Begitu keluar dari daerah kota tua Yogyakarta, ketika saya melihat di sekelilingnya, terpaksa saya bertanya polos: ke mana konde lama wanita Jawa, ke mana kebayanya, ke mana rambut terurainya?
Oleh
JEAN COUTEAU
·3 menit baca
Saya jarang ke Yogyakarta. Biasanya, kalau ke kota itu saya suka ngumbara lampah di kota lama, di pojok lorong-lorong di mana tersembunyi ndalem-ndalem kaum ningrat. Saya suka membayangkan, di belakang gapura megah hunian tersebut, penari-penari cantik berkonde rapi berlatih menari tarian magis ciptaan para sultan Mataram. Terbawa impian saya akan keindahan itu, saya suka membayangkan budaya Jawa-Yogyakarta yang sejarah keindahannya mengalir tanpa merusak, lebih merupakan penerusan daripada perombakan.
Namun, begitu keluar dari daerah kota tua itu, ketika saya melihat di sekelilingnya, terpaksa saya bertanya polos: ke mana konde lama wanita Jawa, ke mana kebayanya, ke mana rambut terurainya. Kenapa pertanyaan saya ini polos. Karena memang begitu. Tidak ada maksud menggoda ataupun menghina siapa pun: Saya mempunyai cucu yang berjilbab. Mana mungkin saya ingin menghina? Saya cuma merisaukan rambutnya yang kini seperti rumput kering. Selain itu, saya ingin tahu apa yang terjadi di dalam pikiran wanita berjilbab. Apalagi saya teringat perkataan almarhum bapak mertua saya: aurat yang wajib dijaga bukanlah di muka, bukan di mana pun pula, kecuali di hati sang wanita.
Ya! Saya tekankan apa yang terjadi dengan tubuh dan khususnya rambut wanita Jawa. Kalau memang tidak ada hubungan dengan keyakinannya, seperti dikatakan mertua saya yang amat soleh itu, apa yang terjadi? Apa kesalahan kaum wanita dengan tubuhnya hingga harus dikurung hampir keseluruhannya? Pernah saya menulis tentang itu di Udar Rasa kira-kira 10 tahun yang lalu. Dengan menulis tentang itu sekarang, saya ingin mengukur evolusi mentalitas. Apakah kebiasaan sosial masih bisa dikritik dengan santai, seperti saya coba lakukan sekarang ini. Apakah akan dihujat atau disanjung? Niat ingsun polos mbah guru….
Seperti di dalam banyak hal, kuncinya ada pada sejarah. Dahulu kala, mayoritas wanita Jawa adalah petani buta huruf. Kain dan kebaya sederhana adalah respons ergonomisnya, dilengkapi dengan tutup kepala ala kadarnya. Adapun pola tampilan ideal-normatifnya, yang dimasyarakatkan melalui wayang dan teater, adalah pola berbusana kaum bangsawan: berkonde dan bertutup syal berenda sederhana. Lalu datanglah periode modern dan kemerdekaan; harus tampil maju.
Menuntut persamaan hak dengan pria, kaum perempuan urban terdidik ramai-ramai meninggalkan kain dan merangkul busana rok. Tak beda dengan wanita Barat modern. Lalu Orde Lama jatuh, disusul oleh Orde Baru yang kapitalistis itu. Tubuh wanita dijadikan obyek dagang melalui periklanan. Serta-merta terancamlah kuasa patriarki tradisional atas tubuh wanita, termasuk atas representasi kultural tubuh itu. Apakah bermuara pada kebebasan ala Barat? Untuk perempuan elite sekuler, ya! Tetapi untuk kebanyakan wanita justru tidak. Dikelabui struktur dalam patriarki, mereka mengangkat pendidikan, yang baru saja mereka mulai nikmati itu–kado Orde Baru—untuk melakukan tafsir perlawanan bernada agamis.
Periode kunci adalah tahun 1990-an, ketika selera konsumtif mulai merajalela, dan menimbulkan reaksi kultural. Tubuh perempuan, melalui ragam busana pilihannya, menjadi ajang ”perang budaya”. Pada waktu itu perempuan-perempuan, yang kini semua bersekolah, ramai-ramai meninggalkan kain. Pada awalnya diganti dengan celana yang ketat nan seksi. Maka, dipandang dari ”belakang”, Baratisasi kelihatan unggul. Namun, dilihat dari depan, dari mukanya, lain halnya: kian banyak mulai juga berjilbab, entah karena ingin soleh, ingin modis, atau didesak oleh pria yang takut kehilangan kuasa. Wacana aurat ramai di media tahun 2000-an, fenomena sudah membeludak. Hingga kini sebagian terbesar kaum perempuan Islam Indonesia berjilbab. Maka, terdengar sana-sini bahwa telah terjadi ”Arabisasi” kepala?
Lucu dinyatakan, memang, tetapi kenyataan lebih rumit. Sejarah, berikut tumpangan kapitalistisnya, selalu mengandung surprise. Apalagi, berjilbab atau tidak, kian banyak perempuan menuntut kuasa atas tubuh, otak, dan tentu saja rambutnya. Termasuk cucu saya yang berpegang teguh pada jilbabnya, apa pun nasihat dari kakeknya yang bagaimanapun juga, bernada patriarkis itu. Astagfirullah.