Dalang yang bikin kisruh dan kepala pusing adalah penguasa. Mereka merasa tahu semuanya, benar semuanya, hendak menguasai semuanya, menentukan semuanya. Anak-anak muda muak, mencap penguasa dengan istilah father knows best, padahal sejatinya father knows worst. Gelombang penolakan terbesar pada abad ke-20 terjadi pada dekade 60-an.
Dalam pengertian luas landasan politik adalah kebudayaan dan akar ketidakadilan sosial adalah sikap konformis yang lahir karena represi. Dengan pengertian ini, anak-anak muda melakukan yang memang harus dilakukan: perlawanan.
Mereka melakukan perlawanan dari sumbernya, yakni kebudayaan. Perlawanan kebudayaan tersebut menghasilkan apa yang sudah diketahui banyak orang yang bertumbuh bersama lagu-lagu Led Zeppelin: counter culture.
Tidak lagi anak-anak muda sudi mengidentifikasi diri dengan orang-orang tua, dengan kemapanan, dengan penguasa, dengan norma-norma kekuasaan. Mereka menolak kemapanan lembaga pendidikan (Pink Floyd menyanyikan ”The Wall”), buku paling digemari adalah Pedagogy of the Oppressed karya Paulo Freire, menggelar aksi antiperang Vietnam, memerdekakan pikiran dan tubuh dari hampir semua konvensi yang ada sebelumnya.
Cita-citanya, atau tepatnya ilusi mereka, adalah dunia yang damai. Yang memungkinkan dunia menjadi satu dan damai adalah cinta—love, compassion. Semboyan yang terkenal masa itu: love peace. Ada lagu yang masih relevan terutama untuk saat sekarang, ”A Summer Prayer for Peace”. Silakan cari sendiri.
Salah satu narasi yang cukup baik tentang generasi ini dibikin oleh Paulo Coelho dalam novel Hippie (Alfred A Knopf, 2018). Di situ Coelho menggambarkan pengalaman hidupnya semasa muda, kurus dengan jambang dan rambut sepundak, meninggalkan tempat asalnya Brasilia menuju Bolivia, Peru, Chile, dan Argentina. Selanjutnya lebih jauh lagi sampai Amsterdam. Di Dam Square yang terkenal di mana anak-anak muda berkumpul dengan pakaian warna-warni Generasi Bunga, ia bertemu wanita yang lalu membawanya naik bus, mengarungi Eropa, ke timur menuju ”The House of the Rising Sun”, ke Asia bagian tengah menuju Nepal.
Transportasi belum semudah sekarang. Perjalanan berminggu-minggu. Malam hari bus berhenti di pinggir jalan, pom bensin, hutan, dan lain-lain. Penumpang tidur di sleeping bag sembari menatap bintang di langit.
Ah, anak-anak muda yang santai, tidak merasa perlu buru-buru jadi kaya. Tengah terjadi suatu antitesis kebudayaan: spiritualisme menggantikan materialisme; semesta yang bersifat organik menggantikan yang mekanik; kesadaran (consciousness)menggantikan rasionalitas; komunalisme menggantikan individualitas; dan seterusnya.
Di mana semua itu sekarang?
Joseph Heath dan Andrew Potter dalam The Rebel Sell (Capstone Publishing Limited, 2006) menguraikan bagaimana militansi kebudayaan perlahan-lahan pudar, perlawanan melunak, idealisme tergadai. Yang membuat elan kemudaan luntur, menurut gambaran buku tadi, tidak lain adalah konsumerisme.
Konsumerisme ibarat oli, melancarkan konformisme. Pada gilirannya para boomers—sebutan generasi tadi—bertambah umur, berkeluarga, mempunyai anak, tak merasa lagi harus memilih menjadi si pemberontak seperti pada masa lalu ataukah si konformis demi masa depan. Kaum hippies tinggal kenangan, tertelan komodifikasi seperti alas kaki mereka yang jadi dagangan dengan merek Birkenstock.
Semua telah didagangkan kini: cita-cita kerakyatan, hukum dan keadilan, kekuasaan (menurut Ariel Heryanto, para penguasa sekarang sebagian besar memang pedagang), tidak kurang dagangan laris manis bernama agama.
Uang menjadi ukuran semua hal. Tak ada statesmanship. Yang ada marketing.
Media menciptakan dewa yang mereka sembah-sembah, yakni crazy rich. Tiada hari tanpa pemberitaan mengenai crazy rich, sama seperti tiada hari tanpa berita mengenai kegilaan kekuasaan. Bikin TBC saja.
Diiringi tabuhan kendang media tersebut, kita melihat teater negara: kemah, romantisme protagonis merenung di hutan sendirian, balapan motor, eh kok negara kalah oleh mafia minyak goreng.
Terhadap itu semua konon banyak orang merasa puas. Betul juga, konsumerisme, komodifikasi gaya hidup telah membuat orang jadi konformis.
Bagaimana dengan anak-anak muda?
Mereka bukan lagi ancaman bagi sistem, melainkan sistem itu sendiri. Beberapa telah menerima bagian, diangkat menduduki jabatan istimewa.
Bravo.***