Frasa ”terjebak hujan” sungguh sangat membingungkan. Apakah mungkin hujan dapat menjebak seseorang?
Oleh
Fariz Alnizar
·3 menit baca
Hujan lebat mengguyur Ibu Kota. Seorang kawan mengirimkan pesan pendek: ”Izin. Masih terjebak hujan”.
Lama sekali saya mencoba menghayati maksud pesan yang dikirimkan itu. Saya sepenuhnya sadar dan mengerti maksudnya adalah yang bersangkutan meminta izin datang terlambat karena tidak dapat meneruskan perjalanan saat kondisi hujan lebat.
Namun, bukan pada nilai informatif ini yang membetot perhatian. Alih-alih, saya justru tertarik dengan frasa terjebak hujan. Frasa ini sungguh sangat membingungkan. Apakah sebenarnya makna frasa terjebak hujan itu? Apakah benar-benar hujan dapat menjebak seseorang? Atau apakah mungkin hujan menerapkan sebuah perangkat sistemis yang dapat mengelabui seseorang sehingga yang bersangkutan dapat terjebak?
Pertanyaan-pertanyaan ini sungguh mengusik benak. Jika kita periksa ke dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kita akan menemukan fakta bahwa lema terjebak memiliki dua arti. Pertama, kena jebak; sudah dijebak; kena perangkap. Kedua, masuk (ke tempat yang tidak menyenangkan); menderita (kesusahan, kenistaan, dan sebagainya); kena tipu; terhalang (dari kebebasan, dan sebagainya).
Aneh jika kemudian kita membungkus ketidakmampuan kita melanjutkan perjalanan karena hujan dengan frasa yang cenderung menempatkan hujan seolah-olah menerapkan perangkap tertentu.
Dengan makna yang muradif, tetapi ditulis menggunakan kalimat yang berbeda, WJS Poerwadarminta mengartikan terjebak dengan ’termasuk ke dalam perangkap’.
Dari sejumlah makna yang tersua di dalam kamus tersebut, kita bisa melihat bahwa lema terjebak merujuk pada keadaan ketika seseorang teperdaya ke dalam sebuah perangkap, tipu daya, dan jebakan.
Tentu saja dalam konteks frasa terjebak hujan, hal ini menjadi aneh. Sebab, hujan tidak memiliki dan barangkali tidak akan pernah memiliki intensi untuk menjebak seseorang. Hujan selalu mengirimkan pertanda sebelum ia benar-benar datang dan mengguyur kita. Maka, aneh jika kemudian kita membungkus ketidakmampuan kita melanjutkan perjalanan karena hujan dengan frasa yang cenderung menempatkan hujan seolah-olah menerapkan perangkap tertentu.
Celakanya, cara bernalar seperti ini juga rupanya menular dan berbiak. Pola yang cenderung menyalahkan keadaan untuk mengeliminasi sekaligus menutupi ketidakberdayaan juga bisa kita temukan dalam frasa terjebak macet.
Frasa ini karib di telinga kita. Terutama jika kita hidup di kota-kota besar, acap kali kita mendengar alasan keterlambatan datang ke sebuah acara karena terjebak kemacetan. Ini tentu saja tidak kalah aneh.
Kita tahu bahwa di setiap kemacetan, kita adalah pelaku sekaligus korban. Subyek kemacetan adalah kita sebagai pengguna jalan.
Jika argumentasi ini disepakati, rasanya tidak pantas kita melemparkan ketidakmujuran kita yang bertungkus lumus pada kondisi yang kita sebut dengan kemacetan dan sekonyong-konyong menyalahkan keadaan dan membungkusnya menjadi frasa terjebak macet.
Walakin, kita sebetulnya bisa mengungkapkan kondisi ”keterjebakan” di atas cukup dengan, misalnya, ”karena hujan, saya akan datang terlambat”. Bisa juga ”karena macet, saya izin terlambat mengikuti rapat”.
Kalimat ini jauh lebih logis dan terdengar nyaman di telinga meskipun kita tahu perlu sedikit disiplin berbahasa untuk memproduksi kalimat semacam itu, sebab kita percaya bahwa keterjebakan itu selalu berujung pada kenestapaan, kecuali ”terjebak nostalgia”. Untuk urusan yang satu ini, sebaiknya kita layangkan tanya ke Raisa Andriana.
Fariz Alnizar, Pengajar Linguistik Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia