuburkan penggunaan istilah asing dan kadang sama sekali tidak berusaha mengindonesiakannya. Cara yang paling sering mereka lakukan adalah sekadar mencetak miring istilah asing tersebut. Mereka tidak pernah merasa bersalah terhadap keputusan itu. Lepas begitu saja.
Sementara itu, pemerintah dan Badan Bahasa boleh dibilang kerap terlambat dan tergopoh-gopoh untuk menangani masalah ini. Istilah asing di dunia bisnis meluncur lebih cepat ke publik ketimbang upaya mengindonesiakannya. Dunia bisnis juga sering abai dengan upaya pengindonesiaan.
Tanpa ada upaya yang tekun dan jeli, istilah bisnis dalam bahasa asing (baca: Inggris) itu akan terus membanjiri kita, baik dalam pertemuan bisnis, dokumen bisnis, maupun percakapan sehari-hari. Mereka yang menggunakannya akan makin asyik dan menganggap mentereng. Mereka mungkin tak tergerak mengurangi penggunaannya dan tentu tak terdorong pula mengindonesiakannya.
Akibatnya, tidak semua orang bisa memahami istilah-istilah bisnis yang baru itu. Dunia bisnis menjadi sangat eksklusif. Masyarakat makin tidak bisa menjangkau dunia yang satu ini.
Bahaya yang paling besar ialah masyarakat menjadi obyek penipuan karena tidak memahami konsep dan arti sesungguhnya dari berbagai istilah asing itu. Maka, kita harus ikut bertanggung jawab ketika kasus investasi marak di Tanah Air karena kita lalai untuk membuat masyarakat mudah memahami berbagai istilah baru yang bermunculan itu.