Strategi Bisnis Internasional pada Masa Depan
Strategi yang dapat digunakan untuk meningkatkan performa bisnis internasional adalah melalui persaingan berbasis industri dan juga persaingan berbasis institusi.
Bisnis internasional berperan besar pada pertumbuhan ekonomi di hampir semua negara di dunia, baik itu berupa perdagangan barang dan jasa, teknologi, modal ataupun pengetahuan, dalam lingkup lintas negara, global maupun transnasional.
Konsep bisnis internasional bermula dari paradigma “nations are almost always better off when they buy and sell from one another’ dimana lebih menguntungkan bagi negara-negara di dunia untuk saling membeli dan menjual antara satu dengan lainnya.
Hampir seluruh ekonom setuju bahwa kondisi global menjadi lebih baik ketika negara-negara melakukan impor produk yang diproduksi lebih efisien di negara lainnya.
Meskipun pada saat produsen mendapat keuntungan dari penjualan luar negeri yang lebih tinggi, keuntungan dari pertukaran nilai mata uang yang dapat digunakan sendiri atau negara lain untuk membeli produk luar negeri, dan masyarakat secara keseluruhan diuntungkan oleh perdagangan antar negara; namun tidak setiap individu ataupun perusahaan diuntungkan dengan kondisi ini.
Ketika suatu perusahaan membeli produk luar negeri karena lebih murah, hal itu merupakan keuntungan – tetapi (menjadi lebih mahal) jika dilihat dari hilangnya potensi penjualan produsen dalam negeri. Biasanya, penjual mendapatkan keuntungan lebih dari kerugian yang dialami penjual dalam negeri. Kecuali dalam kasus dimana biaya produksi tidak termasuk biaya sosial, seperti polusi akibat kegiatan industri.
Adapun kegiatan yang termasuk dalam lingkup bisnis internasional diantaranya adalah perdagangan internasional dalam bentuk ekspor dan impor, jual beli lisensi, waralaba, perusahaan patungan, kemitraan strategis, perusahaan multinational, investasi luar negeri (FDI), dan lain sebagainya.
Kemanakah Globalisasi?
Dinamika bisnis internasional sejak awal tahun 1990 menunjukkan bahwa globalisasi telah menjadi kekuatan ekonomi politik yang mempengaruhi hubungan dagang antar negara. Negara-negara yang tengah tumbuh merupakan suatu tren global luar biasa yang dapat merubah tatanan bisnis internasional.
Globalisasi menjadi suatu kekuatan yang tidak terbendung; dimana saat itu hegemoni global dikuasai oleh Amerika Serikat, Jepang masih dalam tahap membangun kisah suksesnya, serta federasi Uni Soviet menjadi terpecah. Namun demikian, China mulai menunjukkan eksistensinya di paparan perdagangan global, sementara negara berkembang lainnya baru saja memasuki tahap transisi menuju ekonomi pasar, dan berperan sebagai “penonton” pada interaksi globalisasi, yang hanya mampu mengekspor bahan mentah dengan harga murah dan mengimpor produk jadi yang mahal.
Globalisasi bisnis menjadi semakin parah bagi negara-negara berkembang. Konsumen di negara berkembang lebih memilih membeli produk luar negari dibanding produk domestik, dengan alasan produk luar negeri berpenampilan kekinian (dalam inovasi dan estetika), serta dinilai lebih sesuai dengan kebutuhan dibandingkan produk yang tersedia di dalam negeri.
Tiga dekade kemudian, gelombang perubahan terjadi pada lingkungan bisnis internasional, Amerika Serikat tidak lagi memiliki hegemoni yang luar biasa. Sementara China bermetamorfosa dari industri manufaktur berbasis tenaga kerja kasar menjadi industri manufaktur yang mengandalkan tenaga kerja berbasis pengetahuan yang berambisi menjadi kekuatan global dengan kemajuan teknologi serta memperluas pasar dengan kecanggihan politik. Globalisasi yang terbukti telah meningkatkan intensitas perdagangan internasional secara signifikan, dalam dekade terakhir berubah.
Globalisasi Paska Pandemi COVID-19
Pandemi Covid-19 terbukti telah mendisrupsi komunitas dunia. Hambatan yang dihadapi bisnis internasional pun semakin kompleks, tidak hanya berupa hambatan konvensional, seperti: 1) perbedaan struktur sosial dan budaya; 2) risiko dari transaksi mata uang antar negara; 3) kebijakan impor dari negara tujuan; 4) konflik antar negara yang berdampak luas; serta 5) ketentuan kerjasama ekonomi regional yang mengutamakan kepentingan ekonomi negara anggota.
Globalisasi saat ini telah bergeser menjadi pelambatan globalisasi dan deglobalisasi.
Globalisasi saat ini telah bergeser menjadi pelambatan globalisasi dan deglobalisasi, yang ditandai dengan merenggangnya jarak dan hubungan antar manusia. Perdagangan multilateral pun runtuh seiring berakhirnya Doha Round, munculnya lembaga regional seperti CUSMA (Canada–United States–Mexico Agreement) yang menggantikan NAFTA (North American Free Trade Agreement), mundurnya Inggris dari BREXIT, dan sebagainya.
Paradigma bisnis internasional kini telah bergeser nasionalisme ekonomi, yang dipicu antara lain oleh revolusi teknologi digital, tren populisme, pembangunan berkelanjutan dan perubahan iklim, serta adanya perubahan hubungan kekuatan antar perusahaan (dan juga antara perusahaan dan pemerintah).
Digitalisasi telah merubah hubungan bisnis secara mendasar, dimana jarak dan letak geografis menjadi “kurang penting”. Hampir seluruh kegiatan bisnis internasional dilakukan dengan sangat mudah melalui infrastruktur digital. Berbeda dengan masa lalu, pada masa teknologi digital, peranan perusahaan kecil dan menengah menjadi penting dalam tataran bisnis internasional.
Baca juga: Konflik Rusia - Ukraina dan Deglobalisasi
Kekuatan para pesaing dan landskap persaingan juga dapat dipetakan dengan mudah, permintaan pasar dapat diprediksi dengan sangat akurat, begitu pula kegiatan komersial lainnya. Pengaruh digitalisasi yang lebih dahsyat lagi adalah memperlancar hubungan antar perusahaan dalam mencipta rantaian nilai bagi konsumen global atau Global Value Chain (GVC) yang semakin produktif pada manajemen inventori “just-in-time”.
Di sisi lain, perilaku konsumen saat ini pun berubah drastis akibat revolusi digital. Kemudahan interaksi antar pelanggan berakibat pada permintaan konsumen dunia makin serupa, yang pada akhirnya menjadi sumber efisiensi perusahaan dengan permintaan berskala ekonomi. Sebaliknya, interaksi intensif antar konsumen dunia ini berakibat pada tuntutan pada kualitas produk yang tinggi.
Dalam operasional perusahaan pun demikian, survei dari McKinsey & Company (2020) memperlihatkan bahwa 80 persen manajer komersial perusahaan berinteraksi aktif dengan pelanggan di dunia melalui saluran digital. Begitu pula kegiatan operasional divisi lainnya, seperti manajemen rantai pasok, proses produksi, penelitian dan pengembangan, melakukan interaksi global, tanpa mengenal secara pribadi.
Perusahaan-perusahaan berbasis teknologi berlomba dalam menginovasi model bisnisnya dalam bentuk platform digital yang didukung oleh maha data, yang akhirnya membentuk monopoli digital. Salah satu contohnya adalah nilai gabungan perusahaan digital seperti Alphabet dan Facebook sebesar 1,9 triliun dollar AS (The Economist, 2020). Perusahaan ini bertumpu pada pengelolaan maha data yang dikumpulkan melalui berbagai macam sumber.
Bangkitnya Tren Populisme
Salah satu sumber pergeseran paradigma bisnis internasional dipicu oleh tren populisme dan nasionalisme yang bangkit kembali. Di banyak negara viral retorika atas nama massa (rakyat), seperti menyebar kebencian terhadap penguasa dan para elit. Kedua konsep ini sangat berkaitan. Populisme terkait dengan kedaulatan masyarakat (dimensi vertikal dalam struktur sosial dan ekonomi), sedangkan nasionalisme terkait dengan kedaulatan negara (dimensi horizontal sehubungan dengan identitas, seperti ras tertentu, dan sejenisnya.
Dengan merebaknya tren ini, investasi asing ataupun investasi dalam negeri tidak lagi menjadi bisnis yang menarik. Adapun apabila ada investor yang tertarik, maka pencermatan masalah keamanan nasional menjadi perhatian utama, begitu pula kecenderungan seleksi yang lebih ketat sehubungan dengan pemilihan industri (terutama industri intensif teknologi), dan juga tipe investor (terutama Badan Usaha Milik Negara).
Akibat yang lain yang terjadi adalah makin tajamnya ketidaksetaraan pendapatan tingkat global di antara negara-negara di dunia. Tingkat kemiskinan yang tinggi dan ketimpangan distribusi kekayaan dapat menjadi sumber radikalisme, yang cenderung menentang kegiatan bisnis internasional.
Perubahan Hubungan Kekuatan
Perubahan kekuatan dan hubungan kekuatan diantara perusahaan-perusahaan juga terjadi dalam praktik bisnis internasional. Perusahaan multinasional raksasa tidak hanya menikmati kekuatan pasar yang signifikan, tetapi juga kekuatan untuk memilih lokasi geografis untuk kegiatan rantai nilai global (GVC) nya dan/atau melibatkan praktik pergeseran-keuntungan untuk meminimalisasi kewajiban pajak. Perusahaan multinasional raksasa adalah entitas politik yang berpengaruh (atau mencari pengaruh) pada pemerintah dan tokoh masyarakat yang dapat memberikan dampak positif terhadap bisnisnya di negara tersebut.
Dalam ekonomi global kontemporer, hubungan kekuatan asimetris ini semakin menjadi perhatian para pelaku bisnis internasional. Kekuatan asimetris antara perusahaan multinasional dengan mitra perusahaan lokal adalah lazim pada praktik rantai nilai global (GVC) yang tidak terintegrasi, seperti dalam hubungan perusahaan patungan dan aliansi strategis. Dalam praktiknya, perusahaan multinasional menikmati kekuatan pasarnya secara signifikan, dan terus dimotivasi untuk dapat meningkatkan kekuatan pasarnya di masa mendatang.
Dalam perspektif manajemen strategis, fenomena ini menarik, dimana perusahaan lokal telah menjalankan fungsi manajemen strategis dalam hal ini implementasi Resource Based Theory (RBT) yang mengedepankan pengelolaaan sumberdaya dan kapabilitas internal sebagai sumber keunggulan daya saing.
Selain persaingan berbasis sumberdaya dan kapabilitas internal, strategi yang dapat digunakan untuk meningkatkan performa bisnis internasional adalah melalui persaingan berbasis industri dan juga persaingan berbasis institusi, inilah yang dimaksud dengan Strategi Tripod Global.
Dalam implementasinya, terdapat minimal tiga strategi yang dapat menjawab tantangan bisnis internasional yang semakin mendesak di masa mendatang. Pertama, inovasi bisnis model berbasis pelestarian alam. Sinergi bisnis internasional dimana “gold” (keuntungan perusahaan) dan “green/blue economy” berjalan berdampingan. Kedua, memperbesar peran UMKM dalam rantai nilai global pada bisnis internasional, dengan mengedepankan penyesuaian produk sesuai dengan permintaan pelanggan. Ketiga, disrupsi pergerakan lintas batas untuk produk atau jasa antara.
Mira Maulida adalag anggota Indonesia Strategic Management Society.
Email : mmaulida@gmail.com