Pandemi sesungguhnya adalah tentang perubahan pada diri kita. Tidak hanya pandemi, tetapi berbagai krisis yang pernah kita rasakan di hidup kita, sebenarnya juga disediakan agar kemampuan adaptasi kita bertambah.
Oleh
Dewa Budjana
·7 menit baca
Era pandemi yang ditandai dengan berkurangnya berbagai kegiatan secara drastis dan diam ”di rumah aja”, berangsur reda. Kekhawatiran terhadap penularan virus Covid-19 seolah mulai pudar dengan munculnya lagi berbagai kegiatan yang dua tahun terakhir ketat dibatasi. Pusat perbelanjaan kembali ramai, mudik Lebaran sudah diperbolehkan, berbagai acara luring yang mengumpulkan massa mulai digelar. Bahkan, mahasiswa juga sudah mulai demo. Kalau kita jeli memperhatikan, beberapa pihak juga sudah mulai berani menempelkan diksi ”pasca-pandemi” dalam artikel di media mainstream.
Tanda-tanda perubahan itu sebenarnya sudah lebih dulu muncul di beberapa negara lain, sebelum kemudian terjadi juga di Indonesia. Bulan November tahun lalu, saya berkesempatan pergi ke dua konser musik yang memang sejak lama saya ingin nikmati. Konser Genesis ”The Last Domino?” di Chicago, AS, yang merupakan tur pertama mereka setelah 14 tahun absen, dan Konser Pat Metheny di New Jersey dalam rangka merilis album terbarunya SIDE-EYE NYC.
Konser Genesis di stadion, sedangkan Pat Metheny di sebuah hall tertutup. Dua-duanya penuh banget orang. Memang di konser Metheny yang diselenggarakan di dalam hall, waktu itu semua pengunjung memakai masker. Petugas juga banyak yang berjaga untuk mengingatkan orang-orang untuk mengenakan maskernya. Tapi di konser Genesis, penggunaan masker sudah dibebaskan. Saya sendiri tetap berjaga-jaga dengan mengenakan masker waktu itu. Males aja kalau kejadian bawa-bawa virus ke Indonesia, kan?
Selang beberapa bulan, memasuki tahun 2022, perubahan itu akhirnya tiba juga di Indonesia. Sebagai musisi, saya bisa merasakan industri musik di Tanah Air seperti mulai menemukan gairah baru. Konser-konser musik mulai diselenggarakan, panggung-panggung didirikan, jadwal pergelaran ditetapkan, para pekerja yang terlibat di sektor ini juga mulai kembali bekerja. Seperti dulu? Belum. Tentu masih banyak tahap adaptasi yang mesti dilalui.
Saya yakin, bahwa semua ada waktunya. Ada saatnya kita masuk dalam sebuah krisis, ada pula waktu kita keluar dari situasi itu, walau kita tidak tahu kapan tepatnya waktu tersebut. Haruki Murakami dalam novelnya yang terkenal, Kafka on the Shore, pernah menulis: ”You won’t even be sure, whether the storm is really over. But one thing is certain. When you come out of the storm, you won’t be the same person who walked in. That’s what this storm’s all about”.
Saya setuju. Pandemi sesungguhnya adalah tentang perubahan pada diri kita. Tentang bagaimana kita beradaptasi pada lingkungan yang terus-menerus berubah. Dan, saya pernah merenung bahwa tidak hanya pandemi, tetapi berbagai krisis yang pernah kita rasakan di hidup kita, sebenarnya juga disediakan agar kemampuan adaptasi kita bertambah.
Beradaptasi
Pandemi Covid-19 yang kita semua rasakan bukan satu-satunya krisis. Saya masih ingat bagaimana berbagai krisis membentuk saya dan membentuk perjalanan hidup saya sebagai seorang musisi. Menurut saya, fase krisis yang paling tidak bisa dilupakan oleh seorang musisi adalah ketika ia memperjuangkan idealismenya dalam bermusik, sementara ia tidak punya apa-apa untuk mewujudkannya.
Salah satu contoh krisis di awal perjalanan, bagi saya mungkin adalah bagaimana saya sewaktu kecil kepincut pada permainan gitar sekelompok pekerja bangunan di dekat tempat tinggal saya di Klungkung, Bali. Terobsesi untuk bisa berlatih bermain gitar, tetapi tidak punya uang. Untuk membeli sebuah gitar, lalu saya terpaksa mencuri uang kakek. Gitar tanpa merek buatan Solo itu masih saya simpan hingga sekarang, sebagai pengingat awal perjalanan saya dalam bermusik.
Murakami juga bilang, ”And once the storm is over, you won’t remember how you made it through, how you managed to survive”.Saya tidak ingat, bagaimana cara saya mengatasi krisis demi krisis dalam hidup. Bertahun-tahun pada masa SMP dan SMA di Surabaya, saya masih saja terus berlatih keras bermain gitar, membentuk band, mengarang komposisi, dan ikut berbagai kontes musik. Berbagai cara sudah saya lakukan untuk beradaptasi, tetapi saya belum juga berhasil.
Sampai akhirnya waktu itu tiba. Suatu hari saya diajak Om Jack Lesmana untuk mengisi acara di sebuah acara pergelaran musik Jazz di kampus. Seusai acara, ia memberi saya honor yang menurut saya sangat besar di masa itu. Maka, babak baru kehidupan bermusik saya dimulai: menjadi seorang musisi profesional. Tapi, adaptasi tetap berlanjut.
Mungkin banyak yang mengira saya sejak awal adalah seorang musisi jazz. Itu salah. Saya awalnya menyukai pop dan rock. Kalau tidak, mana mungkin saya membentuk Gigi? Musik alternatif yang diusung Gigi berakar kuat pada aliran musik pop dan juga rock. Jazz sesungguhnya adalah sebuah adaptasi saya pada era bangkitnya fusion pada tahun 80-an, di masa saya mulai bermusik dan adaptasi itu masih saya bawa hingga hari ini.
Ketika konser-konser musik jazz mulai muncul di Indonesia, diawali dengan JakJazz oleh Om Ireng Maulana, lalu Java Jazz oleh Om Peter Gontha (kemudian diteruskan oleh putrinya, Dewi Gontha), saya selalu diundang untuk ikut mengisi acara. Karena selalu hadir di pergelaran-pergelaran jazz di Tanah Air itu, maka anggapan orang bahwa saya aslinya adalah seorang musisi jazz tampaknya semakin kuat. Padahal, pada masa yang sama, mereka juga mengenal saya sebagai gitaris Gigi yang tidak beraliran jazz.
Menurut saya, seorang musisi harus memiliki kemampuan adaptasi yang kuat. Bukan hanya dalam hal bermusik, melainkan juga dalam menyesuakan diri dengan situasi industri. Pada masa pandemi, banyak adaptasi yang saya lakukan. Mulai dari membuat album kolaborasi dengan beberapa musisi asing secara daring, konser virtual, sampai menjajaki penjualan token musik NFT dari komposisi Matahati, yang beberapa waktu lalu ternyata secara cepat terjual habis. Semua itu adalah tentang adaptasi.
Industri musik Indonesia
Adaptasi dalam industri musik Indonesia, menurut saya, sangat penting. Era Revolusi Industri 4.0 yang dampaknya dipercepat oleh pandemi Covid-19 selama dua tahun berturut-turut, membuat semua lini di industri ini perlu bergegas, menyesuaikan diri. Munculnya aplikasi musik streaming di kancah industri rekaman dan distribusi misalnya, atau konser virtual dalam industri pergelaran, menghadapkan semua pemain pada era baru. Era di mana kita mengenal konsep hibrida: daring dan luring.
Bagi musisi, selain soal memacu kreativitas bermusik, situasi ini mestinya menjadi dorongan besar untuk memahami berbagai aturan main di dalamnya. Tentunya ini akan terkait dengan hak cipta, di mana harus diakui bahwa aturan tentang royalty dalam industri musik di Indonesia masih banyak kekurangannya. Jadi, situasinya sekarang, di saat aturan main di dunia luring saja masih belum jelas, kita sudah harus belajar aturan-aturan baru dalam dunia daring.
Tapi lagi-lagi, jawabannya adalah adaptasi. Insan musik harus mampu beradaptasi dengan berbagai situasi baru yang kini mungkin masih tidak menentu. Tapi, saya yakin, bila kita pelan-pelan menjalaninya, dari hari ke hari kita akan lebih paham dan berani. Waktu saya menjajaki penjualan token NFT Matahati, misalnya, saya sesungguhnya belum terlalu mengerti tentang aturan-aturannya yang cukup njlimet. Tapi setelah menjalaninya, makin lama saya makin paham.
Memang, biasanya dalam menghadapi situasi krisis, semua orang kelabakan. Termasuk pemerintah. Tidak mudah bagi siapa pun yang pada saat pandemi duduk di posisi pembuat aturan. Termasuk terkait izin kegiatan yang bersifat pergelaran. Bermunculannya konsep-konsep terobosan, seperti meleburkan konser musik dengan industri pariwisata, dan juga keberpihakan pada sektor-sektor usaha terkait penyelenggaraan konser, misalnya, memang menggembirakan dan menjanjikan, tetapi semua masih amat tergantung pada situasi pandemi.
Semua pihak mesti saling membantu dan menyokong. Konser luring masih amat penting bagi musisi karena tradisinya memang begitu: Sehabis membuat album, lalu konser. Kebanyakan musisi masih menggantungkan hidupnya dari manggung, bukan dari album sehingga banyak kawan musisi yang amat kesulitan di masa pandemi. Saya dan beberapa kawan lain juga sempat menyelenggarakan semacam acara charity untuk para gitaris. Namun, hasilnya belum seperti yang diharapkan. Situasi memang sedang sulit bagi semua orang, terutama karena dihadapkan pada suasana ketidakpastian yang cukup panjang.
Semangat kita untuk mau terus belajar, mengasah kreativitas, dan beradaptasi dengan hal-hal baru, menurut saya, menjadi kunci. Dorongan dari pemerintah juga tentu dibutuhkan, terutama dalam penegakkan aturan terkait hak cipta dan memberi kita suasana yang kondusif untuk terus berkarya. Sambil juga terus berharap dan berdoa agar penularan virus Covid-19 semakin reda. Kita belum tahu kapan pandemi akan benar-benar berakhir, tetapi kita harus yakin bahwa kita mampu melewatinya.[]