Ada bahaya pada ”wakewashing”, upaya dangkal dari suatu merek untuk terlibat pada aktivisme yang sedang berkembang. Namun, konsumen meihatnya sebagai cara yang munafik atau tak bermakna.
Oleh
ANDREAS MARYOTO
·4 menit baca
”Kaki wanita berbau lima kali lebih buruk daripada pria. Jika Anda tidak percaya, cium baunya.” P&G mungkin tidak menduga ketika mereka melontarkan iklan berbasis survei ini ke publik. Dalam waktu singkat, unggahan itu langsung memunculkan reaksi gusar dari masyarakat. Perempuan tersinggung dan menganggap survei itu tendensius. Merek perlu lebih peka dengan berbagai isu-isu sensitif. Belakangan bermunculan isu baru yang perlu disikapi oleh merek dengan berhati-hati.
Unggahan itu muncul di akun media sosial P&G yang sekarang sudah dihapus seperti dikutip South China Morning Post dalam laporan Business Insider. P&G telah membagikan unggahan tersebut pada 13 Maret lalu melalui akun resminya di platform media sosial China, yaitu WeChat. Unggahan tersebut dimaksudkan untuk mempromosikan lini produk perawatan tubuh yang harum baunya.
Unggahan ini segera memicu kemarahan warganet China. Banyak pengguna WeChat mengatakan mereka akan memboikot perusahaan tersebut atas unggahan seksis. Pada waktu itu, muncul tagar ”P&G dituduh menghina wanita” di platform mirip Twitter China, yaitu Weibo. Unggahan ini telah dilihat 30 juta kali. Unggahan P&G itu disajikan sebagai rangkaian infografis.
Merek perlu lebih peka dengan berbagai isu-isu sensitif. Belakangan bermunculan isu baru yang perlu disikapi oleh merek dengan berhati-hati.
Inovasi-inovasi bisnis sering mengikutsertakan survei. Hasil survei kemudian digunakan untuk membuat produk. Hasil survei pula digunakan untuk materi pemasaran. Untuk mengajak konsumen membeli produk itu dikeluarkanlah hasil survei yang lebih mudah ditangkap publik dan sedikit ”bumbu-bumbu” teks, video, atau foto yang makin mendekatkan produk itu dengan keseharian konsumen.
Meski demikian, tidak sedikit pula ketika menjadi materi pemasaran, semua rencana itu ambyar karena reaksi publik. Kasus P&G hanyalah satu di antara materi pemasaran berbasis survei yang blunder dan mendapat reaksi keras dari konsumen. Di sinilah pemahaman terhadap isu-isu sensitif diperlukan, terutama isu-isu aktual, seperti isu jender, perubahan iklim, kesetaraan, dan disabilitas. Salah satu patokan yang penting adalah masyarakat makin sadar dengan berbagai isu-isu itu.
Di sinilah pemahaman terhadap isu-isu sensitif diperlukan, terutama isu-isu aktual, seperti isu jender, perubahan iklim, kesetaraan, dan disabilitas.
Pada 2017, Pepsi melakukan kesalahan besar. Sebuah iklan yang dibintangi Kendall Jenner membuat model tersebut bergabung dengan kerumunan multietnis yang bergaya. Mereka turun ke jalan dan berkumpul untuk tujuan yang tidak terlalu jelas. Namun, publik melihat aksi tersebut mengeksploitasi sekaligus mereduksi protes Black Lives Matter yang diduga menjadi ide dasar adegan tersebut.
Ada papan dengan tulisan ”Bergabunglah dengan Percakapan”, sebuah tanda menonjol terbaca dengan lembut, tetapi subyek percakapan tersebut sama sekali tidak diketahui. Adegan berikutnya Jenner berjalan ke arah seorang petugas polisi dan menawarinya sekaleng soda. Polisi meminumnya dan kemudian kerumunan bersorak, ”Masalahnya, apa pun itu, terpecahkan selamanya!”
Iklan ”sederhana” ini membuat keributan. Menurut laman Quartz, semua orang membencinya. Dalam waktu 48 jam, kemarahan publik memaksa Pepsi menarik iklan yang tak jelas nadanya itu dan meminta maaf. Merek tersebut membutuhkan waktu sembilan bulan untuk memulihkan reputasinya di kalangan milenial.
Cara ini malah memicu kemarahan orang di media sosial. Merek berusaha masuk ke dalam isu sensitif, tetapi sesungguhnya konsumen paham dan menilai cara itu tidak baik.
Secara keseluruhan, kasus ini merupakan pelajaran tentang bahaya yang mengintai pada upaya yang bernama wakewashing, upaya dangkal dari suatu merek untuk terlibat pada aktivisme yang sedang berkembang. Merek berupaya masuk di dalamnya, tetapi konsumen dengan cepat mengidentifikasi hal itu sebagai cara munafik atau sama sekali tidak bermakna. Cara ini malah memicu kemarahan orang di media sosial. Merek berusaha masuk ke dalam isu sensitif, tetapi sesungguhnya konsumen paham dan menilai cara itu tidak baik.
Masalah ini sebenarnya telah disadari oleh para pemilik merek. Sebuah asosiasi bernama Interactive Advertising Bureau (IAB) Eropa pernah mengadakan survei terhadap 90 eksekutif senior Eropa yang bekerja di sektor periklanan digital. Mereka antara lain terdiri dari agensi, perusahaan teknologi iklan, dan penerbit. Mereka menemukan bahwa lebih dari tiga perempat (77 persen) menganggap keamanan merek sebagai prioritas utama.
Survei ini juga mengungkapkan bahwa 57 persen responden setuju bahwa keamanan merek makin menjadi tantangan dibandingkan pada tahun-tahun sebelumnya, terutama karena pengiklan sekarang memiliki pemahaman yang lebih baik tentang masalah isu-isu aktual. Di samping itu, seperlima (20,5 persen) responden berpendapat bahwa industri gagal melakukan pekerjaan yang baik dalam menangani keamanan merek pada tahun lalu.
Peserta survei juga mengungkapkan langkah-langkah yang diambil untuk mengamankan merek di kanal digital. Beberapa teknis pemasaran digital bisa mengurangi masalah di dalam pemasaran digital.
Namun, mereka melihat bahwa pendidikan di dalam industri periklanan adalah kebutuhan yang berkelanjutan agar merek lebih aman di dalam menggunakan kanal digital. Untuk itu, IAB menerbitkan panduan praktik terbaik di seluruh Eropa bersama dengan temuan surveinya.