Memperingati Hari Film Nasional (30 Maret), sungguh menarik memberi catatan sendiri, pencapaian film Indonesia di Berlin Film Festival 2022 (berdiri tahun 1951). Sebuah catatan yang terasa personal mengingat penulis merasakan atmosfer Berlin Film Festival sejak tahun 1988, ketika menulis di koran, selepas mendapat undangan dari Goethe Institut untuk meliput Berlin Film Festival sebagai kritikus film. Saat itu saya belum menjadi pembuat film cerita, masih film pendek, dokumenter, dan menulis kritik film. Tahun itu, saya menjadi saksi film Moonstruck karya Norman Jewison, menjadikan aktris Cher artis terbaik dan berhak meraih ”Golden Bear”. Saya bahkan tak berani bermimpi artis Indonesia mendapat piala beruang mengingat sangat prestisiusnya Berlin Film Festival.
Berlinale menjadi catatan personal mengingat di tengah krisis mati suri film Indonesia, era 1992-1998, sungguh beruntung, empat film saya masuk dalam Berlin Film Festival dalam kategori Forum Des Jungens Films atau ”New Cinema”, sebuah kategori film lebih merujuk daya hidup film independen dan eksperimen. Film Bulan Tertusuk Ilalang (1995) dan Surat untuk Bidadari (1993) meraih penghargaan Federasi Internasional Kritik Film dalam forum Des Jungens Films. Namun, selalu terlintas dalam diri, kerinduan generasi baru pasca-Reformasi, ketika film Indonesia bangkit, karya anak-anak muda mampu masuk dalam kompetisi utama Berlin Film Festival yang paling bergengsi. Meski harus dicatat, beberapa film Indonesia lainnya telah mencatatkan diri masuk dalam beragam kategori di Berlin Film Festival, sebutlah antara lain film Lovely Man karya Teddy (2012).
Sungguh luar biasa, pasca-Reformasi ditandai dengan prestasi Edwin, mampu memelopori untuk masuk dalam kompetisi utama Berlin Film Festival lewat film Postcards From The Zoo (tahun 2012). Bahkan, tidak terduga, sepuluh tahun kemudian, tahun 2022 ini, Kamila Andini menjadi perempuan pertama Indonesia dan ASEAN pasca-Reformasi yang mampu masuk kompetisi utama di Berlin, bahkan Laura Basuki meraih Silver Bear untuk kategori Best Supporting Performance, sebuah kategori baru Berlin Film Festival, menjadikannya perempuan pertama di dunia yang meraih penghargaan itu.
Membaca kehidupan
Festival Film Berlin 2022 ditandai dengan mayoritas kekuatan dan kemenangan sutradara dan produser perempuan. Sangat menarik, mereka menyerukan perlawanan terhadap berbagai bentuk ketidakadilan hingga kekerasan dan menguatkan hak kebebasan bicara dan berpendapat. Sungguh menarik juga bahwa tema Festival Film Indonesia (FFI) tahun 2022 bertajuk ”Perempuan”.
Sangat terasa bahwa pencapaian film-film yang masuk dalam kompetisi utama tidak bisa dilepaskan dari ”signature” para sutradara dalam teks personal sekaligus sosial, politik, dan budaya penciptanya. Film sebagai film tidak diartikan semata sempit sebagai urusan pencapaian teknis, tetapi sebuah film dalam dunia makro film, yakni terbaca sikap dan statement sutradara pada kehidupan bukan sebagai jargon atau propaganda, melainkan sebagai personalitas tanda tangan diri. Ia bisa dalam beragam ekspresi, bisa keras, liris, hingga gugatan penuh komedi. Dengan demikian, aspek teknis adalah bagian dari medium konsep sutradara. Film-film Iran terbaik menjadi sebuah representasi ketika teknologi film justru dihadirkan sederhana, sesuai tuntutan konsep film itu sendiri.
Berlinale 2022 membawa saya memberi catatan khusus pada aktris Laura Basuki dan sutradara Kamila Andini. Bagi saya, meski film pertama Kamila, bertajuk Mirror Never Lies (2011), meraih penghargaan International, jejak sesungguhnya terbaca ketika Kamila mulai membuat film pendek Sendiri Diana Sendiri (2015) dengan pemain Raiihanun. Kamila menemukan tanda tangan dirinya, yakni tema-tema perempuan dalam oasis lirih yang kompleks.
Catatan khusus terhadap Kamila yang sering tidak mendapat pengamatan khusus diberikan pada konsep dan story telling serta cara menghidupkan unsur-unsur filmnya. Karya-karyanya senantiasa ditumbuhkan dari perasaan terdalam tokohnya, alias dunia batin yang menjadi bagian dari kultur perempuan Indonesia. Kesemuanya dilakukan dengan prosa liris, menjadi sebuah teks liris yang serba terbuka untuk ditafsir dengan berbagai dampak emosi psikologi penonton yang beragam, bergantung pada pengalaman hidup penontonnya.
Dengan demikian, bukanlah cara tutur dengan kesimpulan tertutup, bertafsir tunggal. Perlu banyak tafsir. Simaklah film Yuni.
Guna mendukung cara tutur itu, seluruh unsur filmnya dijaga dengan oasis dunia batin yang liris dan lirih, diletakkan dalam atmosfer yang membawa dua dunia: realisme dan surealisme. Simak unsur-unsur film Kamila, sebutlah penciptaan atmosfer suara dalam film The Seen and Unseen. Suara menjadi statement, suatu yang sering tidak tercatat dalam pengamatan. Simak kostum dalam Yuni dan karakterisasi, kontras yang naturalis. itu penciptaan yang sebetulnya sangat sulit dibangun, tetapi merefleksikan kompleksitas sosial budaya. Simak suara serba lirih alias berbisik dalam Nana yang dikerjakan Tresno.
Bisa juga penekanan kostum pada tokoh utama dan warna terbaca sumir di ruang adegan di luar tokoh utama. Simak pada unsur-unsur dalam film karya Kamila, demikian juga film Nana; simak pencapaian tim kerja Nana; simak kerja kamera oleh Batara Goempar; musik oleh Ricky Leonardi; hingga artistik oleh Vida; kostum oleh Retno Damyanti; suara oleh Tresno; dan kekuatan para pemain, seperti Happy Salma yang mendapat pujian di majalah film terkemuka dunia.
Cara ini menjadikan film-film Kamila jauh dari ruang gugatan serta jargon yang besar; pameran teknologi canggih; serta tafsir dengan kesimpulan hitam-putih yang tunggal. Namun, lebih lirih ke dunia dalam serta tafsir terbuka. Cara tutur Kamila menjadikannya tidak dalam referens umum, alias referens langka film Indonesia atau bahkan Barat, bisa menjadikannya terasing serta tidak mudah dinilai, tetapi juga menghasilkan pro-kontra yang justru sangat dibutuhkan di dunia film Indonesia.
Kekayaan akting
Ketika mendengar Laura meraih Silver Bear untuk Best Supporting Performance, saya teringat tentang makna dan misteri seni akting, haruslah dicatat bahwa kekuatan akting bukan ditentukan semata oleh banyaknya kemunculan dalam sebuah film. Simaklah Marlon Brando, fenomena aktingnya muncul justru ketika bermain dalam film dan hanya muncul sejenak, tetapi kemunculannya memengaruhi seluruh unsur film dan ingatan terhadap film itu.
Laura Basuki adalah peran pembantu dalam Nana, aktingnya bukan dalam gugatan besar, seperti juga ketika bermain monolog teater Sepinya Sepi bagian dari seri monolog Di Tepi Sejarah. Sebuah akting yang tampilannya terasa ”Sepi”. Namun, justru dalam akting yang terasa mengalir lirih dan sepi, terbaca dunia kompleks suara hati yang mampu menghidupkan karakter film dan hidup juga dalam suara hati para penontonnya. Sebuah daya hidup akting yang sederhana namun kompleks.
Catatan pencapaian pada Laura bagi saya adalah buah dedikasi dan kerja kerasnya. Sungguh langka artis populer yang selalu siap dan berlatih sendiri setiap hari, sebelum latihan dilakukan. Catatan ini juga menunjukkan, keberagaman tema dan tanda tangan khas sutradara menjadi oasis bagi lahirnya kekayaan seni akting di Indonesia.
Menjelang 30 Maret, Hari Film Nasional, sungguh membahagiakan menemukan berbagai jejak pencapaian sinema Indonesia pasca-Reformasi. Pencapaian tersebut menunjukkan bahwa daya tumbuh serta prestasi berpulang pada kemampuan membangun tanda tangan diri para pembuat film, kemampuan meletakkan film dalam teks sosial budayanya lewat statement-nya, dedikasi, serta kerja keras dan konsistensi dalam jalan panjang yang tidak mudah.
Sesungguhnya kompleksitas hidup di Indonesia memberi ruang bagi keberagaman pendekatan karya, keberagaman tanda tangan, keberagaman tema, hingga keberagaman akting. Selamat dan bangga sinema pasca-Reformasi.
Garin Nugroho, Sutradara