Apa yang akan terjadi setelah Elon Musk membeli Twitter? Sangat mungkin kelak Twitter dan Elon Musk membuat langkah-langkah yang bakal mendisrupsi peran negara dan membuat dunia tunggang-langgang.
Oleh
ANDREAS MARYOTO
·4 menit baca
Kekhawatiran tentang perusahaan teknologi yang bakal lebih berkuasa dibandingkan pemerintahan negara besar sudah lama muncul. China dan Amerika Serikat sudah mendeteksi perkembangan ini dan berusaha menekan mereka. Pembelian Twitter oleh Elon Musk mengingatkan kita pada masalah itu. Sangat mungkin kelak Twitter dan Elon Musk membuat langkah-langkah yang bakal mendisrupsi peran negara dan membuat dunia tunggang-langgang.
Sejumlah ahli sampai hari ini masih berspekulasi tentang alasan CEO Tesla Elon Musk membeli Twitter dengan harga yang sangat fantastis, yaitu 44 miliar dollar AS atau sekitar Rp 632 triliun secara tunai. Dengan pembelian itu, Elon Musk bakal mengembalikan Twitter ke perusahaan privat alias bukan lagi perusahaan publik. Ia berkuasa penuh atas platform media sosial dengan pengguna sekitar 217 juta.
Melihat perilakunya selama ini, Musk bukanlah orang yang sekadar membeli dan menjalankan bisnis platform ini seperti bisnis pada umumnya. Pembelian ini akan digunakan untuk memamerkan kemampuannya. Kesepakatan bisnis dengan direksi Twitter yang tak mudah tentu sudah membuat orang kagum padanya hingga ia berhasil membeli perusahaan itu. Ia pasti akan menunjukkan kemampuan-kemampuan lainnya yang pasti di luar perkiraan orang. Ide-idenya memang liar seperti selama ini.
Sangat mungkin kelak Twitter dan Elon Musk membuat langkah-langkah yang bakal mendisrupsi peran negara dan membuat dunia tunggang-langgang.
Akan tetapi, dendam dia terhadap yang dianggapnya pengekangan berpendapat di Twitter beberapa waktu lalu—meski lebih tepat disebut moderasi konten—akan memunculkan langkah balik. Ia sangat mungkin akan membuka Twitter lebih bebas lagi. Moderasi konten mungkin akan lebih lunak. Sebagai orang yang memegang kebebasan absolut, Musk tentu tidak akan membiarkan Twitter di bawah pengaruh kendali yang ketat. Baginya, kebebasan adalah segalanya dan dianggap sebagai kunci sukses selama ini.
Lihat saja unggahannya beberapa waktu lalu. Musk mencuit, ”mengingat bahwa Twitter yang seharusnya berfungsi sebagai sebuah alun-alun kota secara de facto, tetapi mereka telah gagal mematuhi prinsip-prinsip kebebasan berbicara. Secara mendasar langkah Twitter disebut sebagai merusak demokrasi”. Musk kemudian bertanya, ”apa yang harus dilakukan?” Dia juga melanjutkan dan menanyakan, ”apakah platform baru diperlukan?”
Lebih dari itu, Musk mungkin akan membuat perhitungan dengan otoritas-otoritas yang selama ini membuat dia tak leluasa bergerak. Salah satunya, ia telah menantang badan pasar modal AS, US Securities and Exchange Commission (SEC), karena lembaga ini dianggap telah ”memenjara” dirinya setelah sebuah cuitan yang dianggap meresahkan investor di pasar modal.
SEC mengatakan kepada hakim bahwa cuitan Musk tentang Tesla akan tetap menjadi subyek yang valid untuk penyelidikan pemerintah bahkan jika pengadilan membatalkan sebuah perjanjian tahun 2018 antara Musk dan SEC. Cuitan Musk tidak lagi cuitan yang bebas. Ada konsekuensi yang harus ditanggung bila dia ”ngawur” di media sosial.
Musk berusaha untuk mengakhiri pengawasan oleh SEC atas unggahannya di Twitter. Ia mengklaim perjanjian itu digunakan untuk menginjak-injak haknya untuk melakukan kebebasan berbicara. Dia juga meminta pengadilan untuk memblokir panggilan dari regulator pasar modal untuk sebuah dokumen yang berkaitan dengan peninjauan cuitannya.
Di bawah perjanjian penyelesaian SEC, regulator akan mendistribusikan dana dari perusahaan dan Musk kepada investor yang kehilangan uang akibat membeli saham Tesla setelah Musk mengklaim di Twitter, bahwa dia berpikir untuk membawa perusahaan itu dari perusahaan publik ke perusahaan privat alias keluar dari bursa saham. Cuitan ini pernah muncul beberapa tahun yang lalu.
Dengan penguasaan saham Twitter, Musk mungkin bisa bertindak lebih jauh. Ia sangat mungkin akan menjadi ”lawan” bagi otoritas-otoritas di sejumlah negara ketika dirasa olehnya tidak sejalan dengan yang dipikirkannya. Seperti langkah selama ini, kita bisa menduga langkah Musk bakal mendisrupsi banyak hal. Kali ini disrupsi yang dilakukan mungkin bukan hanya soal teknologi atau bisnisnya, melainkan juga organisasi atau mungkin pemerintah sebuah negara.
Di titik ini, otoritas atau pemerintah akan makin waspada. Perusahaan teknologi cenderung makin berkuasa dan berpengaruh. Sebelum terjadi pembelian Twitter, keberadaan perusahaan teknologi yang membesar mencemaskan beberapa negara.
China telah mencium gelagat ini hingga tahun lalu berkali-kali menekan perusahaan teknologi. Aksi-aksi korporasi sejumlah perusahaan teknologi dibatalkan dan mereka cenderung ”dibonsai”. Tindakan otoritas China ini menjadi sinyal bagi perusahaan teknologi setempat untuk tunduk dan tidak terlalu membesar serta berada di atas otoritas.
Amerika Serikat juga sudah melakukan hal yang sama meski tidak dengan cara-cara frontal. Amerika Serikat lebih mengedepankan aturan persaingan usaha. Mereka akan mempermasalahkan akumulasi penguasaan-penguasaan di dalam satu tangan yang dilakukan oleh perusahaan teknologi.
Untuk menangani masalah ini, Amerika Serikat menunjuk seorang anak muda yang mungkin dipandang memahami masalah ini. Ia adalah Lina Khan yang menjabat Kepala Federal Trade Commission yang merupakan lembaga perlindungan konsumen dan pengawas persaingan usaha.
Ke depan, kita akan melihat perseteruan antara otoritas dan perusahaan teknologi makin sering terjadi. Perusahaan teknologi telah menjadi entitas dan aktor di dalam menentukan masa depan dunia. Beberapa negara bahkan telah membangun diplomasi terhadap perusahaan teknologi karena melihat komunikasi dengan perusahaan teknologi menjadi penting.
Twitter di tangan Musk akan makin berkembang dan mungkin suatu saat menjadi sebuah ”kerajaan” dan memiliki kekuasaan besar. Kita akan melihat sebuah perkembangan yang sangat mencengangkan dalam waktu dekat.