Waerebo dan Buruknya Infrastruktur
Kerusakan jalan akses menuju Waerebo sebenarnya telah lama terjadi dan tampaknya tidak pernah diperbaiki. Kondisi ini seharusnya tidak terjadi di wilayah yang menjadi incaran wisatawan dunia.
Dalam rubrik surat pembaca harian Kompas edisi Rabu, 13 April 2022, Albertus Pranoto mengeluhkan kondisi jalan menuju kampung adat Waerebo, Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur.
Menurut pengalaman warga Lebak Bulus, Jakarta Selatan, ini saat berwisata ke sana, akses jalan raya menuju Waerebo, baik dari arah selatan maupun timur, dalam kondisi rusak parah.
Selain itu, ia juga mengeluhkan pelayanan tukang ojek yang belum terorganisir dengan baik. Ojek melayani pengangkutan dari Desa Dintor ke Pos Satu Waerebo sejauh sekitar 2,5 kilometer. Perilaku rebutan penumpang oleh para tukang ojek membuat kenyamanan konsumen berkurang.
Pengamatan penulis, kerusakan jalan di kawasan itu sebenarnya telah lama terjadi dan tampaknya tidak pernah diperbaiki. Kondisi ini seharusnya tidak terjadi di wilayah yang menjadi incaran wisatawan dunia. Infrastruktur jalan mestinya menjadi prioritas utama agar wisatawan dapat melakukan perjalanan dengan nyaman.
Dengan kondisi jalan rusak yang berlangsung bertahun-tahun tersebut, terlihat kurangnya perhatian dari Pemerintah Kabupaten Manggarai, Pemerintah Provinsi NTT, dan pemerintah pusat. Hal ini bertolak belakang dengan yang dilakukan di Labuan Bajo.
Lama dibiarkan
Saya teringat pada Agustus 2017, sewaktu harian Kompas menggelar touring Jelajah Sepeda Flores yang diikuti 60-an pesepeda dari berbagai kota di Indonesia. Saat itu, kampung adat Waerebo termasuk salah satu lokasi yang didatangi peserta.
Bahkan, di situ pula digelar upacara bendera memperingati hari ulang tahun ke-72 Kemerdekaan Republik Indonesia. Bertindak selaku inspektur upacara adalah Inspektur Jenderal Royke Lumowa yang saat itu menjabat Kepala Korps Lalu Lintas (Korlantas) Polri.
Ketika itu, kami berangkat dari Ruteng menuju Waerebo melalui Cancar dan Todo, yang merupakan bagian dari jalur timur. Kondisi jalan saat itu pun rusak parah. Kerusakannya cukup panjang, bahkan hampir di sebagian besar ruas jalan dari Todo hingga Denge yang merupakan kampung terakhir menuju Waerebo. Demi masuk Waerebo sebelum matahari terbenam, peserta terpaksa dievakuasi menggunakan truk.
Esok harinya, sewaktu kembali dari Waerebo menuju Labuan Bajo, kami memilih melewati jalur selatan, yakni Nangalili. Waktu tempuhnya lebih pendek, hanya 2,5 jam dari Denge ke Lembor yang merupakan titik persimpangan dengan jalan utama lintas Flores. Jika melewati jalur timur, yakni Todo, membutuhkan waktu 4-4,5 jam.
Kerusakan jalan di jalur selatan pun setali tiga uang dengan jalur timur. Di jalur ini malah ada jembatan putus yang sudah beberapa tahun dibiarkan merana. Akibatnya, kami harus menyewa truk lebih banyak lagi agar bisa mengangkut rombongan pesepeda secara estafet.
Baca Juga: Mengenang 10 Tahun Perkenalan Waerebo dengan Dunia Luar
Pada 26 November 2021, bersama rombongan sepeda Jelajah Komodo, kami kembali mendatangi Waerebo di Kabupaten Manggarai, NTT. Perjalanan dimulai dari Lembor melewati Nangalili. Kerusakan jalannya makin parah.
Hal yang berubah hanya jembatan putus yang sudah dibangun baru. Namun, jembatan-jembatan kecil lainnya malah dibiarkan bertambah rusak. Perubahan lain adalah ruas jalan dari Dintor hingga Denge sejauh sekitar 5 kilometer juga sudah diaspal mulus.
Para peserta Jelajah Komodo saat itu tidak habis pikir dengan pemerintah daerah dan pemerintah pusat. Kampung adat Waerebo sudah lama mendunia. Wisatawan dunia telah menjadikan Waerebo sebagai salah satu tujuan utama saat mengunjungi Flores. Akan tetapi, kerusakan jalan menuju Denge sama sekali tidak diperbaiki. Jalan dan jembatan juga masih dibiarkan rusak.
”Tahun 2017, kami pernah datang ke Waerebo, kondisi jalan rayanya tidak banyak berubah dari sekarang. Jika pemerintah daerah dan pemerintah pusat peduli dengan Waerebo, sebaiknya segera membangun jalan raya dan jembatan yang lebih baik menuju Denge agar wisatawan lebih nyaman melakukan perjalanan,” kata Octovianus Noya, pesepeda asal Jakarta.
Baca Juga: Road of ”Suffering” to Waerebo
Proyek yang menganggu
Dari pos satu, pengunjung Waerebo harus berjalan kaki melewati hutan yang lebat dan padat dengan kontur menanjak. Udaranya begitu sejuk dan segar. Pada kilometer pertama, tampak ruas jalan itu sudah dipasangi batu-batu ceper yang dilapisi semen.
Sepeda motor pun diizinkan melintas di jalur itu. Namun, suara bising kendaraan ini sangat mengganggu para pengunjung yang sedang berjalan kaki menuju ke atau kembali dari Waerebo.
Jalan yang disemen, ditata dengan kontur menanjak. Dinding tanah pun dipangkas untuk melebarkan badan jalan, tanpa dibangun penahan. Jika hujan lebat, dinding tanah itu berpotensi longsor. Jalan yang bersemen pun bakal dipenuhi lumut sehingga menjadi licin dan bisa mengganggu perjalanan para pejalan kaki.
”Saya tidak mengerti dengan konsep pembangunan jalan ini bagi pengunjung Waerebo. Proyek ini bukan membuat pejalan kaki menjadi lebih nyaman, melainkan berpeluang bikin cedera,” kata Hengkie Benjamin, pesepeda dan pendaki gunung yang tinggal di Jakarta.
”Kesannya hanya sekadar membangun tanpa mempertimbangkan aspek kelestarian lingkungan dan kenyamanan pejalan kaki. Lebih ke memberi ruang untuk sepeda motor melintas,” lanjutnya.
Leontinus Alpha Edison, pesepeda lainnya, juga mengaku kecewa dengan proyek pengerjaan jalan setapak menuju kampung adat Waerebo. Proyek itu dinilai hanya merusak keunikan Waerebo. Dia menduga aparat pemerintah yang merencanakan proyek itu belum pernah ke Waerebo sehingga kurang mempertimbangkan berbagai sisi sebelum membuat perencanaan proyek.
”Proyek ini hanya merusak keunikan Waerebo. Semestinya kondisi tradisionalnya dipertahankan karena di situlah daya tarik wisatanya. Ada unsur experience dan adventure. Orang kalau hiking melewati hutan dan melewati jalan tanah tentu pengalamannya beda dengan lewat jalan bersemen. Jika mau ditata, lebih baik dirapikan saja,” kata Leontinus yang juga salah satu pendiri Tokopedia itu.
Baca Juga: Waerebo dalam Keunikan Kehidupan
Perhatian bersama
Mengapa kondisi infrastruktur menuju Waerebo terus dalam kondisi rusak? Agaknya, pemerintah pusat masih kurang memerhatikan wilayah lain di Flores. Perhatian masih tertuju pada Labuan Bajo sebagai destinasi superpremium.
Padahal, jika wilayah lain juga diberi perhatian, akan membuka peluang bagi wisatawan untuk mengunjungi tempat-tempat unik dan menarik lainnya yang tersebar dari wilayah barat hingga timur Pulau Flores.
Waerebo sendiri bukan tujuan wisata biasa. Rumah adat Mbaru Niang yang ada di desa adat itu dianugerahi penghargaan tertinggi (award of excellence) dalam konservasi warisan budaya oleh UNESCO pada 2012.
Demikian pula dengan kabupaten-kabupaten lain di Flores yang memiliki tradisi berbeda-beda dan merupakan kekayaan luar biasa. Semakin banyak daya tarik wisata, akan berpotensi meningkatkan lama tinggal dan perputaran uang di wilayah tersebut.
Oleh karena itu, ada baiknya Labuan Bajo diperlakukan sebagai satu kesatuan dengan kawasan Pulau Flores. Membenahi dan memajukan sektor pariwisata di Labuan Bajo perlu diikuti oleh pembenahan di wilayah lainnya di Pulau Flores sehingga semua dapat maju dan ikut merasakan manfaatnya.
Kehadiran Badan Pelaksana Otorita Labuan Bajo selama ini cenderung belum memerhatikan wilayah lain di Flores. Di sinilah, pentingnya pengelola memahami aspek sosiologis dan antropologis wilayah Flores.
Adanya ego wilayah juga membuat para kepala daerah belum memiliki visi yang sama dalam membangkitkan dan menghidupkan sektor pariwisata. Labuan Bajo dengan segala keunggulannya mestinya bisa menjadi lokomotif untuk memajukan sektor pariwisata di kawasan Flores.
Selama ini, pembangunan Labuan Bajo sebagai kawasan pariwisata superpremium telah menyedot investasi swasta dan pemerintah begitu besar. Ini tampak lewat perubahan wajah Labuan Bajo yang bersih dan tertata apik ditambah kehadiran bangunan-bangunan besar nan megah, seperti hotel-hotel berbintang.
Namun, investasi fisik itu perlu diimbangi dengan penyiapan sumber daya manusia yang handal. Sejauh ini tenaga lokal masih kalah bersaing. Bahkan, dalam sektor produksi dan jasa pun, warga lokal nyaris tidak kebagian porsi. Jika kondisi ini dibiarkan, lambat laun berpotensi menimbulkan konflik sosial.
Kaum muda di Labuan Bajo dan Flores perlu dibekali kemampuan wirausaha, selain motivasi untuk menekuni dunia usaha. Jika hal ini dilakukan terus-menerus dalam kurun tertentu akan memunculkan wirausaha lokal yang tangguh.
Apabila berbagai persoalan ini bisa segera diatasi, pariwisata superpremium Labuan Bajo pun akan mampu menumbuhkan perekonomian secara lebih merata di wilayah Flores.
Jannes Eudes Wawa, Wartawan Harian Kompas 1997-2019