Keberanian KPU berinovasi perlu dibuka agar sistem pemilu ini bisa lebih maju. Menerapkan e-voting satu atau dua wilayah di pilkada 27 November 2024 bisa jadi satu pilihan.
Oleh
BUDIMAN TANUREDJO
·4 menit baca
Pemilu 2024 telah ditetapkan Rabu, 14 Februari. Dua tahun lagi rakyat akan menunjukkan kedaulatannya. Tujuh komisioner Komisi Pemilihan Umum dan lima anggota Badan Pengawas Pemilu telah dipilih DPR dan tinggal dilantik. ”Beban Pemilu 2024 akan berat,” kata Ketua Komisi II DPR Ahmad Doli Kurnia saat berbicara dalam webinar, Jumat (11/2/2022). Pemilu 2024 akan memilih presiden dan wakil presiden serta memilih 575 anggota DPR, 136 anggota DPD, dan 19.817 anggota DPRD.
Setelah UU Ibu Kota Negara ditandatangani Presiden Joko Widodo, presiden terpilih akan nganyari Istana Nusantara di Penajam Paser Utara. Begitu juga DPR dan DPD. Namun, untuk mewujudkannya butuh konsentrasi dan soliditas politik (sementara pemilu akan membelah) serta butuh biaya besar (sementara anggaran terbagi untuk pandemi, ekonomi, pemindahan ibu kota, dan penyelenggaraan pemilu).
Pada 2019, mengutip keterangan Ketua KPU Arief Budiman di Kompas.com, 22 Januari 2020, 894 petugas di lapangan meninggal dan 5.175 petugas sakit. Beban Pemilu 2024 lebih berat karena hasil pemilu legislatif 14 Februari 2024 akan menjadi syarat pencalonan kepala daerah dalam pilkada 27 November 2024. Sejak Mei 2022 hingga 27 November 2024, akan ada ”kekosongan” jabatan kepala daerah definitif dan diganti pelaksana tugas di 542 wilayah. Sebuah eksperimentasi demokrasi yang sangat menantang dan berisiko.
KPU mengusulkan anggaran pelaksanaan pemilu Rp 86 triliun, kemudian dikoreksi menjadi Rp 76 triliun. Ketika ekonomi belum pulih dan pandemi belum dicabut, pemerintah harus mengalokasikan anggaran memindahkan ibu kota untuk membangun istana dan kantor pemerintah di ibu kota baru.
Pandemi membawa perubahan. Muncul fenomena work from home, distance learning, dan telemedicine. Praktik ini adalah respons manusia atas keadaan. Pendiri harian Kompas, Jakob Oetama, dalam rapat redaksi sering mengutip sejarawan Arnold Joseph Toynbee (1889-1975) frasa challenge and response. Setiap ada tantangan, selalu ada tanggapan.
KPU mengusulkan anggaran pelaksanaan pemilu Rp 86 triliun, kemudian dikoreksi menjadi Rp 76 triliun. Ketika ekonomi belum pulih dan pandemi belum dicabut, pemerintah harus mengalokasikan anggaran memindahkan ibu kota untuk membangun istana dan kantor pemerintah di ibu kota baru.
Pengalaman menyakitkan Pemilu 2019 yang mengakibatkan jatuhnya korban harus menjadi pendorong reformasi sistem pemilu. Pengambilan kebijakan harus berbasiskan data dan pengalaman. Jika pandemi mengubah perilaku dari bekerja di kantor menjadi bekerja dari rumah, dari belajar di sekolah menjadi belajar dari rumah, transaksi di kantor bank menjadi transaksi di handphone, dan pemeriksaan kesehatan dari rumah sakit ke handphone, adakah pikiran mengembangkan pemilihan umum jadi vote from home seperti yang dijalankan di 1.300 desa di Indonesia.
Penolakan pasti terjadi. Faktor keamanan. Faktor kecurangan. Faktor kesiapan teknologi. Padahal, e-voting bisa menghemat biaya, menghemat waktu, dan mengurangi tenaga sumber daya manusia. Namun, pasti akan ditolak karena pemilu adalah industri politik besar.
Saya ngobrol dengan Direktur Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil Kementerian Dalam Negeri Zudan Arif Fakrullah dalam kanal Youtube ”Backtobdm”. Dengan data NIK yang tersimpan di kementerian, Zudan mengutarakan mimpinya dalam pilkada serentak 2024 bisa diterapkan e-voting di wilayah dengan penduduk kecil. ”Dimulailah dari satu atau dua wilayah yang kecil dulu,” usulnya.
Demokrasi di ujung jari pernah akan diterapkan di Jembrana tahun 2010, tetapi gagal terlaksana karena minimnya dukungan elite. Diskursus soal e-voting sudah ada sejak 2007, tetapi selalu menghadapi penentangan. Namun, 1.300-an pemilihan kepala desa di sejumlah wilayah bisa dilaksanakan.
Mahkamah Konstitusi pernah memberikan pertimbangan soal e-voting dalam putusan nomor 147/PUU/VII/2009. Dalam putusannya soal uji materi UU Pilkada yang diajukan Bupati Jembrana Gede Winasa, MK mengatakan, e-voting bisa dilakukan sejauh memenuhi persyaratan kumulatif tidak melanggar asas luber dan jurdil serta kesiapan daerah dari sisi teknologi, biaya, sumber daya manusia, perangkat lunak, dan kesiapan masyarakat. Putusan MK itu diputuskan Ketua MK Mahfud MD pada 2009.
Jika memang belum berani, bagaimana mengembangkan e-rekapitulasi suara dari TPS langsung ke Jakarta akan memotong birokrasi penghitungan suara berjenjang yang kadang penuh dengan kecurangan.
Keberanian KPU berinovasi perlu dibuka agar sistem pemilu ini bisa lebih maju. Menerapkan e-voting satu atau dua wilayah di pilkada 27 November 2024 bisa jadi satu pilihan. Jika memang belum berani, bagaimana mengembangkan e-rekapitulasi suara dari TPS langsung ke Jakarta akan memotong birokrasi penghitungan suara berjenjang yang kadang penuh dengan kecurangan.
Beranikah membajak pandemi dan mencobanya? Saya membaca surat kepada Redaksi Kompas yang ditulis Warman dari Kelapa Gading, Jakarta Utara, berjudul ”Pelajaran dari Pemilu 2019”. Warman di Kompas, 13 Mei 2019, menulis, ”Kembangkanlah sistem e-voting dan e-counting …. Sekali lagi mulailah memercayai kemajuan teknologi, orang lain sudah sampai ke Bulan, masa kita masih berkutat mempermasalahkan C1 sah atau curang. Sekali lagi mulailah dengan saling percaya, berhentilah menyebar hoaks, belajarlah berpolitik dengan etika….”