Apakah harga perang di Ukraina setimpal bagi Rusia? Apakah Putin berhasil mengantarkan Rusia mencapai kepentingan obyektifnya?
Oleh
JULIUS SUMANT
·6 menit baca
Hingga pekan kedua invasi Rusia ke Ukraina, alasan di balik “operasi militer khusus” yang diperintahkan Presiden Vladimir Putin masih menjadi pertanyaan besar bagi banyak pemimpin dunia maupun pakar politik Eropa. Jawaban yang agak terang disampaikan juru bicara Kremlin Dmitry Peskov, Senin (7/3/2022), di tengah maju mundur upaya gencatan senjata antara kedua belah pihak demi memberi ruang koridor kemanusiaan.
Kepada Reuters, Pezkov menyatakan Kremlin kapan saja bisa menghentikan operasi militernya jika Ukraina memenuhi sejumlah syarat yang diminta Rusia. Syarat itu meminta Ukraina mengakui Krimea sebagai bagian dari Rusia, mengakui Donetsk dan Luhansk sebagai negara merdeka, dan berjanji tidak akan bergabung dengan aliasi manapun. Ukraina juga diminta mengamendemen konstitusinya untuk mengakomodir prasyarat tersebut. Untuk saat ini. menurut Pezkov, Rusia masih akan menjalankan “demiliterisasi” Ukraina dan akan menghentikan sementara aksi militernya jika kampanye militer telah dianggap selesai.
Insekuritas Rusia
Invasi Rusia ke Ukraina, juga sebelumnya aneksasi Krimea pada Maret 2014 yang diikuti dengan dukungan bagi separatis pro-Rusia di Donetsk dan Luhansk, bukanlah peristiwa yang berdiri sendiri dan terpisah. Tindakan agresif Rusia di sekitar wilayah penyangga zona keamanannya tidak bisa dilepaskan dari konteks melemahnya pengaruh Rusia (declining superpower) dalam panggung politik global, bahkan regional, setelah bubarnya Uni Soviet dan Pakta Warsawa pada akhir 1990-an.
Selama hampir setengah abad, negera-negara pecahan Soviet yang terhampar dari Laut Hitam hingga Laut Baltik maupun negara-negara eks satelit Soviet di Eropa Tengah merupakan zona penyangga yang memberi jaminan keamanan bagi Rusia. Dalam sejarah, berkali-kali bangsa Rusia diserbu kekuatan asing, terutama yang berasal dari daratan Eropa bagian barat, antara lain serangan oleh Perancis di bawah Napoleon Bonaparte tahun 1812 dan Nazi Jerman di bawah Hitler pada masa Perang Dunia II. Bentang alam wilayah Ukraina yang landai secara geopolitik mempermudah masuknya invasi asing ke wilayah pedalaman Rusia. Invasi asing bisa dicegah, setidaknya dihambat, jika Rusia memiliki zona penyangga.
Hilangnya zona penyangga terjadi akibat perubahan tata dunia baru sejak runtuhnya Uni Soviet. Soviet pecah menyisakan Rusia dan sejumlah negara-negara merdeka. Begitu pula dengan bekas negara satelit Soviet di Eropa Tengah yang berbatasan dengan negara-negara anggota NATO.
Memorandum Budapest 1994 yang ditandatangani oleh Amerika Serikat, Inggris, Rusia, China, dan Perancis memang dibuat untuk memberi jaminan keamanan bagi Rusia pasca-Perang Dingin. Cara yang ditempuh dengan menerapkan kebijakan proliferasi nuklir atau dengan kata lain mempreteli kemampuan nuklir dari tiga bekas pecahan Soviet yakni Ukraina, Belarusia, dan Kazakhstan. Imbal baliknya, Rusia wajib menghormati kedaulatan tiga negara yang disebut terakhir, sekaligus dilarang menggunakan kekuatan senjata dan nuklir untuk melawan ketiganya.
Namun demikian, masih ada persoalan yang belum tuntas terselesaikan, yakni mengenai pengaturan skema keamanan lebih lanjut terutama dikaitkan dengan ekspansi keanggotaan NATO ke arah timur. Seiring waktu semakin banyak negara eks satelit dan bekas pecahan Uni Soviet bergabung dengan NATO dan hal ini mendorong pergeseran perimbangan kekuatan antara NATO dan Rusia.
Situasi kaostik dan respons otonom Rusia
Dalam tulisannya berjudul "Armed Conflict in The World’s Periphery", ilmuwan hubungan internasional KJ Holsti, tak lama setelah bubarnya Uni Soviet telah memprediksi situasi tatanan usai Perang Dingin di wilayah periferi akan cenderung lebih kaostik dibanding era ketika Perang Dingin masih berlangsung.
Holsti menyebut situasi kaostik ini tidak lain merupakan buah dari apa yang ia sebut sebagai “machinations of adversary”, mekanisasi permusuhan atau konflik yang dipicu oleh dinamika politik lokal maupun regional, dalam hal ini bekas satelit dan bekas pecahan Soviet serta relasinya dengan NATO dan Uni Eropa.
Dinamika politik di Eropa dalam 30 tahun terakhir sejak Perang Dingin telah berevolusi dengan kecenderungan bandul magnet ekonomi politik di negeri-negeri bekas vassal-nya mengayun dari timur ke barat ketimbang sebaliknya. Sementara, Rusia sendiri harus mengimbangi beberapa kekuatan utama di Eropa terutama Jerman, Inggris (sebelum Brexit), dan tentu saja Amerika Serikat.
Ilmuwan hubungan internasional Jack Snyder dalam tulisannya, “International Order and the Future of World Politics, Russia: Respon to Relative Decline”, berpendapat bubarnya Uni Soviet mewariskan pada Rusia sebuah status adidaya yang melemah. Menurut Snyder, meski melemah, beban historis dan obyektif secara tradisional mendorong Rusia untuk mempertahankan statusnya sebagai kekuatan otonom dalam konstelasi politik global ketimbang memainkan peranan sebagai bekas adidaya yang kehilangan kekuatan globalnya seperti Spanyol berabad-abad silam.
Rusia juga tidak meniru model Jerman dan Jepang pasca-perang yang maju dengan mengekor hegemoni Barat. Setidaknya dalam tiga dekade terakhir sejak Komunisme bubar, Rusia tidak lagi hadir sebagai kekuatan global sebesar Uni Soviet namun ia terus hadir secara terbatas untuk melindungi kepentingan sekutu-sekutu tradisionalnya seperti Suriah.
Kebijakan otonom Rusia untuk melakukan penyesuaian strategis terhadap perubahan geopolitik mudah dibaca di Eropa Timur. Wilayah ini merupakan beranda depan Rusia, pintu masuk ke wilayah Rusia Raya yang terisolir. Untuk itu, Rusia harus mengatasi sumber ancaman yang datang dari luar jika ingin mencegah kehancuran atau kekacauan yang lebih parah.
Kebijakan otonom ini terlihat jelas dalam aksi sepihak Rusia, baik saat menganeksasi Krimea tahun 2014, mendukung separatis pro-Rusia di Donetks dan Luhansk, maupun invasi Ukraina kini. Dengan kata lain, dalam perspektif pengambil kebijakan di Kremlin, tindakan agresi Rusia merupakan respons rasional untuk membuat penyesuaian strategis dan preventif yang bertujuan membungkam ancaman sekaligus mendapatkan jaminan keamanan nasional. Pendek kata, invasi Rusia adalah cara Kremlin untuk mendesakkan tuntutan tata keamanan baru di Eropa.
Permainan strategis dan dilema keamanan
Respons Rusia yang agresif bukannya tanpa risiko. Rusia harus berhadapan secara proksi dengan AS dan negara-negara NATO yang mendukung Ukraina. Apalagi dunia secara umum mengutuk invasi Rusia. Tentu Putin dan lingkaran dalam Kremlin telah menimbang risiko dampak dari situasi krisis yang timbul akibat menginvasi Ukraina.
Mengutip tulisan Roger Hurwitz dalam “Strategic and Social Fictions int The Prisonner’s Dillema”, perang dan beragam konflik yang lain merupakan permainan strategis (strategic games) yang bisa membawa kemenangan dan kekalahan. Menurut kajian realisme dalam studi hubungan internasional, negara bertindak sebagai aktor tunggal yang mencari kekuasaan akumulatif dan tak terbelenggu oleh aturan hukum, moral, dan sentimen.
Dengan kata lain, Kremlin dalam pandangan ini mengkalkulasi situasi dilema dan tiba pada kesimpulan bahwa agresi merupakan perhitungan rasional yang paling menguntungkan bagi kepentingan nasionalnya dibanding jika tidak bertindak yang tentu akan semakin tergerus oleh dinamina politik regional. Sesuatu yang belakangan bagi sejumlah analis, invasi Rusia ke Ukraina dinilai gagal memitigasi besarnya sanksi, dampak pengucilan politik, dan kecaman dunia yang bertubi-tubi kepada Rusia.
Bumerang ekonomi politik yang kini dihadapi Rusia, bisa pula berpotensi mengoyak konflik domestik, merupakan salah satu sisi dari keping koin dilema keamanan yang coba diatasi oleh Kremlin. Tujuan keamanan yang dicapai lewat perang sudah pasti menuntut ongkos ekonomi politik tersendiri. Apakah harga perang di Ukraina setimpal bagi Rusia? Apakah Putin berhasil mengantarkan Rusia mencapai kepentingan obyektifnya?
Mungkin, Putin sendiri kalau ditanya akan menjawab dengan mengutip dua negarawan Perancis, Perdana Menteri George Clemenceau dan Jenderal Charles de Gaulle. Yang pertama menyatakan, “ Perang urusan yang terlalu penting untuk diserahkan pada para jenderal”, sedangkan yang terakhir menyatakan, “Politik urusan yang terlalu penting untuk diserahkan pada para politisi".
Yang pasti, kini dunia tengah menyaksikannya, juga mengecamnya. Mereka yang mendukung maupun menolak perangnya Putin tanpa kecuali, juga termasuk rakyat Rusia sendiri.