Sejak kapan masyarakat dikuasai perasaan benci, marah, permusuhan?
Karena sebagaimana empati, belas kasih, cinta, sifat-sifat tersebut melekat pada manusia, tidak mudah menjawab pertanyaan tadi. Yang bisa dirasakan, pada era medsos ini atmosfir sosial digayuti awan prasangka, kebencian, permusuhan, dan energi-energi sejenis.
Kekerasan bukan lagi terbatas terjadi di wilayah real, berhadapan langsung, bersiap untuk to be or not to be, tetapi di jagat virtual, maya. Tak jelas kita ini berhadapan dengan siapa. Makhluk-makhluk maya menghujat, memprovokasi, mengintimidasi, yang punya jiwa dagang mempromosikan dagangan di tengah hiruk-pikuk permusuhan. Kacau banget.
Kecemasan orang atas gagasan para pemikir abad-abad lalu, seperti Rousseau, Byron, Blake, Sade, dan Nietzsche, sangat nyata kini, bahwa ”orang lain adalah neraka” sebagaimana diucapkan Sartre. Bahkan, di musim ketemu keluarga untuk bermaaf-maafan, merasakan indahnya kampung halaman yang membentuk diri kita, makhluk maya menyatakan ketidaksukaan ketemu orang, sahabat, handai tolan hanya karena pertanyaan kapan nikah. Memprihatinkan. Masak pulang kampung mengharap pertanyaan apa itu strukturalisme atau Revolusi Industri Ketiga.
Sumber penyangkalan hidup dan kekerasan adalah pikiran. Baik pemikiran Barat maupun filosofi-filosofi Timur mempercayai hal ini. Dari Revolusi Perancis dengan semboyan Le Romanticism c’est la Revolution oleh Rousseau sampai Revolusi Kebudayaan oleh Mao Zedong, dasar pemikirannya satu: mereformasi pikiran, me-reedukasi rakyat.
Pikiran mengontrol segalanya. Bagi orang seperti saya yang tumbuh bersama lagu ”Love Me Do”, selalu ingat kronologi John Lennon ditembak mati oleh penggemarnya, Mark David Chapman.
Sejak umur 15 tahun Chapman terpesona oleh novel The Catcher in the Rye karya Salinger. Ia menganggap segala hal palsu dan tengik.
Menjelang mengeksekusi Lennon, ia berkeliaran di New York, naik taksi menuju danau di Central Park, kepada sopir taksi ia bertanya persis seperti yang ditanyakan Holden Caulfield dalam The Catcher: ke mana angsa-angsa pergi ketika musim salju. Ia melihat anak-anak main karousel. Juga mengunjungi Museum of Natural History di mana dalam novel diceritakan Caulfield bertemu cewek yang dicintainya, Phoebe.
New York, 8 Desember 1980.
Petang datang. Tokoh yang ditunggunya tiba di apartemen Dakota di seberang Central Park. John Lennon bersama istrinya, Yoko Ono, baru saja kembali dari studio untuk rekaman album Double Fantasy.
”Tidak ada emosi, tidak ada kemarahan, tidak ada apa pun,” kata Chapman dalam sebuah wawancara mengenang tatkala dia menembak Lennon.
Sebelum penembakan dia membeli buku baru The Catcher in the Rye dan menuliskan di situ: ”To Holden Caulfield from Holden Caulfield”. ”Itulah statement saya,” katanya. Ia bertekad tak akan bicara apa pun seusai pembunuhan. Biar buku ini yang bicara mewakili dirinya.
Tragedi literasi? Waktu itu orang baca buku. Selain dianggap memberi pengaruh dekaden (di bangku sekolah saya membaca novel-novel erotis selain kisah petualangan Winnetou), tidak kurang banyaknya kitab-kitab yang mencerahkan dan menerangi akal budi manusia. Buku adalah instrumen yang membentuk peradaban sebelum tibanya era digital.
Bagaimana otak manusia terkonstruksi seusai buku digantikan peranti digital?
Istilah paling populer dan dipuja-puja: ini era kecerdasan buatan, artificial intelligence, Revolusi 4.0, anak muda jangan menggugat penguasa atau apa saja yang tengah enak-enak dinikmati kaum mapan. Sibuklah dengan diri sendiri dan rebut teknologi.
China menyebut komputer diannao, artinya otak listrik.
Pada pekerti sebelumnya, keseimbangan manusia ditentukan oleh mind-body-speech. Dengan mind atau pikiran jadi ”otak listrik”, entah bagaimana manusia mencapai keseimbangan diri.
Sosok-sosok maya dengan otak bikinan pabrik berkeliaran di jagat maya, layaknya para buto dalam pewayangan. Mereka tinggal di kegelapan hutan, tak jelas identitasnya, kerjanya menghadang siapa saja yang menginjak hutan larangan, memprovokasi, mengintimidasi, jumpalitan, menakut-nakuti. Kurang lebih demikian kerja makhluk maya termasuk para buzzer.
Bedanya, kalau sosok-sosok tak jelas dalam pewayangan langsung terjungkal dan lenyap oleh tendangan ksatria, sosok kurang jelas dunia maya tak ada matinya. Mereka membuat para pakar kewalahan.
Baik yang dibayar maupun tidak dibayar sama sontoloyonya.