Berharap "Lebaran" di Industri Pagelaran
Industri pertunjukan luring, selalu dinanti. Coba lihat, selama dua tahun pandemi, pertunjukan masih ada meski sangat kecil dan terbatas. Semoga pandemi segera pergi agar bisa leluasa (menonton) konser lagi.
“Ramadan tiba…, Ramadan tiba..., Ramadan tiba…!” Lagu dan seruan bernada gembira itu mungkin yang kini sedang didendangkan oleh ribuan insan seni dan para pekerja yang bergerak dalam industri pertunjukan yang hampir mati suri selama dua tahun pandemi Covid 19 melanda negeri.
Tahun 2022 moga-moga memang menjadi “lebaran” bagi hampir seluruh pelaku bisnis pertunjukan di Indonesia. Pagelaran pertunjukan mulai diperbolehkan lagi. Jadwal-jadwal konser musik misalnya, mulai bermunculan. Gagasan aneka konser mulai membuncah di kepala para penyelenggara, disertai animo besar calon penonton yang sudah bersiap-siap memilih konser yang akan mereka datangi.
Bulan Maret kemarin beberapa konser sudah mulai terselenggara. Di Bali, di Mandalika seiring MotoGP yang heboh itu, ataupun Joyland di Bali, bulan Maret lalu. Di Jakarta? Tentu saja semua menanti kepastian pagelaran Jakarta International Java Jazz Festival yang tidak hadir di tahun 2021. Bila sesuai jadwal, pagelaran ini akan diadakan akhir Mei 2022 mendatang. Dan tentu sederet konser-konser lainnya.
Di tahun 2021, konser-konser seperti ini mulai dijajaki penyelenggaraannya secara online, karena pagelaran offline menjadi sangat tidak memungkinkan di tengah kondisi pandemi yang mengharamkan orang untuk berkerumun. Konser online atau virtual, semula dipandang sebagai sesuatu yang menjanjikan. Namun kemudian banyak yang menyebut tidak bisa mendapatkan feel yang sama dari konser-konser seperti ini. Ada sesuatu yang tidak bisa mereka dapatkan seperti di konser offline.
Bagi pelaku bisnis yang mencari rezeki di sektor pertunjukan, konser virtual memang sempat menumbuhkan harapan dan terasa layak dijajaki. Tapi penonton memang tidak terlalu berminat. Menurut saya, pagelaran semacam konser musik memang masih sulit dinikmati melalui produk-produk yang didigitalisasi, dikonversi dan dimuat dalam layar berukuran sempit.
Bukan anti teknologi, tapi industri pertunjukan offline, memang masih selalu dinanti. Konser-konser musik masih banyak peminatnya. Coba lihat, selama dua tahun pandemi, pertunjukan masih ada meski sangat kecil dan terbatas. Di kafe, resto atau tempat pernikahan misalnya, pertunjukan masih dijalankan. Entah dengan menyesuaikan waktu, tempat, tata cara (prokes) atau bahkan beberapa dilakukan dengan sembunyi-sembunyi.
Animo menonton pertunjukan masih ada, dan besar. Kalau saja pemerintah mengizinkan pertunjukan berjalan, saya yakin masih banyak orang yang mau datang. Pemerintah tentu tidak salah. Demi keselamatan orang banyak, permohonan izin pertunjukan banyak yang tidak diloloskan. Atau izin keluar tapi lalu tiba-tiba gagal di tengah jalan. Lalu bagaimana dengan para pekerja? Mereka terpaksa menelan pil pahit, alih-alih menyuap nasi penahan lapar.
Sebagai salah seorang yang telah hampir 30 tahun bergelut dalam industri pertunjukan, saya tahu. Setelah berjuang mulai dari tahun 90-an membangun bisnis di bidang talent treatment yang menyediakan semua jasa terkait akomodasi, transportasi dan pendampingan para talent yang akan mengadakan pertunjukan, khususnya pertunjukan musik di Indonesia, saya sungguh tidak menyangka pandemi yang datang di tahun 2020 memukul telak bisnis ini.
Awalnya, berkurangnya konser sepanjang tahun 2020, langsung memukul omset hingga merosot lebih dari 80 persen. Saya waktu itu masih mencoba bertahan, meski ngos-ngosan. Tapi di tahun 2021, ketika pandemi belum berakhir juga, hampir semua pegawai yang awalnya berjumlah 42 orang pelan-pelan bubar jalan. Saya tidak bisa lagi menolong mereka. Wong saya sendiri susah.
Kreativitas dalam bentuk apapun, tidak lagi bisa menolong dalam bidang pertunjukan ini. Konser online kurang diminati, sementara mengantongi izin offline tetap mengandung risiko merugi yang tidak bisa ditanggulangi. Satu-satunya jalan untuk bertahan adalah menggeser tempat berdiri. Banyak teman mencoba-coba bisnis lain. Termasuk saya.
Saya sendiri sudah siap-siap mendalami bidang properti. Bila konser-konser benar-benar dimulai lagi, saya akan menjalani bisnis semula sambil mengembangkan bisnis properti yang sudah mulai saya jajaki.
Saya awalnya masih mencoba bertahan dengan mengambil pekerjaan-pekerjaan pertunjukan kecil. Sekelas pertunjukan untuk resepsi pernikahan pun, saya jalani. Tapi itu pun harus berakhir. Sampai akhirnya saya masuk ke dunia jual beli properti, bahkan sampai jual beli hewan peliharaan. Semua itu saya lakukan untuk sekedar bertahan.
Berlarutnya kondisi seperti ini membuat semua orang bingung harus bagaimana lagi. Untungnya menjelang tahun 2022 saya mendengar kabar, Jakarta International Java Jazz Festival (Java Jazz) akan diselenggarakan lagi. Saya salut pada mbak Dewi (Dewi Gontha – Direktur Utama PT Java Festival Production, penyelenggara Java Jazz -red). Tampaknya ia mengerti kondisi kami, dan ingin memperjuangkannya. Bagi kami, jika di tahun 2022 ini pertunjukan offline seperti Java Jazz masih belum bisa terselenggara, opsi bertahan sudah tidak akan ada lagi.
Saya sendiri sudah siap-siap mendalami bidang properti. Bila konser-konser benar-benar dimulai lagi, saya akan menjalani bisnis semula sambil mengembangkan bisnis properti yang sudah mulai saya jajaki. Bisnis talent treatment yang selama puluhan tahun ini saya geluti, tidak akan saya tinggalkan. Saya sudah terlalu berakar di dalamnya. Banyak suka dan duka yang sudah saya alami dalam bisnis ini. Ada begitu banyak aspek histori dan relasi bagi saya di sini.
Tapi terus terang, sedikit ragu masih ada di hati. Secara psikologis, saya mungkin sudah terkena scarring effect seperti yang dikhawatirkan pemerintah. Efek ini terjadi pada para pelaku ekonomi sebagai dampak ketidakpastian dari situasi pandemi yang panjang. Saya yakin ini juga dialami teman-teman saya yang kemarin sama-sama berjuang di sini. Percaya diri untuk kembali berdiri masih samar, dan perlu terus digali.
Untuk itu saya sangat berharap, konser seperti Java Jazz 2022 bisa benar-benar berjalan, meski harus menerapkan semua protokol kesehatan yang menjadi persyaratan keamanan. Janganlah melihat bisnis pertunjukan hanya sebagai upaya untuk bersenang-senang. Ribuan pekerja pendukung di belakangnya, dan bisnis-bisnis kecil yang juga bisa mendapatkan rezeki sebagai multiplier effect di sampingnya, sangat berharap untuk bisa kembali. Bekerja dan berkarya seperti dahulu lagi.
Saya membayangkan, situasi pandemi Covid 19 yang seakan sudah sirna di Los Angeles, Amerika Serikat bisa juga terjadi di Indonesia. Minggu lalu saya membaca laporan perjalanan dari Pemred harian ini, yang mengatakan bahwa mulai dari penerbangan hingga berkeliling-keliling selama sepekan di sana, kesan seram sudah jauh dari yang sempat ia bayangkan. Pandemi seakan telah sirna. Penerapan protokol kesehatan serba ketat untuk mencegah penularan Covid-19 tak terlihat lagi di area publik.
Berita itu tentu menggembirakan. Di sana, masker sudah menjadi opsi. Meskipun di bandara penumpang masih menggunakannya, tapi begitu keluar bandara semua orang tidak lagi bermasker. Begitu pula di rumah makan, tempat berbelanja, kampus dan area publik lainnya. Pandemi di sana sudah berubah menjadi endemi.
Ah, semoga ini juga segera terjadi di sini, di Indonesia. Saya langsung membayangkan saya bisa menjemput para talent internasional lagi di bandara, menyiapkan segala keperluannya, mengantarkan mereka kemana saja, seperti dulu lagi. Bisnis akan berputar kembali. Roda ekonomi harus kembali bergerak dan untuk itu tentu perlu dorongan pemerintah. Konser musik? Semestinya tidak terkendala lagi.
Sekarang saja, dengan segala kesibukan mempersiapkan Java Jazz 2022, teman-teman yang dulu bekerja bersama saya perlahan sudah mulai kembali. Meski saya belum berani mempekerjakan mereka dengan skema yang sama seperti dahulu, tapi mereka antusias dan penuh harapan. Ya itu tadi, mereka bekerja sambil bernyanyi-nyanyi, “Ramadan telah tiba”. Setelah dua tahun berpuasa, semoga “lebaran” tahun 2022 ini berlangsung meriah dan tentu saja aman dan menyenangkan.[]
Dimas Leimena
Pengamat dan pelaku bisnis pertunjukan