Biarlah EDSA Tetap Jadi Saksi Mengagumkan
”Jika Anda membicarakan program, mereka pikir politisi ini … banyak omong, tetapi tidak ada aksi.” Ronald dela Rosa
EDSA, nama sebuah jalan besar nan-asri di Metro Manila, Filipina, dengan sejarah mendunia. Jalan itu mengambil nama Epifanio de los Santos, seorang negarawan Filipina yang dihormati, berintegrasi, akademisi, wartawan, sejarawan, dan seorang pegawai negeri dengan pemakaman kenegaraan.
Lahir pada 1871 dan wafat pada 1928. Berusia 57 tahun, tetapi integritas membuat namanya diabadikan lewat nama bulevar Epifanio de los Santos Avenue (EDSA). Dan EDSA adalah saksi mendunia tentang gerakan demokrasi, gerakan rakyat akan pentingnya pemerintahan bernurani. Pemerintahan serta kelembagaan yang baik memiliki korelasi kuat dengan kesejahteraan rakyat. Gunnar Myrdal–Prize Lecture- NobelPrize.org
EDSA menjadi lokasi gerakan rakyat pada 22-25 Februari 1986 yang berhasil menjungkalkan kediktoran Ferdinand E Marcos. Epifanio de los Santos: Commemorating the Filipino genius on his 150th Birth Anniversary-National Historical Commission of the Philippines (nhcp.gov.ph) Penjungkalan ini sekaligus menjadi peringatan bagi para diktator di negara lain yang berkuasa, korup, dan tidak berpihak kepada rakyat.
Tak pelak lagi Filipina menjadi ikon gerakan demokrasi dari negara berkembang di zaman modern. Sebutan people’s power mendunia karena perjuangan rakyat Filipina demi kepentingan negara dan masa depannya yang lebih baik dan makmur.
Tampilnya Bongbong
Kemegahan nama EDSA dan gerakan nurani di bulevar itu seperti ”terluka” dengan kemenangan Ferdinand Marcos Junior yang akrab dengan panggilan Bongbong dalam pemilu presiden Filipina, 9 Mei. Filipina seakan lupa dengan kediktatoran ayahnya, Marcos, dan jejeran sepatu Imelda Marcos serta rekening dugaan hasil korupsi di perbankan Swiss dan negara lainnya.
Penegakan kembali citra Marcos senior sebagai tokoh yang pembawa keharuman bangsa selama pemerintahan (1965-1986) menjadi salah satu faktor yang membuat Bongbong menenangi pemilu. Disinformasi menjadi fenomena semasa kampanye, seperti dituliskan oleh peraih Hadiah Nobel Perdamaian 2021 Maria Ressa (Bongbong Marcos Win Will Mean More Disinformation: Nobel Laureate Maria Ressa-Bloomberg).
Sebaliknya pesaing Bongbong, yakni Leni Robredo, Wakil Presiden untuk Presiden Rodrigo Duterte, ketiban disinformasi akut. Ia dicap sebagai orang yang tidak berprestasi, tidak mempunyai kinerja. Leni menjadi korban terbesar disinformasi. Philippines election: ’Politicians hire me to spread fake stories’- BBC News. Hingga kalimatnya, ”Sekali pembohong tetap pembohong,” yang diarahkan kepada Bongbong tak berhasil. Robredo on Marcos Jr.: Once a liar, always a liar | Inquirer News
Bongbong fokus pada kampanye tentang perubahan dan kebangkitan Filipina Kembali. Ia juga menekankan agar orang jangan mengaitkan dirinya dengan peristiwa 36 tahun lalu. Ia meminta dunia, ”Jangan nilai aku dari sejarah masa lalu keluarga, tetapi pada aksi-aksiku.” Philippines election results: Ferdinand Marcos J.r asks world not to judge him by his family's past-CNN
Taktik politik
Masalah di Filipina bukan hanya disinformasi via media sosial dan ketangguhan kampanye Bongbong. Hal itu juga bukan terletak pada pemilih yang kebanyakan belum lahir pada 1986 saat Marcos terjungkal. Marcos Jr dipilih oleh pemilih yang separuhnya berusia 18-40 tahun dan hidup pada era media sosial. ”Ini generasi baru, pemilih yang belum ada pada era Marcos dan setelah Marcos,” kata Guru Besar Studi Asia di University of Hawaii-Manoa Patricio Abinales (Kompas, 12 Mei).
Dalam tingkat tertentu, pemilih Filipina juga tidak terlalu peduli soal program para calon presiden hingga legislatif. Pemilih lebih memilih siapa yang akan memimpin bukan soal bagaimana mereka akan dipimpin. (Philippine elections and the politics behind it | The Interpreter (lowyinstitute.org)
Karisma, pesona luar menjadi hal penting. ”Warga tidak akan mendengar jika Anda mendebat isu dan program,” kata Senator Ronald dela Rosa pada 2019 saat berbicara tentang kampanyenya. ”Jika Anda membicarakan program, mereka pikir politisi ini … banyak omong, tetapi tidak ada aksi.”
Pemilih Filipina, jika tidak semua, sebagian memuja dinasti politik dan ketenaran nama pribadi serta keluarga. Leni Robredo, lulusan doktor politik dan ekonomi dari University Oxford, sementara Bongbong tidak lulus dari universitas serupa, seperti dituliskan The Washington Post, edisi April 21, 2022, tidak mengubah takdir kemenangan telak Bongbong.
Pemilih Filipina, jika tidak semua, sebagian memuja dinasti politik dan ketenaran nama pribadi serta keluarga.
Bongbong pintar memanfaatkan dinasti politik di mana ia populer di daerah asalnya, Ilocos Norte, di mana dinasti Marcos tidak pernah pudar. Bongbong cerdik pula dengan menggaet Presiden Rodrigo Duterte, yang memiliki pesona dan dinasti tersendiri. Sara Duterte, putri presiden tandem dengan Bongbong, sebagai wakil presiden. Ini diikuti dengan pernyataan Presiden Duterte bahwa tidak ditemukan kekayaan tersembunyi yang diduga dilarikan keluarga Marcos. Duterte on Marcos: No hidden wealth ever found | Inquirer News
Waktu terbuang
Akhirnya warga pemilih di Filipina memang tidak memiliki ikon kuat di bidang politik dalam arti politik bernurani yang meneguhkan. Upaya Bongbong dari keluarga untuk tampil kembali, ”terbantu” dengan kinerja pemerintahan Presiden Rodrigo Duterte dan presiden-presiden sebelumnya yang dianggap rakyat tak bagus-bagus amat (Kompas, halaman 4, edisi 12 Mei).
Pengamat Asia Tenggara di Dewan Hubungan Luar Negeri di New York, Amerika Serikat, Joshua Kurlantzick, menjelaskan, sejak akhir 1990-an Filipina tidak pernah memiliki pemerintahan yang efektif dan bersih dari korupsi. Pemerintahan Duterte pun sama saja karena ia adalah penguasa yang semi-otokrat. ”Gagasan akan kekuasaan yang dipegang orang yang kuat kembali populer, terutama di kalangan anak muda,” ujarnya.
Selain itu, kinerja pemerintahan yang datang silih berganti setelah 1986 itu tidak bisa membalikkan ketidakadilan yang terjadi pada masa Marcos. Tidak ada perubahan yang signifikan, terutama pada masalah ketidakadilan dan kesenjangan ekonomi rakyat Filipina. Wajar saja, kata Abinales, jika rakyat merasa kecewa dan tidak ada bedanya satu presiden dengan presiden yang lainnya.
Revolusi Kuning dan nilai-nilai yang digaungkan keluarga Aquio, musuh Dinasti Marcos, juga redup.Marcos' landslide victory inevitable | The Manila Times
Di luar itu ada figur Presiden Gloria Macapagal Arroyo yang juga tersandung isu korupsi. Erick Estrada yang dijungkalkan lewat revolusi damai rakyat juga berakhir dengan kasus korupsi.
Ada juga nuansa politik gontok-gontokan, demikian pula nuansa politik uang. Akan tetapi, apakah ini hanya ciri khas Filipina. Rasanya Filipina tidak sendirian dalam hal ini.
Lepas dari itu, biarlah EDSA tetap menjadi saksi bisu akan gema nurani politik yang mungkin suatu saat menyadarkan rakyat di Filipina dan seluruh dunia.