Benarkah PT Krakatau Steel berpotensi bangkrut, seperti yang pernah disampaikan oleh Menteri BUMN beberapa saat lalu. Jawabannya : tidak sama sekali.
Oleh
HARRIS TURINO
·5 menit baca
Ketika meresmikan pabrik Hot Strip Mill 2 PT Krakatau Steel di Cilegon pada tanggal 21 September 2021, Presiden Joko Widodo mengatakan, “Dengan beroperasinya pabrik ini, kita akan dapat memenuhi kebutuhan baja dalam negeri. Jadi enggak ada lagi impor-impor yang kita lakukan.”
Semangat itulah yang saya gelorakan ketika memberikan masukan pada Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi VI dengan jajaran Direksi PT. Krakatau Steel. Baja memang adalah peringkat kedua komoditas impor Indonesia. Membatasi impor bukan semata menghemat devisa, tetapi ini persoalan kedaulatan Indonesia sekaligus penyediaan lapangan pekerjaan bagi masyarakat.
Bagaimana dengan ketersediaan bahan baku besi/baja di Indonesia? Harus diakui bahwa Indonesia tidak terlalu kaya bahan baku bijih besi. Kita hanya memiliki 0,11 persen cadangan bijih besi dunia atau setara dengan 927 juta ton, jauh di bawah Australia yang memiliki cadangan bijih besi terbesar di dunia, yaitu sebanyak 50 miliar ton.
Di sisi lain, kebutuhan besi atau baja Indonesia sebenarnya tergolong masih sangat rendah yaitu hanya sebesar 16 juta ton per tahun, atau setara dengan 59 kg per kapita. Ini jauh sekali bila dibandingkan dengan kebutuhan besi/baja di Singapura yang mencapai 250 kg per kapita, apalagi bila dibandingkan dengan Korea yang mencapai 1,200 kg per kapita. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat industrialisasi di Indonesia masih sangat rendah dan peluang pertumbuhan pasarnya masih sangat tinggi.
Yang miris adalah, terjadi kenaikan impor besi/baja di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir, terutama besi/baja untuk kebutuhan konstruksi umum. Celakanya adalah 78 persen dari kebutuhan tersebut sebenarnya bisa diproduksi oleh industri baja dalam negeri termasuk Krakatau Steel.
Maka selaku anggota Komisi VI DPR RI yang memiliki tugas konstitusional sebagai mitra pengawas BUMN, saya menyoroti kinerja PT. Krakatau Steel. Saat ini total produksi PTKS hanya sebesar 3,9 juta ton dari total produksi nasional sebesar 13 juta ton. Berarti market sharenya hanya sekitar 30 persen.
Lalu bagaimana kinerja perusahaan saat ini? Benarkah PT Krakatau Steel berpotensi bangkrut, seperti yang pernah disampaikan oleh Menteri BUMN beberapa saat lalu. Jawabannya : tidak sama sekali. Jajaran direksi PT Krakatau Steel memaparkan kinerjanya di depan anggota Komisi VI DPR RI dalam Rapat Dengar Pendapat pada tanggal 11 April 2022.
Dengan gamblang pak Silmy Karim selaku Direktur Utama, dan didampingi pak Purnomo Widodo selaku Direktur Pengembangan Bisnis dan ibu Melati Sarnita selaku Direktur Komersial, mengatakan bahwa PT Krakatau Steel membukukan keuntungan sebesar 23 juta dollar AS pada tahun 2020 dan naik menjadi 62 juta dollar AS (audited) pada tahun 2021. Pada kuartal pertama 2022 laba bersihnya sudah mencapai 18 juta dollar AS (un-audited), setelah bertahun-tahun sebelumnya menderita kerugian ratusan juta dollar.
Kok bisa? Kata kuncinya adalah operational excellent atau efisiensi di semua lini serta melakukan transformasi bisnis, termasuk penerapan digitalisasi dan pengembangan produksi ke arah Hot Strip Mill2 yaitu pelat baja yang cocok untuk industri otomotif. Dalam 3,5 tahun sejak Silmy Karim menjabat, telah terjadi penurunan variable cost sebesar 42 persen, fixed cost sebesar 49 persen dan operating expense sebesar 45 persen. Tentu ini adalah langkah penghematan yang layak diapresiasi, sekaligus menunjukkan bahwa bertahun lamanya perusahaan beroperasi secara sangat boros dan ugal-ugalan.
Walaupun sudah relatif bagus, tetapi masih ada beberapa pekerjaan rumah bagi PT Krakatau Steel yang harus dikerjakan. Pertama adalah mengenai pengelolaan utang perusahaan yang sebesar hampir 30 triliun rupiah. Utang ini jelas menggerogoti keuntungan bersih perusahaan dan perlu dikelola dengan baik. Skema restrukturisasi hutang perlu ditata agar tidak menghambat ruang gerak perusahaan dalam mencapai target produksi sebesar 10 juta ton di tahun 2025. Kedua adalah peta jalan untuk mencapai target produksi 10 juta ton harus lebih komprehensif sekaligus lebih berhati-hati, apalagi apabila menyangkut Penyertaan Modal Negara (PMN). Investasi ugal-ugalan di masa lalu tidak boleh terulang kembali.
PT Krakatau Steel harus belajar dari kesalahan masa lalu. Minimal ada dua proyek perusahaan itu yang boleh dikatakan mangkrak. Pertama adalah pembangunan Blast Furnice Complex pada tahun 2011 yang menelan investasi sebesar Rp 8,5 triliun. Ternyata baru beroperasi sebentar (kurang dari 6 bulan), pabrik ini terpaksa ditutup pada Desember 2019 karena tidak bisa bersaing. Biaya produksi slabnya adalah 742 dollar AS per ton jauh di atas harga pasar dunia sebesar 476 dollar AS ton. Alamak, jelas ini adalah pemborosan uang negara.
Yang lebih konyol lagi adalah kerja sama antara PT Krakatau Steel dan PT Antam dalam pembangunan pabrik ironmaking atau pabrik pengolahan besi berhasis teknologi kiln PT Meratus Jaya Iron and Steel (MJIS) di Kalimantan Selatan. Nilai investasinya sebesar Rp. 1,2 triliun. Ground breaking pembangunan pada 7 April 2009, mulai beroperasi pada bulan November 2012 dan hanya dalam waktu kurang dari tiga tahun produksinya dihentikan. Kembali alasan yang dikemukakan adalah tidak efisien dan mampu bersaing.
Kok bisa? Ternyata penyebabnya adalah karena alasan lokasi pabrik yang jauh dari pelabuhan (sekitar 30 km) untuk mengirimkan hasil produksi dan jauh pula dari sumber bahan baku, sehingga biaya logistiknya sangat tinggi. Lho, bukankah ini sudah diketahui dari awal sebelum pembangunan dilakukan. Sulit diterima akal sehat bahwa tidak ada studi kelayakan yang baik untuk investasi dengan nilai triliunan rupiah.
Mari kita kawal, agar ke depannya PT Krakatau Steel bisa menjadi industri kebanggaan nasional yang menopang pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Harris Turino adalah Head of Research Indonesian Strategic Management Society (SMS) dan anggota Komisi VI DPR RI