Sesungguhnya, bukan hanya pergelaran, dalam hal ini pertunjukan musik, tetapi juga semua aktivitas manusia yang normal terinterupsi. Jangankan konser, olahraga sejagat seperti Olimpiade pun dihentikan. Artinya, pandemi mengistirahatkan semuanya.
Setelah semuanya menjadi endemi, yang tak boleh hilang adalah kreativitas. Mesti ada yang berubah bagaimana kita melihat gerak roda kebudayaan ini. Bukan saja asal menyalakan lampu hiburan, tetapi mengubah mindscape (peta kreativitas).
Pandemi memaksa kita mendesain pergelaran dengan mempertimbangkan tiga hal ini: (1) beradaptasi dengan lingkungan (diferensiasi); (2) menghidupi ekonomi sosial masyarakat (solidaritas; ekonomi berbagi); (3) aksesibilitas (sepenarian dengan tren teknologi digital).
Perubahan yang mencolok mata yang diinterupsi pandemi adalah paparan laku digital yang tak lagi bisa kita hindari. Namun, hal itu tidak boleh mengabaikan marwah sosial leluhur yang disumbang bangsa cincin api: solidaritas dan ekonomi-berbagi.
"Music tourism"
Pergelaran dengan konsepsi diferensiasi itu bertumpu kepada dua semangat itu. Pergelaran yang adaptif itu—pinjam istilah dua akademisi asal Australia, John Connel dan Chris Gibson—bernama music tourism.
Pertunjukan musik tidak lagi semata menggelar pertunjukan. Musik dipandang berdiri sendiri tanpa terkait dengan apa pun. Jika ini terjadi, derita musik sebelum pandemi tak berubah. Selain dibedakan secara tegas dengan pergelaran musik tradisi, konser musik terkini dipandang sebagai pertunjukan mewah yang karena itu ditutuk oleh pajak yang tak kalah ”mewah”-nya.
Konser musik mesti dileburkan jadi bagian yang tak terpisahkan dari industri raksasa bernama pariwisata di mana ia memberikan kontribusi signifikan bagi ekonomi. Dalam catatan John Connel dan Chris Gibson pada 2019, musik menyumbang 9,2 triliun dollar AS terhadap ekonomi global.
Jika kita konversi dalam konteks music tourism, problem musik yang tersentralisasi di kota-kota metropolitan bisa terkembang seturut adaptasi atas pariwisata dengan menghidupkan kota-kota kabupaten yang ”tidur”. Tanpa konsep music tourism, mana mau promotor-promotor musik internasional menggelar acara di Boyolali (Merapi), Asahan (Toba), atau Bima (Tambora).
Pariwisata musik bergerak bersama sejarah kota dan kehidupan manusia-manusia di dalamnya. Festival yang dilangsungkan adalah keterkaitan antara pergelaran musik dan jalur destinasi wisata/atraksi budaya yang terhubung satu dengan yang lain.
Ratusan ribu orang yang mengunjungi sebuah kota yang dipicu oleh peristiwa musik adalah yang tidak semata datang untuk musik, melainkan wisatawan yang menikmati kekhasan sebuah kota. Mereka tergolong wisatawan loyal (fans) dan sekaligus royal (konsumsi).
Di titik ini, pelaku musik dan pemerintah mesti dalam satu aras kesadaran yang sama bahwa kota-kota yang kaya dengan atraksi budaya destinasi wisata alam dan masa silam seperti di Indonesia adalah potensi luar biasa besar.
Belajarlah dari Parkes, kota berpenduduk 11.000 jiwa di New South Wales yang tenar berkat Elvis Festival yang kini rata-rata dikunjungi 25.000 wisatawan; juga Manchester di Tennessee yang tiap Festival Musik Bonnaroo diadakan populasinya membengkak: dari 10.000 menjadi 100.000-an jiwa.
Bayangkan tatkala konsepsi music tourism ini bekerja di Solo, misalnya. Tak terbayang saat band rock raksasa seperti Dream Theater tampil, lampu-lampu ekonomi seluruh kota bisa hidup. Bukan saja hotel, transportasi, pasar tradisional, maupun kuliner, tetapi tempat-tempat eternal yang selama ini terlupa semacam museum musik maupun kuburan-kuburan pesohor musik bergeliat.
Sebagai sebuah konsep besar, sekali lagi, music tourism bukan domain an sich pelaku musik, melainkan pelibatan pemerintah dan semua komunitas budaya. Para pihak itu berdiri sejajar dengan satu irama kesepahaman bahwa festival musik memiliki rantai ekonomi merentang jauh. Musik membuka lapangan kerja bagi banyak orang.
Sebuah festival butuh tim penyelenggara, musisi, kru, hingga seperti yang sudah disebutkan Dimas Leimena di esainya, yakni ahli listrik, ahli lighting, tenaga keamanan, jasa rental sound system dan rig, pembuat panggung, tukang parkir, penjual makanan dan minuman, tukang sablon, penjaga tiket, merchandise, serta puluhan profesi lain yang turut kecipratan rezeki.
Atraksi unggulan
Sampai di sini, musik bisa kita jadikan salah satu atraksi unggulan kebudayaan kita.
Untuk yang sifatnya permanen, Indonesia punya banyak sejarah musik yang bisa digali. Saya membayangkan ada biro perjalanan yang membikin tur semacam tur punk rock di Lower East Side, New York; atau napak tilas Beatles di Liverpool. Hal seperti itu bisa pelan-pelan dibikin di kota seperti Yogyakarta, Bali, Jakarta, Bandung, Malang, Medan, Makassar, Surabaya, juga Solo yang cocok untuk tur menapaktilasi perjalanan karier Gesang maupun Didi Kempot.
Sementara yang sifatnya event, mari para promotor bikin festival atau konser bagus berstandar tinggi. Indonesia adalah pasar besar yang menggiurkan bagi musisi kaliber dunia. Tinggal promotor Indonesia yang harus terus-menerus menaikkan standar penyelenggaraan event agar bisa sejajar dengan promotor dunia.
Yang juga patut dicatat, mayoritas penggerak industri wisata musik adalah swasta. Namun, bukan berarti pemerintah cukup berpangku tangan. Ada banyak hal yang bisa dilakukan untuk mendorong music tourism. Yang paling sederhana: memasukkan lebih banyak festival musik ke kalender wisata Indonesia.
Selain itu, pemerintah juga bisa memberikan kemudahan di imigrasi, memberikan potongan pajak atau rabat, dan kelak jika industri ini sudah maju, bisa meniru apa yang dilakukan kota-kota semacam London, Austin, atau Liverpool: memberi bantuan dana bagi pelaku wisata musik.
Semoga, pandemi memberi insight baru bagi kita untuk melihat kemungkinan cerah masa depan musik di masa depan. Sampai di sini, pandemi adalah berkah, bukan iblis yang terus-menerus kita kutuk.
Anas Syahrul Alimi
Ketua Bidang Jaringan dan Pengembangan Asosiasi Promotor Musik Indonesia (APMI), CEO Prambanan Jazz Festival