UNCTAD menyebutkan, dunia memasuki tiga krisis dimensional. Dunia tengah berada di bawah Pedang Damocles.
Oleh
Hendriyo Widi
·4 menit baca
AFP/SERGEI SUPINSKY
Sebuah boneka ditinggalkan di samping mobil yang dipenuhi bekas berondongan peluru di Irpin, utara Kiev, Ukraina, pada 12 Maret 2022.
Negara-negara berkembang dan miskin tengah berada di bawah Pedang Damocles. Sebuah pedang yang bergantung pada seutas benang tipis dari ekor kuda. Benang itu sewaktu-waktu bisa putus jika tidak ada upaya mengatasinya.
Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Perdagangan dan Pembangunan (UNCTAD) menggunakan perumpamaan moral kuno Yunani itu untuk menggambarkan kondisi dunia saat ini. Hal itu tertuang dalam laporan terbarunya, ”Global Impact of War in Ukraine on Food, Energy and Finance Systems”, yang dirilis di New York, Amerika Serikat, Rabu (13/4/2022) waktu setempat.
Perumpamaan itu dipopulerkan filsuf Romawi, Marcus Tullius Cicero (106 SM-43 SM) dalam bukunya, Cicero ’s Tusculanae Disputationes (Perselisihan di Tusculum). Pedang Damocles mengisahkan tentang Damocles, penggawa dari penguasa Sirakusa, Sisilia, Dionisyus II (397 SM-343 SM). Ia mengkritik Dionisyus II yang beruntung mewarisi tahkta Dionusyus I serta berlimpah harta dan hormat.
Kesal dengan kritik itu, Dionisyus II menawarkan Damocles menjadi penguasa Sirakusa selama sehari. Namun, ia memasang pedang yang digantung dengan sehelai ekor kuda di atas takhta yang diduduki Damocles. Menyadari bahaya itu, Damocles akhirnya turun meninggalkan takhta.
Pedang Damocles merupakan kisah sebuah pedang yang tergantung pada seutas benang tipis dari ekor kuda.
SUMBER: WIKIPEDIA
Lukisan karya Richard Westall (1821) yang menggambarkan tentang kisah Pedang Damocles
Banyak tafsir makna tentang Pedang Damocles bermunculan. Salah satunya untuk menggambarkan kondisi dalam bahaya atau situasi genting. Kisah itu juga memunculkan pepatah ”digantung oleh seutas benang”.
Pedang Damocles juga pernah menjadi materi pidato Presiden AS John F Kennedy di PBB saat terjadi Perang Dingin 1961. Waktu itu, Kennedy menyatakan, setiap pria, wanita, dan anak-anak hidup di bawah pedang nuklir Damocles, tergantung di benang yang paling tipis yang dapat dipotong setiap saat.
Lalu, bagaimana UNCTAD menjelaskan realitas perumpamaan itu dalam konteks terkini? Tim Kerja UNCTAD Kelompok Respons Krisis Global (GCRG) menyebutkan, perang Rusia-Ukraina mulai memicu tiga krisis dimensional, yaitu pangan, energi, dan finansial.
Rusia dan Ukraina merupakan lumbung roti dunia yang menyediakan sekitar 30 persen gandum dan jelai dunia. Keduanya juga menjadi pemasok seperlima jagung dunia dan separuh minyak bunga matahari dunia. Rusia juga merupakan pengekspor gas alam terbesar dan minyak terbesar kedua di dunia. Bersama dengan Belarus, Rusia mengekspor sekitar seperlima pupuk dunia.
Perang kedua negara bekas Uni Soviet ini telah menyebabkan harga pangan, pupuk, dan energi dunia melonjak tinggi sehingga menghambat pemulihan ekonomi dunia dari imbas Covid-19. Harga pangan dan minyak dunia masing-masing naik 34 persen dan 60 persen secara tahunan. Adapun berkurangnya pasokan pupuk dunia diperkirakan akan mengurangi hasil panen hingga 50 persen.
Efek riak perang Rusia-Ukraina di sektor pangan, energi, dan finansial dapat menyebabkan masyarakat miskin dan rentan miskin di negara-negara berkembang dan miskin semakin tertekan.
Lonjakan harga ketiga komoditas itu akan berimbas pada kenaikan tingkat inflasi. Pada akhirnya, tingkat inflasi yang tinggi akan menekan fiskal negara, memperlebar utang, dan menggerus daya beli masyarakat, terutama kelas menengah bawah.
GCRG menunjukkan efek riak perang Rusia-Ukraina akan menyebabkan 1,7 miliar orang di 107 negara berkembang dan miskin terkena paling tidak salah satu dari tiga saluran transmisi krisis global ini. Dari 1,7 miliar orang tersebut, 553 juta orang tergolong miskin dan 215 juta orang sudah kekurangan gizi.
Efek riak perang Rusia-Ukraina akan menyebabkan 1,7 miliar orang di 107 negara berkembang dan miskin terkena paling tidak salah satu dari tiga saluran transmisi krisis global ini.
Peran Indonesia
Melihat kondisi itu, GCRG merekomendasikan agar setiap negara hadir memberikan perlindungan sosial bagi warga yang terimbas. Setiap negara juga perlu meningkatkan kerja sama bilateral di bidang pangan, energi, dan finansial. GCRG juga menekankan pentingnya sektor swasta, masyarakat sipil, dan pegiat filantropi untuk membantu warga yang paling rentan.
Saat ini, Indonesia tengah menghadapi transmisi kenakan harga pangan dan energi tersebut. Harga minyak goreng sawit, gula, daging, gandum, kedelai, jagung, serta gas dan bahan bakar minyak nonsubsidi telah naik.
Di tengah keketuaan G20, tugas Indonesia tidaklah ringan. Di kancah internasional, Indonesia perlu memanfaatkan momentum presidensi G20 untuk menelurkan solusi-solusi atas tiga krisis dimensional itu. Di ”dapur” sendiri, Indonesia yang tengah memulihkan diri dari imbas pandemi mau tidak mau mengeluarkan biaya lagi untuk memberikan perlindungan sosial serta menambah subsidi pangan dan energi.
Pemerintah RI telah menggulirkan bantuan langsung tunai (BLT) pangan dan subsidi upah bagi masyarakat miskin dan rentan miskin. Bagi perajin tahu-tempe dan peternak ayam, pemerintah menelurkan program subsidi kedelai dan bantuan jagung pakan ternak.
Kedermawanan terhadap masyarakat miskin dan rentan miskin dibutuhkan. Bukan justru memanfaatkan kesempatan menambah pundi-pundi keuntungan atau bahkan memasang Pedang Damocles di atas penderitaan masyarakat.
Cukupkah? Cukup berat jika semua beban ditanggung pemerintah. Peran swasta, terutama yang telah mendapatkan keuntungan besar atas kenaikan harga komoditas, termasuk minyak kelapa sawit mentah (CPO), diperlukan.
Sikap filantropis atau kedermawanan terhadap masyarakat miskin dan rentan miskin dibutuhkan. Bukan justru memanfaatkan kesempatan menambah pundi-pundi keuntungan atau bahkan memasang Pedang Damocles di atas penderitaan masyarakat.