Membatasi Kalori, Memperpanjang Usia
Mengurangi asupan kalori dan lemak membuat awet muda. Pembatasan kalori memperlambat metabolisme basal, mengurangi stres oksidatif, dan peradangan. Itu membantu mempertahankan fungsi organ dan sistem kekebalan tubuh.
Membatasi asupan kalori dan lemak membantu mengurangi risiko penyakit kronis dan memperpanjang usia. Sejumlah penelitian pada hewan percobaan dan manusia membuktikan hal itu.
Pembatasan kalori memperlambat metabolisme basal atau mengurangi jumlah energi yang digunakan tubuh. Hal itu menurunkan stres oksidatif yang ditanggung tubuh.
Proses biokimia dan metabolisme tubuh menghasilkan radikal bebas. Dalam jumlah normal, radikal bebas diperlukan oleh sistem kekebalan tubuh, biosintesis hormon, sinyal seluler, dan berbagai proses fisiologis tubuh. Tubuh akan baik-baik saja jika radikal bebas diimbangi oleh antioksidan.
Stres oksidatif terjadi jika jumlah radikal bebas tak seimbang dengan antioksidan. Terlalu banyak radikal bebas akan merusak sel-sel sehat sehingga terjadi peradangan dalam tingkat rendah. Peradangan ini dalam jangka panjang memicu berbagai penyakit, seperti diabetes, tekanan darah tinggi, kardiovaskular, kanker, artritis reumatoid, alzheimer, dan parkinson.
Baca juga: Membatasi Asupan Kalori Mencegah Penuaan
Pengurangan asupan kalori juga meningkatkan kemampuan tubuh membakar simpanan asam lemak untuk diubah menjadi energi. Ini penting. Jika tidak dibakar, lemak akan menumpuk di organ-organ, seperti otot dan hati, sehingga menyebabkan obesitas, resistensi insulin, dan berujung pada diabetes tipe 2 serta berbagai gangguan kesehatan lain.
Meningkatkan fungsi timus
Para peneliti dari Fakultas Kedokteran Universitas Yale, Amerika Serikat, Olga Spadaro dan kolega, melalui Studi Penilaian Komprehensif Efek Jangka Panjang dari Pengurangan Asupan Energi (Comprehensive Assessment of Long-term Effects of Reducing Intake of Energy/CALERIE), mengonfirmasi manfaat pembatasan kalori pada manusia dan mengidentifikasi protein kunci yang dapat dimanfaatkan untuk kesehatan. Hasilnya dipublikasikan di jurnal Science, 10 Februari 2022.
Penelitian dilakukan pada lebih dari 200 orang sehat selama dua tahun. Sebagian diminta mengurangi asupan kalori sebesar 14 persen, sebagian makan seperti biasa. Secara simultan dilakukan penelitian pada tikus yang dikurangi asupan kalorinya secara ekstrem, yakni 40 persen.
Analisis seluler dan transkripsi gen menunjukkan, pembatasan kalori meningkatkan fungsi timus. Ekspresi gen yang mengkode platelet activating factor acetylhydrolase (PLA2G7) menurun pada manusia yang menjalani pembatasan kalori. Hal serupa teramati pada tikus. Inaktivasi gen ini pada tikus mampu mengurangi peradangan dan meningkatkan fungsi timus serta beberapa fungsi metabolisme pada tikus yang menua.
Baca juga : Peta Kelenjar Timus untuk Terapi Kanker dan Autoimun
Timus adalah kelenjar yang berada di rongga dada, di antara paru dan di atas jantung. Kelenjar ini berfungsi menghasilkan sel T, sejenis sel darah putih dan bagian penting dari sistem kekebalan tubuh. Timus menua lebih cepat daripada organ lain. Saat orang dewasa sehat berusia 40 tahun, 70 persen dari timus sudah berlemak dan berkurang fungsinya. Seiring pertambahan usia, produksi sel T makin sedikit. Karena itu, semakin lanjut usia, orang berisiko lebih besar mengalami infeksi.
Kelenjar timus pada peserta yang membatasi asupan kalori memiliki lebih sedikit lemak dan volume fungsionalnya menjadi lebih besar setelah dua tahun.
Menggunakan alat pencitraan resonansi magnetik (MRI), peneliti mengamati perbedaan fungsional kelenjar timus pada peserta yang membatasi kalori dan yang tidak. Didapatkan, kelenjar timus pada peserta yang membatasi asupan kalori memiliki lebih sedikit lemak dan volume fungsionalnya menjadi lebih besar setelah dua tahun. Artinya, timus mereka memproduksi lebih banyak sel T dibanding awal penelitian, sehingga sistem kekebalan meningkat. Sedangkan timus peserta yang tidak membatasi kalori tak mengalami peningkatan volume fungsional.
Selain meningkatkan sistem kekebalan, peningkatan jumlah sel T dikaitkan dengan peningkatan kemampuan membakar simpanan asam lemak untuk energi.
Tim peneliti mempelajari jaringan adiposa (lemak tubuh) dari peserta yang menjalani pembatasan kalori di tiga titik waktu, yakni di awal penelitian, setelah satu tahun, dan dua tahun. Lemak tubuh sangat penting, karena memiliki sistem kekebalan kuat. Ada beberapa jenis sel kekebalan dalam lemak yang jika diaktifkan secara tidak wajar akan menjadi sumber peradangan.
Para peneliti memfokuskan perhatian pada gen PLA2G7, salah satu gen yang secara signifikan dihambat pada pembatasan kalori. PLA2G7 adalah protein yang diproduksi oleh sel imun yang dikenal sebagai makrofag. Protein ini menarget mekanisme spesifik peradangan yang disebut inflammasome NLRP3. Menurunkan PLA2G7 berarti melindungi tubuh dari peradangan.
Penelitian CALERIE sebelumnya, yang dilakukan Leanne M Redman, Guru Besar Ilmu Klinis di Pusat Riset Biomedis Pennington di Baton Rouge, Los Angeles, bersama tim dari sejumlah lembaga penelitian di AS, mendapatkan, pembatasan asupan kalori 15 persen pada 53 laki-laki dan perempuan sehat dan tidak obesitas, berusia 21-50 tahun, dapat memperlambat metabolisme basal dan menurunkan stres oksidatif.
Dalam jurnal Cell Metabolism, 22 Maret 2018, disebutkan, tidak ditemukan efek samping seperti anemia, keropos tulang, atau gangguan menstruasi pada kelompok yang menjalani pembatasan asupan kalori selama dua tahun. Bahkan, peserta mengalami peningkatan suasana hati dan kualitas hidup terkait kesehatan serta berat badan menurun rata-rata 8,7 kilogram.
Mempertahankan kemudaan
Tim ilmuwan China dan AS, Shuai Ma dan kolega dari Salk Institute, dalam Cell, 27 Februari 2020, melaporkan secara rinci efek seluler dari pembatasan asupan kalori pada tikus. Peneliti membandingkan kelompok tikus yang dikurangi asupan kalori 30 persen dengan tikus yang makan normal.
Hal tersebut dilakukan dari tikus usia 18 bulan hingga 27 bulan. Pada manusia, ini setara dengan usia 50 tahun hingga 70 tahun.
Di akhir penelitian peneliti menganalisis sel-sel dari jaringan lemak, hati, ginjal, aorta, kulit, sumsum tulang, otak, dan otot tikus. Diamati pula komposisi seluruh jenis sel dalam jaringan. Para peneliti menggunakan teknologi pengurutan genetik sel tunggal untuk mengukur tingkat aktivitas gen.
Didapatkan, saat tikus dengan makanan normal bertambah tua, banyak perubahan dalam jaringan tubuh. Namun, pada tikus dengan pembatasan kalori, sebagian besar sel jaringan tubuhnya masih seperti tikus muda.
Pembatasan kalori mengembalikan tingkat ekspresi banyak gen anti-inflamasi seperti layaknya tikus muda. Yang menonjol adalah tingkat faktor transkripsi Ybx1 berubah akibat pembatasan kalori di 23 jenis sel yang berbeda.
Pembatasan kalori bersama diet rendah lemak juga mampu mencegah aktivasi peradangan sel kekebalan otak yang disebut mikroglia pada tikus yang menua. Demikian hasil penelitian Zhuoran Yin dan kolega dari Rumah Sakit Pendidikan Universitas Groningen, Belanda di Frontiers in Molecular Neuroscience, 12 Maret 2018.
Mikroglia adalah sel otak yang membantu menjaga integritas dan fungsi normal jaringan otak. Disfungsi sel-sel ini menyebabkan gangguan saraf dan kondisi neurodegeneratif. Penuaan dikaitkan dengan peradangan mikroglia di hipotalamus otak.
Olahraga, pada tikus dilakukan dengan berlari di roda, secara signifikan kurang efektif dibanding pembatasan kalori dalam mencegah peradangan mikroglia. Demikian pula diet rendah lemak. Aktivasi inflamasi mikroglia yang diinduksi penuaan hanya dapat dicegah ketika tikus diberi makanan rendah lemak dikombinasi dengan pembatasan asupan kalori.
Kita tak perlu menunggu tua untuk menjaga kesehatan dan mencegah penuaan sel tubuh. Mulailah mengurangi asupan lemak dan kalori sejak saat ini.
Baca juga : Diet Tepat Atasi Obesitas