Puluhan tahun yang lalu, saya mulai mengenal geng atau lingkaran pertemanan di SMP. Geng menjadi kelompok elitis yang mendongkrak status sosial seorang remaja. Terjadi deindividuasi, anggota cenderung bertindak atas nama kelompok. Karakteristik saling memperkuat dan melindungi dari ancaman pihak lain juga meningkat.
Efeknya, tegangan antargeng pertemanan pun bermunculan: geng kakak kelas menindas geng adik kelas, pertarungan geng antarsekolah, dan seterusnya.
Karena sifatnya yang luring, maka geng pertemanan ini terbatasi oleh ruang. Jangkauannya terbatas dan tidak mudah menyebar. Sebagaimana suku bangsa, yang terbentuk oleh keterikatan sosial atau oleh kesamaan darah, serta memiliki set aturan sosial dan budaya bersama.
Dengan hadirnya teknologi informasi yang ramah manusia (user-friendly), interaksi antarmanusia pun tidak terbatasi oleh ruang fisik, geografis, dan waktu. Media sosial, seperti Twitter dan Facebook, mempertemukan manusia yang sejenis atau seide. Demikian juga platform jejaring sosial seperti Whatsapp Group (WAG) dan Telegram.
Maka, lahirlah apa yang disebut Seth Godin disebut sebagai Tribes atau Suku kekinian, yakni sekumpulan manusia yang terhubung satu sama lain, memiliki pemimpin dan terhubung dengan sebuah ide di mana pun mereka berada, diikat oleh kedekatan ideologi, gagasan, atau minat. Contohnya suku Android dan suku IOS Iphone bagi para penggemar kedua operating system untuk ponsel pintar.
Di media sosial, kita pun cenderung berkelompok dengan orang yang seide dengan kita. Kita berteman dan mengikuti (follow) akun-akun yang menarik perhatian kita. Teknologi AI pun memfasilitasinya (baca: memperparahnya) dengan algoritma yang membentuk ceruk (niche) pribadi kita. Alhasil sangat mudah bagi kita untuk terperangkap dalam lingkaran gagasan yang itu-itu saja, membuat kita militan sehingga kita cenderung tidak memiliki sikap kritis terhadap gagasan-gagasan yang beragam.
Geng pertemanan yang dulu terjadi secara fisik, sekarang bergeser menjadi geng pertemanan di jejaring sosial dan media sosial. Di media sosial Twitter, muncul istilah sirkel dan base. Base adalah akun khusus untuk satu minat/tema tertentu, di mana para pengikut dapat mengungkap ide secara anonim dan mendapatkan respons dari ribuan orang yang tidak dikenalnya. Contohnya akun @collegemenfess yang berisi sharing gagasan atau pertanyaan seputar kehidupan kampus. Walaupun base bisa memicu keributan media sosial, biasanya geng pertemanan ini relatif ringan.
Suku lain muncul dalam bentuk sirkel pergaulan di platform media sosial. Tanpa ikatan formal, tanpa nama, tetapi interaksi serta kedekatan gagasan antarorang di sini cukup menonjol. Di semesta Twitter Indonesia, beberapa waktu lalu terjadi keramaian tentang pelecehan seksual online yang akhirnya merembet kepada sirkel pelakunya. Orang-orang dalam sirkel tersebut ikut disalahkan karena tidak bertindak atau setidaknya karena terus berteman dengan sang pelaku pelecehan. Guilty by association.
Sebaliknya, anggota sirkel juga dapat menjadi pelaku perisakan saat berbelarasa kepada kawannya. Perisakan berjemaah ini kerap terjadi, terutama bila terkait pada ideologi dan figur publik serta figur politik. Jemaah yang sering disorot paling solid dan reaktif adalah BTS Army, rumah bagi penggemar grup band Korea Selatan BTS. Kisah BTS Army menerjang setiap komen negatif sudah melegenda di semesta media sosial Indonesia dan dunia.
Tapi yang paling menakutkan banyak pengguna media sosial adalah sirkel pengikut dan pasukan siber dari para figur politisi dan partai politik. Sirkel pengikut biasanya berisi akun otentik yang mendukung sang tokoh secara fanatik. Mereka menjadi kelompok pertama yang meradang saat sang tokoh dikritik. Di media sosial, beberapa yang menonjol adalah sirkel pendukung Presiden Joko Widodo, Anies Baswedan, Ahok, AHY, serta Ganjar Pranowo.
Setiap kali saya bersuara tentang sebuah kasus rakyat, sirkel pengikut beberapa tokoh di atas langsung membanjiri akun Twitter saya dengan komen pedas, seperti: ”katanya anak Gus Dur kok bodoh. Mungkin air cucuran atap yang jatuh ke comberan”.
Sebaliknya, sirkel pengikut tokoh yang berseberangan segera memanfaatkannya dengan mempergunakan komentar saya untuk menyerang dua tokoh tersebut.
Situasi ini dilipatgandakan oleh buzzers yang bekerja secara profesional untuk kepentingan sang tokoh politik. Serangan terhadap pengkritiknya diorkestrasi sistematis. Bot dan ”akun ternakan” dikerahkan untuk menyerang pengkritik. Tujuannya mengintimidasi sehingga pengkritik ciut hati lalu tidak lagi berani berkomentar, serta merebut narasi yang berkembang.
Ini menjadi salah satu tantangan terbesar demokrasi. Kemerdekaan berpendapat diintimidasi sehingga kritik pun berkurang dan tidak terwujud keragaman pandangan yang seharusnya menjadi mekanisme check and balances. Padahal, keseimbangan ini diperlukan untuk membangun kebaikan bersama dan menghindari otoritarianisme.
Saya tidak bisa membayangkan tahun depan ketika kita memasuki tahun politik menjelang pemilihan presiden. Fenomena pelintiran kebencian dapat dipastikan akan meraja, melebihi di pesta demokrasi sebelumnya. Demikian pula hoaks dan berita bohong yang akan menajamkan polarisasi publik.
Kita patut bersiap-siap menghadapinya, dengan berbagai mekanisme. Tidak akan mudah, karena waktu yang tersedia relatif pendek, dan keengganan pihak-pihak yang justru diuntungkan oleh fenomena ini.
Tentunya, ini bukan alasan untuk mengundurkan Pemilihan Umum 2024.