Manuver Permainan Abu-abu Turki dalam Perang Rusia-Ukraina
Penting bagi Turki untuk bersikap realistis dengan terus berusaha membangun hubungan imbang antara Barat dan Rusia dalam krisis di Ukraina demi kepentingan nasional Turki. Banyak pertimbangan mendasari pilihan sikap itu.
Oleh
MUSTHAFA ABD RAHMAN, DARI KAIRO, MESIR
·6 menit baca
Turki termasuk salah satu negara yang mendapat dampak paling buruk akibat perang Rusia-Ukraina yang meletus sejak 24 Februari lalu. Turki sejak awal sama sekali tidak menginginkan perang Rusia-Ukraina terjadi. Negara yang berbatasan langsung dengan Eropa itu menyadari, perang Rusia-Ukraina akan membawa petaka kepada dirinya, baik secara politik maupun ekonomi, mengingat hubungan Turki yang sangat kuat dengan Rusia ataupun Ukraina.
Dengan status hubungan tersebut, Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan mengunjungi Kiev, ibu kota Ukraina, untuk menemui Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy pada 3 Februari lalu dalam upaya mencegah perang Rusia-Ukraina. Kemudian, sehari sebelum Rusia menyerang Ukraina, pada 23 Februari Erdogan menelepon Presiden Rusia Vladimir Putin. Itu upaya terakhir Erdogan melunakkan hati Putin agar tidak melancarkan serangan militer ke Ukraina, sekaligus untuk mengundang Putin berkunjung ke Turki.
Namun, Erdogan tidak bisa mencegah serangan militer Rusia ke Ukraina. Hanya sehari setelah Erdogan menelepon Putin, Rusia pada 24 Februari lalu mulai melancarkan serangan ke Ukraina. Ini yang membawa posisi Turki menjadi sangat sulit. Sebagai anggota NATO, Turki terus berkoordinasi dengan AS dan Eropa dalam menghadapi isu perang Ukraina. Sementara dalam waktu yang sama, Turki terus menjaga komunikasi dengan Rusia dan Ukraina.
Turki tidak bisa memungkiri bahwa secara geografis negara itu cukup dekat dengan Rusia dan Ukraina. Hanya dipisah oleh Laut Hitam. Turki, Rusia, dan Ukraina adalah negeri yang sama-sama bertepi ke Laut Hitam.
Meskipun dalam catatan sejarah, hubungan Turki dan Rusia penuh liku-liku, hubungan kedua negara tersebut akhir-akhir ini cukup kuat, baik politik maupun ekonomi. Situasi saat ini berbeda dari era dulu. Pada era Dinasti Ottoman dan Kekaisaran Rusia, kedua pihak sering bermusuhan. Hubungan dingin kedua pihak berlanjut hingga era Perang Dingin pasca-Perang Dunia II antara Turki dan Uni Soviet.
Area persaingan dan perebutan pengaruh antara Dinasti Ottoman dan Kekaisaran Rusia, kemudian antara Turki dan Uni Soviet, bertumpu di wilayah Balkan, Laut Hitam, dan wilayah Kaukasus. Uni Soviet sempat mau menganeksasi kota Kars di Turki timur dan meminta amendemen atas Konvensi Montreux tahun 1936 yang mengatur jalur lalu lintas Selat Bosporus dan Dardanella antara Laut Hitam dan Laut Marmara.
Namun, Turki menolak keras tuntutan Uni Soviet kala itu. Tuntutan Uni Soviet tersebut memaksa Turki bergabung dengan Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO), aliansi militer blok Barat, pada 1952 untuk mendapat perlindungan NATO dari ancaman Uni Soviet saat itu.
Pasca-ambruknya Uni Soviet tahun 1991, hubungan Turki dan Rusia terus membaik. Turki tidak lagi menganggap Rusia sebagai ancaman, seperti halnya pada era Uni Soviet. Tampilnya Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP) pimpinan Erdogan ke tampuk kekuasaan di Turki pada 2001 semakin mempererat hubungan Rusia-Turki.
Dalam waktu yang sama, hubungan bilateral Turki-Ukraina juga semakin berkembang. Turki mengakui kemerdekaan Ukraina dari Uni Soviet pada 1992. Bahkan, Turki kini telah menjual pesawat tanpa awak (drone) andalannya, Bayraktar TB2, ke Ukraina. Pesawat drone TB2 kini menjadi salah satu andalan Ukraina dalam menghantam gerak maju pasukan Rusia.
Dari segi hubungan ekonomi, neraca perdagangan Rusia-Turki kini mencapai 32,5 miliar dollar AS, sedangkan neraca perdagangan Turki-Ukraina mencapai 7,5 miliar dollar AS. Rusia dan Ukraina sama-sama menjadi sumber utama pasokan gandum bagi Turki. Turki mengimpor gandum dari Rusia sebanyak 6,7 juta ton pada 2021.
Turki mengimpor gandum dari Rusia untuk bahan tepung. Turki adalah pengekspor utama tepung dunia. Sebagian gandum dari Rusia juga untuk bahan roti yang merupakan makanan pokok di Turki.
Dalam sektor pariwisata, wisatawan Rusia yang berkunjung ke Turki merupakan yang terbanyak, mencapai 4,7 juta wisatawan pada tahun 2021. Wisatawan Ukraina di Turki menempati urutan ketiga, 2 juta wisatawan.
Turki pernah mengalami kerugian besar di sektor perdagangan dan pariwisata dengan Rusia. Ini terjadi saat Moskwa menjatuhkan sanksi kepada Turki menyusul insiden Turki menembak jatuh pesawat tempur Rusia di atas wilayah udara Suriah pada tahun 2015.
Dengan rangkaian dinamika hubungan seperti itu, Turki saat ini menolak ikut menjatuhkan sanksi kepada Rusia dan menutup wilayah udaranya atas pesawat Rusia. Menteri Luar Negeri Turki Mevlut Cavusoglu, dalam forum Diplomatik Antalya, hari Minggu (13/3/2022), menegaskan, Ankara tidak mendukung sanksi ekonomi atas Rusia dan juga tidak menutup wilayah udaranya atas Rusia.
Namun, pada 1 Maret lalu Turki menutup Selat Bosporus dan Dardanella untuk semua kapal perang milik negara-negara yang bertepi ke Laut Hitam ataupun yang tidak bertepi ke Laut Hitam. Keputusan Turki tersebut lebih banyak berpengaruh terhadap Rusia, sebagai negara dengan kekuatan militer terbesar, khususnya angkatan laut, di kawasan Laut Hitam.
Sudah lumrah kapal-kapal perang Rusia lalu lalang antara Laut Tengah dan Laut Hitam melalui Selat Bosporus dan Dardanella. Rusia memiliki pangkalan laut di Tartus, Suriah, yang bertepi di Laut Tengah.
Dalam isu politik, Turki juga terus berkomitmen untuk bekerja sama dengan Rusia dalam forum dengan misi mencari solusi politik di Suriah, yang dikenal dengan Forum Astana. Turki dan Rusia sering berhasil membangun kesepahaman di Suriah, khususnya terkait situasi di Provinsi Idlib, untuk mencegah konflik militer di provinsi tersebut.
Provinsi Idlib bisa terus dikontrol kelompok oposisi Suriah sampai saat ini berkat tercapainya kesepahaman Turki-Rusia. Turki pun tetap bertekad membeli sistem anti-serangan udara canggih buatan Rusia, S-400, meski mendapat protes keras dari AS.
Sikap Turki, yang menolak ikut menjatuhkan sanksi ekonomi atas Rusia, merupakan sikap Ankara yang tidak ingin kehilangan Rusia lantaran ketergantungan ekonomi Turki kepada Rusia. Turki tidak ingin kehilangan wisatawan Rusia yang mencapai 4,7 juta orang pada tahun 2021 dan neraca perdagangan dengan Rusia yang mencapai 32,5 miliar dollar AS pada tahun 2021.
Tanpa wisatawan Rusia, ekonomi Turki tentu semakin kelimpungan. Seperti diketahui, sektor pariwisata merupakan penopang utama ekonomi Turki. Pada 2020, Turki meraup devisa sebanyak 13,77 miliar dollar AS dari sektor pariwisata. Turki juga tidak ingin kehilangan sumber pasokan gandum karena tidak mudah mencari alternatif sumber gandum. Apalagi, Turki terakhir ini mengalami krisis ekonomi akibat terus melorotnya nilai lira, mata uang Turki.
Pada saat yang sama, Erdogan dan AKP akan menghadapi pemilu parlemen dan presiden pada tahun 2023. Erdogan dan AKP tentu tidak ingin ekonomi Turki terus memburuk yang bisa menyebabkan kekalahan Erdogan dan AKP pada pemilu 2023.
Sebagai catatan, AKP menderita kekalahan di kota-kota besar, seperti Istanbul, Ankara, Izmir, Antalya, dan Adana, pada pemilu lokal April 2019. Bagi AKP, kekalahan di kota-kota besar tersebut merupakan peringatan dalam menghadapi pemilu tahun 2023.
Faktor-faktor itulah yang berada di balik langkah Turki untuk terus berusaha menjadi mediator antara Rusia dan Ukraina guna segera mengakhiri perang di Ukraina. Turki telah menggelar pertemuan segitiga antara Menlu Rusia Sergey Lavrov, Menlu Ukraina Dmytro Kuleba, dan Menlu Turki Mevlut Cavusoglu di Antalya pada 10 Maret lalu. Namun, pertemuan Antalya gagal mencapai kesepakatan gencatan senjata di Ukraina.
Dalam pertemuan dengan Kanselir Jerman Olaf Scholz di Ankara, Senin (14/3/2022), Erdogan menegaskan, penting ada upaya maksimal untuk mewujudkan gencatan senjata di Ukraina secepat mungkin dan terciptanya perdamaian di kawasan. Bagi Turki, penting untuk bersikap realistis dengan terus berusaha membangun hubungan imbang antara Barat dan Rusia demi kepentingan nasional Turki.