Angka Putus Belajar
Puluhan ribu anak putus sekolah. Namun, ada yang jauh lebih gawat daripada sebatas angka putus sekolah, yaitu putus belajar. Belum tentu putus sekolah berhenti belajar. Sebaliknya, belum tentu bersekolah berarti belajar.
Harian Kompas mengangkat sebuah berita berjudul ”Angka Putus Sekolah Besar”, Selasa (1/3/2022). Konon, pada akhir 2021, Pusat Data dan Teknologi Informasi Kemendikbudristek memang mencatat bahwa sebanyak 38.116 siswa SD dan 15.042 siswa SMP putus sekolah. Sementara itu, di jenjang SMA/SMK sebanyak 22.085 siswa.
Dalam pantauan Kompas, Senin(28/2), semua angka itu terjadi dominan karena persoalan kemiskinan. Hal itu tentu saja semakin berdampak lantaran pandemi melanda. Satu yang pantas disesali dari kenyataan tersebut adalah ternyata negara kita belum bisa menyekolahkan orang miskin dengan sepenuh hati.
Walau begitu, ada yang jauh lebih gawat daripada sebatas angka putus sekolah, yaitu putus belajar. Putus sekolah dan putus belajar adalah dua hal berbeda. Belum tentu bersekolah berarti belajar. Demikian sebaliknya, belum tentu putus sekolah berarti berhenti belajar.
Baca Juga: Putus Sekolah Bukan Sekadar Angka
Saya menemukan dengan mata kepala sendiri bahwa banyak anak miskin di kampung yang gigih mencari penghidupan dengan belajar hal-hal baru. Mereka pergi ke ladang mengolah tanah. Mereka jadi lebih tahu apa arti menanam daripada siswa di perkotaan yang sebatas tahu informasi tanpa pernah menyentuh informasi itu.
Artinya, proses belajar mereka tetap berlanjut, membumi, dan aplikatif. Senada dengan itu, orang bijak selalu berkata bahwa ilmu di sekolah tak cukup menjawab persoalan hidup. Karena itu, belajar bermakna harus jua ditempuh di luar sekolah.
Persoalannya, arti belajar di negara kita harus di dalam sekolah. Segala hal pembelajaran di luar sekolah tidak dihitung dan tidak dihargai. Padahal, sering kali pembelajaran di luar sekolah justru paling menentukan. Ada banyak orang besar atau tokoh yang pada akhirnya dididik di jalanan dan mereka berhasil.
Bukan cerminan realita
Sebaliknya, cukup banyak anak yang dididik di sekolah, tetapi pada akhirnya hanya menjadi pecundang untuk tidak mengatakan sebagai sampah masyarakat. Harusnya, beginilah kita membaca data pendidikan supaya kita tidak puas dengan angka, tetapi minim pencapaian.
Rasanya, kian kemari, angka pada rapor anak kita sudah sangat mentereng. Tidak ada lagi angka dengan rapor merah. Semua terlihat berkilauan. Kadangkala, saya jadi merasa minder ketika angka pada rapor SMP dan SMA saya banyak angka 5 atau merah. Namun, saya bersyukur karena teman sekelas juga tak jauh berbeda dengan saya. Kini, teman-teman saya itu sudah tergolong sukses di bagian masing-masing meski dengan modal angka merah di rapornya.
Rasanya, kian kemari, angka pada rapor anak kita sudah sangat mentereng. Tidak ada lagi angka dengan rapor merah. Semua terlihat berkilauan.
Satu hal yang kemudian dapat saya peroleh dari sana adalah bahwa angka di rapor itu cerminan dari realita belajar kami. Kini, angka pada rapor anak kita tak lagi cerminan realita. Karena itu, angka tersebut sama sekali tak bisa menjadi pertanda bahwa seseorang pernah belajar sungguh-sungguh. Betapa tidak, anak yang hanya dengan modal datang, duduk, diam ternyata akan mendapatkan angka di atas nilai 9 pada rapornya.
Guru terlihat sudah semakin bermurah hati memberikan angka kepada siswa. Sesuatu yang bijak sebenarnya karena dapat meningkatkan semangat dan motivasi belajar siswa. Sayang, sering kali yang terjadi bukan peningkatan motivasi, melainkan justru pendangkalan semangat belajar. Pasalnya, siswa menjadi terlena karena merasa dia sudah belajar maksimal dengan segala angka yang berkilauan itu. Padahal, siswa itu masih jauh di bawah titik normal. Sebagai bukti, saya menemukan beberapa siswa yang belum bisa membaca meski sudah duduk di bangku SMP.
Malah, di SMA, saya juga menemukan beberapa siswa yang gagap membaca. Namun, rapornya terlihat sangat menawan. Pada posisi demikianlah kiranya kita memahami data mengapa rata-rata anak Indonesia belajar selama 12,4 tahun, tetapi kemampuan rata-ratanya ternyata hanya setara dengan belajar 7,8 tahun (Human Capital Index, 2020). Sebagaimana dirilis Badan Pusat Statistik, rata-rata lama sekolah (RLS) dan angka partisipasi kasar (APK) memang menanjak. Akan tetapi, angka itu nyata-nyata tak mencerminkan, apalagi menaikkan kualitas pendidikan kita.
Baca Juga: Merawat Kesanggupan Belajar
Dalam 14 tahun terakhir ini, misalnya, kita justru mengalami penurunan kualitas yang sangat drastis untuk semakin menegaskan bahwa bersekolah tak sama dengan belajar. Hal ini terungkap dalam studi Amanda Beatty (dkk) berjudul Schooling Progress, Learning Reversall: Indonesia's Learning Profiles Between 2000 and 2014 yang baru saja diterbitkan. Dalam studi itu disebutkan bahwa kemampuan berhitung pelajar kelas II SMP pada 2014 setara dengan kemampuan siswa kelas V SD pada 2000. Lebih detail lagi, hanya 67 persen siswa kelas III yang bisa menuntaskan materi untuk kelas I.
Dari data ini, kita seharusnya sadar bahwa angka putus belajar ternyata jauh lebih buruk daripada angka putus sekolah. Justru saya membaca bahwa tidak semua yang putus sekolah saat ini adalah melulu karena kemiskinan. Toh, undang-undang sudah tegas mengatakan bahwa orang miskin gratis untuk belajar. Jadi, ada faktor lain yang membuat mereka berhenti belajar selain karena kemiskinan, yaitu keraguan pada nilai-nilai luhur bersekolah. Bahwa sekolah, seperti juga digelisahkan Sidharta Susila, ternyata dirasa sudah tak bermanfaat lagi (Kompas, 19 Juni 2022).
Ironis
Keraguan atas ketidakbermanfaatan sekolah itu semakin besar pula di masa pandemi. Ambil, misalnya, celetukan siswa bahwa di masa pembelajaran jarak jauh (PJJ), pembelajaran sebatas mencatat atau bagi link YouTube. Maka, ”Kami bayar iuran, tetapi kami tak dapat ilmu,” ujar Rio di NTT dan dia pun putus sekolah (Kompas, 1/3/2022). Saya tak sedang mengingkari putus sekolah karena kemiskinan. Data dari Litbang Kompas (10-14 Februari 2022), terutama pada masa pandemi, memang menunjukkan meningkatnya angka putus sekolah dominan karena kemiskinan.
Akan tetapi, data lain juga menunjukkan bahwa siswa berhenti sekolah karena jenuh (10,1 persen di Jawa dan 16 persen di luar Jawa). Kejenuhan ini lantas berimbas pada putusnya mereka dari sekolah. Kenyataan itu tentu menjadi sinyalemen yang buruk bagi bangsa kita. Betapa tidak, di tengah berkembangnya teknologi, semestinya siswa harus gigih untuk belajar mengadaptasikan diri di sekolah. Sayang, siswa kita banyak yang memilih untuk putus sekolah. Lebih sayang lagi, meski masih banyak yang tetap memilih untuk melanjutkan sekolah, ternyata mereka juga tak belajar untuk mengadaptasikan diri.
Baca Juga: Menghitung Kerugian Belajar
Mereka memang masih belum putus sekolah, tetapi mereka sudah putus belajar. Rasanya menjadi mendesak bagi kita untuk mencari data lebih sahih tentang angka putus belajar. Data inilah yang perlu kita refleksikan supaya kita fokus menjawab data kesenjangan lama belajar dengan ketercapaian belajar kita. Pasalnya, untuk apa siswa-siswa kita masih bersekolah jika mereka tak belajar bermakna?
Pada masa silam, siswa putus sekolah masih karena alasan kemiskinan dan akses. Saat ini, alasan siswa putus sekolah sudah gawat: jenuh dan merasa tak bermanfaat. Ironis sekali, bukan?
Riduan Situmorang, Guru Bahasa Indonesia SMAN 1 Doloksanggul-Humbang Hasundutan; Instruktur Sastra Digital Tingkat Nasional; Calon Guru Penggerak