Dongeng tentang Kecantikan yang Membuatmu Gagal Tidur
Dari sisi para penghayatnya, kecantikan mitologis dan kecantikan konsumtif sama-sama menimbulkan sensasi simulakrum. Ia seolah-olah menjelma menjadi sesuatu yang nyata.
Suatu malam, mungkin di bulan Maret tahun 1980-an di Desa Tanjung Benoa, Badung. Debur ombak dan gemuruh angin menyergap pohon-pohon camplung besar di kanan-kiri Pura Dalem Tengkulung. Pohon kelapa yang banyak tumbuh di tegalan warga bahkan bergoyang dan miring ke arah barat seturut angin dari arah laut. Sayup suara gamelan segera disergap teriakan histeris para sadeg (pengabdi) yang berlarian ke arah sosok tinggi besar yang berdiri di halaman pura.
Dialah sosok rangda. Dengan rambut putih yang menjuntai dan wajah bertaring panjang, serta lidah menjulur, rangda menjadi sosok magis yang menyeramkan. Aku yang berada di sisi lingkaran sebelah selatan gemetaran sepanjang malam itu. Ini pengalaman pertamaku menyaksikan langsung sasolahan (pertunjukan) puluhan rangda dan juga barong di sebuah halaman pura yang sempit.
Kau bisa bayangkan, tiba-tiba dari belakangmu terdengar suara pekikan dan beberapa orang meloncat ke tengah halaman, terguling-guling. Mereka semua mengalami kerauhan atau trance. Sebagai remaja dari Bali barat, yang tak memiliki tradisi kerauhan, tentu peristiwa ini tak mudah kumengerti. Hal yang terasa, ketakutan membekap sekujur tubuhku. Darah tiba-tiba seperti terisap mesin raksasa lalu berhamburan di kepala.
Suasana menjadi tambah ngeri saat para sadeg roboh di tengah halaman. Padahal, rangda hanya mengibaskan kain putih yang terus-menerus berada dalam genggamannya. Sekadar tahu, selembar kain putih itu telah ditulisi rerajahan, semacam kaligrafi, yang menjadi simbol-simbol atau teks mantra yang mengandung kekuatan magis. Dalam sekali kibas, meskipun hanya diterpa anginnya, para sadeg akan bertumbangan. Tak jarang mereka pingsan, sebelum akhirnya digotong ke dalam pura. Kau mungkin pernah menyaksikan fragmen peristiwa ini dalam pertunjukan sakral Calonarang, bukan?
Tahun 1980-an, Desa Tanjung Benoa masih sangat alami. Pohon-pohon begitu merdeka tumbuh di sepanjang jalan dari kawasan resor perhotelan di Nusa Dua, terus memanjang ke arah utara sebelum berujung di Tanjung Benoa. Jalan dengan aspal tipis dan sempit serta juluran rumpun bambu membuat arah menuju desa itu cukup seram di malam hari. Kawasan resor Nusa Dua, sebagai kantong turisme internasional, yang hanya bejarak sekitar 2 kilometer, seolah tak berdampak. Orang-orang Tanjung Benoa sebagian besar masih bekerja sebagai nelayan.
Kira-kira tiga bulan aku tinggal di rumah pamanku. Dia seorang dukun sakti, yang banyak menyembuhkan orang sakit. Setelah menetap kira-kira sebulan, aku baru tahu bahwa paman juga seorang pemangku rangda, orang yang dipercaya mendampingi penari rangda di pura setempat, terutama saat-saat masolah.
Dari pamanku juga aku paham tentang kisah Pura Dalem Tengkulung. ”Hampir seluruh tapel sasuhunan Ida Bethara Ratu Ayu di Denpasar selatan menginduk ke Pura Dalem Tengkulung,” kata Paman, waktu itu. Maksud paman, topeng-topeng perwujudan rangda dan barong di Denpasar selatan, sebagian besar mendapatkan anugerah berupa kepingan kayu camplung di Pura Dalem Tengkulung.
”Setiap topeng rangda atau barong sakral memohon kayu di Pura Dalem Tengkulung,” tambah Paman. Secara otomatis, apabila permohonan itu dikabulkan, maka rangda dan barong yang kemudian diagungkan oleh warga desa menjadi sisia (pengikut) di Pura Dalem Tengkulung.
Rangda, sering kali disebut sebagai sasuhunan Ratu Ayu, menjadi pusat kosmologis pada hampir seluruh desa di Denpasar dan daerah-daerah sekitarnya. Topeng berwujud menyeramkan itu biasanya disimpan di gedong penyimpenan yang terdapat di sebuah pura pada setiap desa. Rangda diletakkan dalam posisi yang luhur dan agung karena dipercaya mendatangkan kedamaian, ketenteraman, kesejahteraan, dan keselamatan seluruh warga desa. Sebagai pusat kosmologis komunitas desa, sebutan ”ratu ayu” tidak saja mengacu pada daya magis yang dipancarkannya, rangda juga diposisikan sebagai ”ratu kecantikan”. Cantik dalam konsep siwaisme berujung pada perwujudan Dewi Uma, sakti (istri) dari Dewa Siwa, penguasa alam semesta.
Dalam kisah sakral Sudamala, Dewi Uma dikutuk Siwa menjadi Durga setelah gagal melewati ujian mencari obat bagi suaminya. Uma dituduh berselingkuh dengan seorang gembala lembu putih ketika meminta susu sebagai obat. Ketika berwujud Durga, Uma menjadi penghuni setra (kuburan) paling seram di Bumi bernama Setra Gandamayu.
Aku sudah tuangkan soal kisah ini dalam sebuah novel bertajuk Gandamayu (2012), yang kemudian digubah oleh kelompok Teater Garasi menjadi pementasan panggung pada tahun yang sama. Suatu hari akan kukisahkan tentang pengalaman di balik panggung yang menimpa aktris Sha Ine Febriyanti, yang memerankan tokoh Durga. Sampai kini, ia tidak bisa melupakan pengalaman mistis itu.
Baca juga : "Gandamayu" dan Mitologi yang Hidup
Sebagai seorang dewi, Uma atau Durga kemudian menjadi paradoks pada setiap kita berbincang tentang kecantikan. Sastrawan Eka Kurniawan menulis paradoks itu dalam novel populer berjudul Cantik Itu Luka. Tokoh bernama Dewi Ayu, yang memiliki trah keturunan Belanda dan pribumi, terkenal memiliki kecantikan yang menawan hati setiap lelaki. Lantaran hidupnya yang tak terurus dan silsilah keturunannya yang rumit, Dewi Ayu terlempar menjadi pelacur.
Dalam menjalani hidupnya sebagai seorang pelacur sejak masa kolonialisme Belanda sampai ke zaman pendudukan Jepang, ia melahirkan beberapa anak perempuan. Anak-anak yang dilahirkannya pun memiliki kecantikan yang luar biasa sehingga mudah menjebak lelaki. Sebagai pelacur, silsilah anak-anak Dewi Ayu juga tak jelas, terutama soal siapakah ayah mereka. Kondisi sosial yang bobrok membuat Dewi Ayu berharap dan berdoa agar anak bungsunya lahir sebagai seorang yang buruk rupa sehingga terhindar dari kebobrokan. Dan celakanya itu dikabulkan Tuhan….
Cerita novel ini mengingatkanku pada kisah janda cantik dan sakti bernama Calonarang dari Desa Dirah. Ia pernah menjalin hubungan dengan Mpu Bharadah, orang suci dari Kerajaan Kahuripan di masa pemerintahan Raja Erlangga. Lantaran hatinya yang patah, ia kemudian menjadi pengikut Dewi Durga. Calonarang terkenal memiliki kekuatan magis, kalau di Bali disebut ilmu leak, yang bisa berubah menjadi segala bentuk binatang.
Dalam banyak versi, Calonarang selalu dikesankan sebagai tokoh antagonistik, yang menjadi pengganggu kedamaian Kerajaan Kahuripan. Ia, misalnya, dituduh meracuni seluruh sumur beberapa desa di Kahuripan sehingga seluruh penduduknya tewas seketika. Calonarang juga dituduh mengajarkan ilmu hitam kepada para gadis di desanya sehingga banyak yang memiliki sifat jahat.
Sesungguhnya Calonarang tak lain adalah representasi Dewi Durga di dunia. Ia dikutuk dan dikucilkan (tinggal di ujung Desa Dirah yang terpencil) oleh kerajaan karena dianggap jahat (berdosa). Eka Kurniawan secara samar-samar ingin menukilkannya dalam asumsi dasar bahwa cantik itu berdosa dan mengandung luka. Cantik itu juga sesuatu yang paradoksal. Celakanya, persepsi tentang kecantikan itu selalu dikonstruksi oleh nilai-nilai patriarkis. Dalam kasus Calonarang oleh Mpu Bharadah dan Raja Erlangga, sementara pada kasus Dewi Ayu oleh para lelaki hidung belang yang telah menidurinya.
Pasti kau ingat kisah ratu paling terkenal sejagat: Cleopatra dari Mesir. Cleopatra digambarkan sangat cantik dan cerdas. Ia menaklukkan para lelaki hebat, seperti Julius Caesar dan Mark Anthony, serta para lelaki hebat lain di masa sebelum Masehi. Dalam penggambaran kecantikannya yang tiada banding itu, lalu tersusuplah kisah tragis kematiannya. Konon ia bunuh diri dengan membiarkan dirinya dipatuk ular. Lagi-lagi kabar itu adalah konstruksi para lelaki yang mencintainya, sekaligus juga membencinya.
Baca juga : Menggapai Standar Kecantikan
Bukankah kecantikan itu selain dipuja senantiasa juga menjadi hal yang paling dibenci, terutama dalam pandangan patriarkis? Uma dalam wujud Durga, Calonarang, Dewi Ayu, dan Cleopatra adalah role model yang menggenangi dunia kecantikan kita sampai hari ini. Barangkali, kau atau siapa saja memang tidak lagi mengacu secara fisik pada kecantikan wajah Cleopatra lantaran telah ada model-model wajah cantik berikutnya. Tetapi, nilai-nilai tentang kecantikan bergerak dari wilayah dongeng sampai menuju era konsumsi hari ini.
Banyak cerita yang bisa kita dapatkan, bagaimana rekonstruksi wajah, dari hidung, pipi, sampai mata, menjadi ”cita-cita” keseharian para remaja di Korea. Tak tanggung-tanggung, hadiah ulang tahun seseorang bahkan bisa berupa bedah plastik untuk mengejar imajinasi tentang cantik tadi.
Belakangan, dongeng tentang kecantikan tak hanya dikonstruksi pandangan patriarkis, tetapi juga pesan-pesan konsumsi yang disusupkan pada berbagai produksi kosmetik. Dalam upaya mengejar ”ilusi” tentang kecantikan itu, tak jarang orang-orang seperti Pitrianti (20) dari Ciamis, Jawa Barat, atau Eliwati (27) dari Bandung terjebak iklan. Mereka menggunakan kosmetik yang mengandung bahan berbahaya, seperti merkuri. Alhasil, bukan cantik yang didapatkan, tetapi kecacatan permanen pada tubuh, terutama wajah.
Pada laporan investigasi Kompas, Kamis (7/4/2022), disebut nama Iis Pera alias Vera yang mengejar kecantikan dengan membuat lesung pipi di wajahnya. Bukan lesung pipi yang ia peroleh, melainkan benang yang disusupkan di pipinya justru membentuk lingkaran nanah. Sampai kini, noda hitam di pipi kanan Vera menjadi cacat permanen. Ceritanya, ia mendatangi sebuah salon sambung bulu mata di Jakarta Selatan, yang kemudian menawarinya paket lesung pipi tadi. Tanpa melakukan check and recheck, Vera main setuju saja. Ia telah lama dibelit oleh imajinasi tentang cantik itu adalah perempuan berlesung pipi.
Baca juga : Praktik Kecantikan Ilegal Berujung Fatal
Sekarang kita mendapatkan premis bahwa persepsi tentang kecantikan bergerak dari wilayah mitologis sampai pada branding kosmetik, yang mendorong para perempuan menyusun keseragaman imajinasi tentang cantik. Itulah dasarnya, mengapa banyak orang beranggapan bahwa yang disebut cantik itu harus bertubuh tinggi, langsing, berkulit putih, bermata bulat dengan bulu-bulunya yang panjang, serta alis yang ditato memanjang dan tebal. Predikat ini dihayati sebagai nilai-nilai yang absolut, yang untuk mewujudkannya orang rela melakukan apa saja.
Dulu cantik itu dibenamkan ke dalam kisah-kisah mistis, seperti ada dalam Ratu Ayu serta Uma/Durga. Kisah-kisah yang mengikuti konstruksi tentang kecantikan adalah mitos-mitos yang ”sengaja” diciptakan dan kemudian dipercaya memiliki kekuatan magis. Wajah Ratu Ayu yang seram dalam anggapan banyak orang, tetapi tidak demikian bagi para penganutnya. Ratu Ayu adalah ratu dari segala ratu kecantikan karena memiliki kekuatan atau sifat-sifat melindungi warga.
Sekadar tahu, ”pembuktian” terhadap kekuatan kecantikan yang magis itu digelar dalam ritual seperti mapajar, sebuah ritual yang diisi dengan tari-tarian sakral di sebuah pura. Ritual ini diinisiasi sebagai bentuk penguatan kepercayaan kepada Tuhan, serta pengokohan seluruh sistem sosial dalam sebuah desa.
Di situ, kecantikan yang berada dalam naungan mitologis dipercaya memiliki kekuatan magis untuk menyelamatkan komunitas desa dari kemungkinan terkena mara bahaya, termasuk gerubug (pandemi). Dalam premis yang tak jauh berbeda, ”nilai” kecantikan yang disusupkan lewat propaganda iklan adalah juga membangun mitos-mitos baru, yang membuat para penghayatnya mabuk kepayang. Dari sisi para penghayatnya, kecantikan mitologis dan kecantikan konsumtif sama-sama menimbulkan sensasi simulakrum. Ia seolah-olah menjelma menjadi sesuatu yang nyata. Padahal, rujukan terhadap nilai-nilai atau elemen-elemen dasar dari kecantikan itu sendiri sebenarnya juga sangat rapuh. Ia tidak bisa dijadikan dasar yang kokoh untuk memberi predikat terhadap apa itu cantik.
Kerapuhan itulah yang membuat persepsi tentang kecantikan terus bergerak dari zaman ke zaman, sesuai dengan penghayatan dan tuntutan hidup masyarakat. Aku yang berasal dari Bali belahan barat sama sekali tidak menghayati nilai-nilai kecantikan yang ditebar oleh Ratu Ayu. Mungkin juga kau yang menetap di Indonesia akan merasa heran mengapa hadiah ulang tahun para remaja di Korea berupa operasi bedah plastik wajah.
Jadi pertanyaannya, apa sebenarnya yang disebut cantik itu? Kau bisa terluka kalau terus mempertanyakan soal ini. Selain sejarahnya yang panjang, ia juga dibelit oleh sesuatu yang rumit; menyangkut sistem kepercayaan dan pemenuhan imajinasi seksual para lelaki masa kini. Padahal, sesungguhnya predikat cantik itu hanyalah dongeng, yang dikisahkan terus-menerus, sehingga membuatmu gagal untuk tidur nyenyak.
Baca juga : Mewaspadai Menjamurnya Bisnis Kecantikan