Berurusan buku-buku bekas dapat menemukan kebahagiaan tanpa tandingan. Bahagia itu campuran mulai dari kondisi buku, harga, tahun terbit, hingga tanda tangan.
Oleh
Bandung Mawardi
·5 menit baca
Pembaca keranjingan tak pernah menganut ”firman” buku dibeli dan dibaca harus baru. Pembaca ”beriman” justru bergerak mundur untuk mendapatkan buku-buku kuno atau lama. Keinginan demi mengerti dan menemukan unik. Keinginan kadang terkabul dengan harga murah dan pertemuan tiba-tiba mudah.
Berurusan buku-buku lama atau bekas, orang menggunakan ”pasal-pasal” agar mencapai kebahagiaan tanpa tandingan. Bahagia itu campuran hal: kondisi buku, harga, tahun terbit, tanda tangan, dan lain-lain.
Muharyo, penulis di pelbagai majalah, memberikan pengakuan kebahagiaan sebagai pencari dan pembeli buku-buku lama. Ia mencari di pasar buku di Jakarta: ”Karena itu tak heran bila saya, HB Jassin, Umar Kayam, Pramoedya Ananta Toer, Wiratmo Soekito, dan sejumlah pengarang lainnya sering berkeliling mencari-cari buku di tukang loak Jalan Madura, tak jauh dari tempat kami berkumpul.” Di sana, mereka bertemu buku-buku. Mereka merasa menjadi orang pilihan memenuhi panggilan buku. Duit sedikit memungkinkan untuk membeli buku-buku. Ramalan terpenting adalah harga (dijamin) murah.
Pada suatu hari, Muharyo membeli buku berjudul Coquetteren in de Dieren Leven. Buku mengenai kencan para bintang dijadikan referensi menulis artikel-artikel di pelbagai majalah. Ia mendapatkan ”imbalan berlipat-lipat bila dibandingkan dengan harga buku itu”. Ia bukan kolektor biasa tapi menjadikan buku-buku lama adalah bacaan. Buku ”digerakkan” menjadi tulisan-tulisan terbaca publik. Capaian berwujud tulisan dan honor menambahi gairah demi panggilan buku-buku lama.
Pengalaman itu milik para penulis, tak cuma milik Muharyo. Di pelbagai kota atau negeri, para pengarang membentuk biografi dengan membeli buku-buku lama atau bekas. Di pasar atau pinggir jalan, mereka seperti pendoa mau berjumpa idaman. Toko-toko menjual buku-buku bekas menjadi alamat ”keramat” memenuhi hasrat membaca dan mencipta ketakjuban. Pengalaman kecil Muharyo itu terbaca di majalah Femina, 15 September 1981.
Bertemu buku ”mengubah” tatapan sejarah dialami Ben Anderson. Buku lama terbeli dengan harga terjangkau justru memicu lacak biografi dan sejarah Indonesia. Ben Anderson (2009) berbagi cerita: ”Pada salah satu kundjungan ke warung buku loak di Djalan Surabaja, Djakarta, tahun 1962, kebetulan saja melihat dan langsung membeli buku kusut berdjudul Indonesia dalem Api dan Bara, jang ditulis oleh seseorang jang memakai nama samaran jang aneh: Tjamboek Berdoeri. Tidak ada nama penerbitnja, akan tetapi didalam keterangan pada halaman awal disebut bahwa buku itu diterbitkan di Malang pada bulan November 1947. Ketika kembali ke tempat kos, saja mulai membatjanja, dan dengan tjepat menjadari bahwa kebetulan saja telah menemukan sebuah karja agung.”
Intelektual ampuh itu girang tiada tara. Ia menghubungi teman-teman bermaksud mendapatkan pengetahuan tentang buku dan si pengarang. Gagal. Sekian teman tak mengetahui. Pengecualian Onghokham: ”pernah mendengar tentang buku itu atau membatjanja, dan dia sendiri sama sekali tidak tahu siapa sebenarnja si Tjamboek Berdoeri.” Penemuan buku bekas menggerakkan Ben Anderson dan teman-teman melacak biografi pengarang. Pada 2004, buku itu diterbitkan ulang agar mendapat pembaca penasaran dengan masalah-masalah sejarah, Tionghoa, revolusi, kota, dan lain-lain.
Ben Anderson mendapat panggilan buku. Ia tak berhitung duit atau honor. Misi terpenting adalah sejarah. Peran sebagai pembeli dan pelacak keterangan berfaedah bagi Indonesia. Pada abad XXI, penulisan esai-esai mengutip buku Tjamboek Berdoeri terus bertambah. Obrolan mengenai Indonesia dalem Api dan Bara berlanjut di kalangan sejarawan. Komunitas Bambu turut menghangatkan dengan menerbitkan buku Menjadi Tjaboek Berdoeri (2010). Pengarang itu bernama asli Kwee Thiam Tjing. Pemberitaan di majalah makin mengenalkan dan mengingatkan Tjamboek Berdoeri, setelah lama terlupa.
Dua orang itu mengikuti panggilan buku. Mereka mengalami girang dengan penemuan buku di Jakarta. Buku-buku bekas atau lawas tak cuma di Jakarta. Di pelbagai kota di Indonesia atau Eropa, buku-buku bekas terus memanggil siapa saja. Konon, urusan pembeli dan buku terbahasakan ”takdir” atau ”jodoh”.
Kita beralih mengurusi buku bekas dengan pengisahan George Orwell (1936). Ia pernah bekerja di toko buku bekas. Esai pengakuan terbaca dalam buku berjudul Bagaimana Si Miskin Mati: Bahasa, Kesusastraan, Politik, dan Kemanusiaan (2019). Kenangan selama bekerja di toko bukan bekas dan mengamati para pengunjung: ”Toko kami mempunyai koleksi yang amat menarik, tapi saya meragukan bahwa satu saja dari sepuluh pelanggan kami mampu membedakan antara buku bagus dan jelek. Snob pengoleksi edisi pertama jauh lebih banyak jumlahnya daripada pencinta sastra…” Ia prihatin dan jengkel. Ia lugas mengatakan sebal melihat ulah orang-orang datang ke toko buku tanpa pengetahuan dan kesaktian.
Babak kesebalan berakhir dengan kesadaran. Orwell tak betah: ”… rasa cinta saya pada buku memudar ketika saya masih menjual buku. Seorang penjual buku harus berbohong tentang buku dan itu membuatnya membenci buku; yang lebih buruk lagi adalah fakta ia harus terus-menerus membersihkan debu di buku dan mengangkut buku ke sana-kemari. Saya pernah benar-benar mencintai buku, maksud saya, saya melihat dan menyentuh buku, paling tidak bila buku itu berusia lima puluh tahun atau lebih.” Orwell mengerti buku tapi ”terkutuk” saat menjadi penjual buku bekas.
Pada masa berbeda, kita mengingat Orwell dengan novel-novel terus cetak ulang dan terbaca sampai abad XXI. Ia tampil sebagai pengarang. Diri pernah menjadi penjual buku bekas itu babak sejenak bergelimang kesebalan.
Kita menghadapi tiga orang berbeda berurusan buku bekas, predikat, dan faedah. Di Indonesia, gejolak sastra dan sejarah gara-gara buku bekas masih sering terjadi. Para pengarang atau intelektual berharapan menjadi sosok terpanggil bertemu buku. Episode ke pasar, toko, atau pinggir jalan perlahan berakhir setelah penggampangan membeli buku-buku bekas di lokapasar atau media sosial. Pengalaman seperti Muharyo atau Ben Anderson sulit ditiru lagi. Kita pun mengandaikan ada kesebalan-kesebalan ditanggungkan para pedagang buku bekas ingin mendapat rezeki dan bahagia. Begitu.
Bandung Mawardi
Kuncen di Bilik Literasi dan penulis buku Di Telapak Cerita (2022)