Kata ”Membuncah” yang Salah Kaprah
Banyak pengguna bahasa memaknai kata ”membuncah” sebagai ’memuncak’, ’menggelora/bergelora’, atau ’meluap’. Nyatanya, makna tersebut tidak sesuai dengan makna yang tertera dalam kamus.
Kesalahkaprahan, atau salah kaprah, bisa terjadi pada banyak hal. Dalam hal bahasa, hal itu tidak hanya terjadi pada tataran wacana, juga pada tataran di bawahnya, seperti kata, gabungan kata, dan kalimat.
Ungkapan salah kaprah berasal dari bahasa Jawa. Dalam Bausastra Jawa-Indonesia (S Prawiroatmojo), kata salah berarti ’salah’ atau ’keliru’ dan kaprah berarti ’lazim’. Singkatnya, salah kaprah adalah kesalahan yang lazim.
Kalau diparafrasakan menjadi kesalahan yang lazim terjadi, karena dilakukan berulang-ulang, sehingga orang tidak merasakan bahwa hal yang salah itu sebagai kesalahan.
Dulu, ketika kasus politik pada zaman Orde Baru sedang ramai-ramainya, muncul ungkapan aktor intelektual. Ungkapan yang entah pertama kali diucapkan oleh siapa ini kemudian dipakai banyak orang untuk menunjukkan dalang atau otak di balik sebuah peristiwa, misalnya kerusuhan.
Ungkapan aktor intelektual, menurut Guru Besar Unika Atma Jaya Jakarta, K Bertens, salah kaprah.
Ungkapan aktor intelektual, menurut Guru Besar Unika Atma Jaya Jakarta, K Bertens, salah kaprah. Jika dikembalikan kepada bahasa sumbernya, Latin, yang tepat adalah auctor intellectualis (auktor intelektual, pen). Menurut tata bahasa yang akurat, kata Bertens, actor intellectualis tidak digunakan.
Auctor berarti ’pencetus’ atau ‘otak’, berbeda dengan actor yang berarti ’pelaku’. Jadi, kalau yang dimaksud penulis di atas adalah otak atau dalang di balik peristiwa, mestinya bukan actor intellectualis (aktor intelektual), melainkan auctor intellectualis (auktor intelektual).
Kesalahan ini terus berlanjut, dipakai orang terus-menerus, dan masuk Kamus Besar Bahasa Indonesia juga.
Beda arti
Kesalahkaprahan seperti pada kasus auktor intelektual terjadi juga pada kata lain. Kita, misalnya, sering menemukan kata membuncah dalam tulisan. Kalimat yang ditemukan dengan menggunakan kata tersebut sebagian besar (kalau tidak dikatakan semuanya) keliru, mengandung informasi yang berkebalikan dengan makna sesungguhnya.
Contoh berikut diambil dari beberapa portal berita di internet.
- Rusunami Tanpa Uang Muka: Harapan Membuncah Lalu Memudar
- Bahlil Lahadia Jadi Menteri Investasi, Gairah Investor Membuncah Masuk RI
- Skuat asuhan Juergen Klopp juga dipercaya bisa mengembalikan kepercayaan diri mereka di tengah dahaga kemenangan yang membuncah seperti sekarang.
Kalau kita membaca judul berita dan kutipan berita di atas, kita berkesimpulan bahwa membuncah pada ketiga contoh tersebut bermakna ’memuncak’, ’menggelora/bergelora’, ’meluap-luap”, atau yang sejenis dengan itu.
Baca juga : Hati-hati, "Aku Melihatmu!"
Kesimpulannya, harapan atau gairah warga, investor, dan skuad (bukan skuat) asuhan Juergen Klopp sedang meluap-luap (memuncak, bergelora) untuk menghadapi peristiwa yang akan terjadi. Apakah meluap-luap dan seterusnya itu adalah makna yang dikandung dalam kata membuncah?
Jika kita membaca berita tentang rusunami, kita mendapatkan informasi bahwa warga sangat antusias untuk mendapatkan rumah karena mereka dapat membeli rumah tanpa uang muka. Mereka yang tergiur iklan itu lalu berbondong-bondong mendaftar.
Yang terjadi kemudian, warga (dengan penghasilan rendah) kecewa karena ternyata rusunami tanpa uang muka itu cicilannya per bulan cukup tinggi. Akibatnya, banyak yang mengurungkan keinginannya karena tidak sanggup dengan tawaran itu.
Jadi, harapan membuncah yang tertulis dalam judul berita itu dimaksudkan untuk menggambarkan antusiasme warga yang tinggi untuk memiliki rumah. Kenyataannya, kata membuncah tidak mewakili kalimat itu. Sebab, membuncah bukan bermakna ’memuncak’, ’menggelora’, atau ’meluap’, melainkan sebaliknya.
Membuncah berasal dari kata buncah (adjektiva). Buncah bermakna 1. keruh (tentang air) dan 2. gelisah; kacau (tentang hati atau pikiran). Membuncah, dengan demikian, bermakna ’menjadi buncah’, ’menjadi keruh’, atau ’menjadi gelisah’. Bisa juga ’mengeruhkan’ atau ’menggelisahkan’.
Jika makna membuncah kita padukan pada kalimat tersebut, kalimatnya menjadi Rusunami Tanpa Uang Muka: Harapan Mengeruhkan Lalu Memudar atau Rusunami Tanpa Uang Muka: Harapan Menggelisahkan Lalu Memudar.
Baca juga : Perbedaan "Momen" dan "Momentum"
Harapan mengeruhkan/menggelisahkan paralel dengan (harapan) memudar. Berbeda dengan harapan meluap dengan (harapan) memudar, yang berlawanan. Maka, maksud hati membuat judul berita yang kontradiktif, yang terjadi malah informasinya tidak sesuai dengan yang dimaksudkan.
Pada contoh nomor dua, jika makna dalam kamus kita terapkan, gairah investor tidaklah menjadi keruh, kacau, atau gelisah setelah Bahlil, yang dipercaya akan memberikan kepastian kepada investor, diangkat menjadi menteri investasi. Justru sebaliknya, para investor akan meningkat gairahnya setelah mengetahui bahwa Bahlil yang mengerti masalah investasi diangkat menjadi menteri.
Maka, kata yang tepat dalam kalimat itu mestinya meningkat,memuncak, atau meluap, bukan membuncah, yang berarti ’mengeruhkan’ atau ’menggelisahkan’.
Hal yang sama terjadi pada cuplikan berita tentang klub asuhan Klopp yang sedang bergairah meraih kemenangan. Bukan sedang gelisah meraih kemenangan.
Ada beberapa kata lain yang bernasib sama dengan aktor intelektual dan membuncah, yang tidak digunakan sesuai dengan maknanya. Beberapa kata tersebut, antara lain, haru biru, bergeming, acuh, seronok, menginisiasi, nyinyir, tukas, dan pedestrian.
Penyebab salah kaprah
Salah kaprah bisa disebabkan beberapa hal. Kita tahu bahwa bentuk (kata, frasa) baru bisa muncul karena mengambil analogi pada bentuk lama. Namun, karena pembentukan kata baru itu kurang didasari oleh pengetahuan yang cukup tentang kaidah bahasa, kesalahan bisa terjadi.
Sampai saat ini, misalnya, kita masih menemukan kata terlanjur, terlentang, dan terlantar. Pengguna ketiga kata itu beranggapan bahwa terlanjur, terlentang, dan terlantar terbentuk dari ter- + lanjur, ter- + lentang, dan ter- + lantar, seperti pada terlempar dan terlambat. Padahal, ketiga kata tersebut bukan terdiri dari awalan ter- dan kata dasar lanjur, lentang, dan lantar. Ketiga kata tersebut merupakan kata dasar: telanjur, telentang, dan telantar.
Baca juga : Jaga, Jangan Lewah!
Salah kaprah bisa juga terjadi karena pengguna bahasa salah memilih kata atau gabungan kata. Handrawan Nadesul, dokter yang penyuka bahasa, memberi contoh penggunaan meminum obat dan memakan obat. Banyak orang menganggap bahwa memakan obat adalah bentuk yang tepat, padahal yang tepat adalah meminum obat.
Ketidaktahuan juga bisa menyebabkan salah kaprah. Ungkapan negeri jiran kerap ditulis menjadi Negeri Jiran karena dianggap ungkapan tersebut sebagai nama diri. Padahal, negeri jiran adalah ungkapan yang berarti ’negara tetangga’. Dulu, ungkapan ini lekat dengan negara tetangga kita, Malaysia.
Dalam tataran kalimat, salah kaprah bisa terjadi karena penulis yang membuat susunan kalimat kurang menguasai aturan penyusunan kalimat yang baik. Akibatnya, kalimat menjadi kacau.
Contoh, Tingkat Kasus Covid-19 Meningkat Tajam atau Prabowo Dicalonkan Menjadi Calon Presiden. Kedua judul berita ini bisa diubah menjadi Angka Kasus Covid-19 Meningkat Tajam atau Prabowo Diajukan Menjadi Calon Presiden (bisa juga Prabowo Dicalonkan Menjadi Presiden).
Pemakai bahasa yang teratur dan bersistem akan berupaya mengecilkan jumlah simpangan dan langgaran dan tidak mudah menyerah pada salah kaprah.
Penyebab terakhir, seperti kasus membuncah, ialah kekurangcermatan penulis memahami makna yang terdapat pada kata tersebut. Solusi yang paling mudah adalah dengan melihat kamus atau rujukan yang dapat dipercaya. Jika ini dilakukan, kesalahkaprahan niscaya tidak akan terjadi.
Baik juga kita kutip pendapat Guru Besar Fakultas Sastra UI Anton M Moeliono (almarhum) terkait salah kaprah ini. Pemakai bahasa yang teratur dan bersistem, katanya, akan berupaya mengecilkan jumlah simpangan dan langgaran dan tidak mudah menyerah pada salah kaprah.
Nur Adji, Penyelaras Bahasa Kompas