Kemerdekaan Pers Semakin dalam Tekanan...
Tanpa kebebasan pers, tidak ada masyarakat demokratis yang sesungguhnya. Tanpa kebebasan pers, tak ada kemerdekaan.
Without accountability there is no trust. Without trust there is no justice. Without justice there will be no peace. No peace.
(UNESCO/Guillermo Cano World Press Freedom Prize 2022, honouring those who stand up for your freedom, 29 April 2022)
Pandemi Covid-19 hingga kini belum juga berakhir. Di sejumlah negara, termasuk Indonesia, memang mulai ada pelonggaran. Namun, masih saja warga dunia ada yang menjadi korban pandemi. Media massa dan wartawan pun tak bisa menghindar dari dampak pandemi.
Akibat pandemi Covid-19, Press Emblem Campaign (PEC), organisasi nirlaba yang peduli pada keselamatan wartawan dan berbasis di Geneva, Swiss, melaporkan, tak kurang dari 1.994 jurnalis dan pekerja media dari sejumlah negara meninggal. Jumlah itu bisa lebih banyak lagi sebab sebagian kematian jurnalis akibat virus korana baru tak terdata dengan baik.
Paling banyak pekerja media yang menjadi korban pandemi itu, sesuai data sejak Maret 2020 hingga akhir tahun 2021, berasal dari Asia dan Amerika. Di Brasil sebanyak 314 pekerja media meninggal akibat pandemi, diikuti India (284), Peru (199), Meksiko (129), Kolombia (80), Amerika Serikat (70), Bangladesh (69), Italia (61), Venezuela (60), Ekuador (52), dan Argentina (50). Indonesia berada di peringkat ke-12, dengan perkiraan 43 pekerja media, termasuk pensiunan wartawan, meninggal terkena pandemi. Selama ini, belum ada lembaga resmi di negara ini yang melaporkan jumlah pekerja media yang meninggal akibat pandemi.
Selain mengakibatkan kematian langsung, pandemi Covid-19 juga membuat penderitaan tak langsung bagi pekerja media. Di beberapa negara, selama dua tahun pandemi, sejumlah media terpaksa berhenti terbit atau siaran dan mengurangi pekerjanya. The Poynter Institute for Media Studies, yang berbasis di Florida, AS, pada Desember 2021 melaporkan, di ”Negeri Paman Sam” selama pandemi tak kurang dari 100 media lokal, beberapa di antaranya sudah berusia seabad, terpaksa tutup. Sejak 2004, di AS diperkirakan tak kurang dari 1.800 media, terutama media cetak, tutup. Kondisi tak jauh berbeda juga terjadi di Indonesia meski jumlahnya tak mencapai ratusan media.
Selama pandemi tak kurang dari 100 media lokal, beberapa di antaranya sudah berusia seabad, terpaksa tutup.
Pandemi Covid-19 menjadi tekanan yang luar biasa terhadap media dan pekerja media. Bahkan, karena pandemi, agar tetap bertahan hidup, tak sedikit pimpinan media yang terpaksa berkompromi dengan model bisnis yang tentu dapat mengancam kebebasan pers. Jurnalis pun terpaksa mengikuti kebijakan itu dan sedikit melepaskan kemerdekaannya.
Tekanan hebat yang masih menimpa kemerdekaan pers itu diakui Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Antonio Guterres dalam pesan pada Hari Kebebasan Pers Sedunia, Selasa (3/5/2022). Dalam peringatan puncak Hari Kebebasan Pers Sedunia (International Press Freedom Day) , yang diperingati setiap 3 Mei, ia mengatakan, ”Kami menyoroti pekerjaan penting jurnalis dan pekerja media lain yang mencari transparansi dan akuntabilitas dari mereka yang berkuasa. Hal ini acapkali dengan risiko pribadi yang besar. Selama pandemi Covid-19, banyak pekerja media berada di garis depan, menyediakan pelaporan berbasis sains yang akurat, untuk memberi informasi kepada pembuat keputusan dan menyelamatkan nyawa.”
Namun, pada saat bersamaan, wartawan dan pekerja media juga mempertaruhkan keselamatannya. Di negeri ini, Kode Perilaku Wartawan dari Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) mengingatkan, tidak ada berita sehebat apa pun yang bisa mengalahkan keselamatan wartawan. Namun, tidak sedikit pekerja media yang mengabaikan keselamatannya demi sebuah berita yang benar dan hebat bagi masyarakat. Ini tak hanya terbatas pada liputan tentang pandemi, tetapi juga pada liputan yang lain, termasuk penyalahgunaan kekuasaan, perubahan iklim, serta korupsi dan kolusi.
”Ancaman terhadap kemerdekaan pers, jurnalis, dan pekerja media semakin hari semakin meningkat,” ujar Guterres. Puncak peringatan Hari Kemerdekaan Pers Sedunia tahun ini digelar di Punta del Este, Uruguay, 2-5 Mei 2022.
Teknologi digital
Guterres bersama Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan PBB (UNESCO), yang menjadi penanggung jawab peringatan Hari Kemerdekaan Pers Sedunia, tahun ini mengangkat tema ”Jurnalisme di Bawah Pengepungan Digital” (Journalism under Digital Siege). Teknologi digital mendemokratisasi akses informasi, tetapi juga menciptakan tantangan serius. Model bisnis dari banyak platform media sosial tidak didasarkan pada peningkatan akses ke pelaporan yang akurat, tetapi pada peningkatan keterlibatan, yang sering kali berarti memprovokasi kemarahan dan menyebarkan kebohongan.
Baca juga: Kebebasan Pers di Indonesia Melemah
Pekerja media di zona perang terancam tak hanya oleh bom dan peluru, tetapi juga oleh pemalsuan dan disinformasi yang menyertai peperangan modern. Pekerja media bisa jadi diserang sebagai musuh, dituduh melakukan spionase, ditahan, atau dibunuh, hanya karena melakukan pekerjaannya.
Bahkan, wartawan bisa juga dituduh sebagai penyebar berita yang menimbulkan perpecahan dalam masyarakat melalui pesan digital. Indeks Kebebasan Pers Dunia tahun 2022, yang diterbitkan Reporters Without Borders (RSF) pada 3 Mei lalu, mengungkapkan peningkatan dua kali lipat dalam polarisasi yang diperparah oleh kekacauan informasi, yaitu polarisasi media yang memicu perpecahan di dalam negara serta polarisasi antarnegara di tingkat internasional. Media menjadi berbahaya jika dalam kendali penguasa tanpa kemerdekaan pers.
Teknologi digital juga membuat penyensoran menjadi lebih mudah. Banyak jurnalis dan editor di dunia menghadapi risiko penyensoran itu. Teknologi digital juga menciptakan saluran baru untuk penindasan dan penyalahgunaan. Perempuan jurnalis sangat berisiko mengalami pelecehan dan kekerasan. Wartawan di Indonesia pun mengalami kekerasan dan pelecehan itu, termasuk melalui saluran digital, seperti peretasan, doxing, dan karya dilabeli hoaks.
UNESCO menemukan, peretasan dan pengawasan ilegal juga mencegah jurnalis melakukan pekerjaannya. Metode dan alat berubah, tetapi tujuan mendiskreditkan media dan menutupi kebenaran tetap sama seperti sebelumnya. Hasilnya juga sama: warga yang tidak mampu membedakan fakta dari fiksi dan dapat dimanipulasi dengan cara yang mengerikan. Tanpa kebebasan pers, tidak ada masyarakat demokratis yang sesungguhnya. Tanpa kebebasan pers, tak ada kemerdekaan.
Menurut Audrey Azoulay, Direktur Jenderal UNESCO, ”Kita semua harus berbuat lebih banyak untuk mengatasi risiko dan memanfaatkan peluang di era digital.” Ia pun meminta pemerintah, negara, perusahaan teknologi, komunitas media, dan masyarakat untuk bersama mengembangkan konfigurasi yang melindungi jurnalisme dan jurnalis. PBB juga bekerja mendukung perlindungan wartawan dan pekerja media di seluruh dunia, serta mengakhiri impunitas atas kejahatan yang dilakukan terhadap mereka. Kemerdekaan pers akan menjamin peran penting media dalam menyuarakan kebenaran pada kekuasaan, mengungkap kebohongan, serta membangun institusi dan masyarakat yang kuat dan tangguh. Media bisa menghadirkan kebenaran, keadilan, dan perdamaian di dunia ini.
Seperti RSF dan UNESCO, PEC juga mengkhawatirkan penurunan tajam kebebasan pers, terutama di daerah konflik, termasuk di Ukraina yang sejak akhir Februari lalu diserang Rusia. Sejak awal tahun ini, PEC mencatat, 52 pekerja media membayar dengan nyawa untuk melakukan pekerjaannya. Di Rusia, kontrol Kremlin menciptakan kemunduran kemerdekaan pers, yang belum pernah terjadi sebelumnya.
”Jumlah jurnalis yang terkena dampak kekerasan dari tahun ke tahun meningkat sekitar 116 persen. Perkembangan ini sangat mengkhawatirkan,” kata Presiden PEC Blaise Lempen. Sedikitnya 21 pekerja media tewas hanya dalam dua bulan perang di Ukraina. Sebagian lainnya terluka, diculik, hilang, diancam, diretas, atau dipaksa untuk berhenti bekerja. Akses media ke zona perang di Ukraina juga semakin sulit dan berbahaya karena sifat pertempuran yang bergejolak.
Sejak 1 Januari 2002 hingga 3 Mei 2022, RSF melaporkan, 24 wartawan dan seorang pekerja media terbunuh. Selain itu, 461 jurnalis dan 19 pekerja media di sejumlah negara kini berada dalam tahanan. Perang di Ukraina menjadi salah satu area yang paling berbahaya bagi pekerja media. RSF mencatat pula, Rusia bersama 11 negara lain masuk daftar merah Indeks Kemerdekaan Pers. Situasinya sangat buruk. Tahun ini, Indonesia berada di peringkat ke-117 dengan skor 49,27, menurun dibandingkan tahun 2021 di peringkat ke-113 (skor 62,6).
Kemerdekaan pers yang tertekan di seluruh dunia tak hanya secara fisik, tetapi juga disebabkan oleh perkembangan digital, seperti diingatkan PBB. Model bisnis yang berbasis digital adalah salah satu ancaman nyata dari kebebasan pers.
Di Indonesia, sesuai data Dewan Pers tahun 2021, ada lebih dari 600 pengaduan masyarakat terkait media. Sebagian besar pelanggaran berawal dari pengelola media massa yang terjebak dalam model bisnis berbasis teknologi digital.