Sejak pandemi beberapa teman saya di Jakarta pindah ke Bali. Di antara mereka ada yang tanya apakah saya dan istri tidak berminat ikut pindah. Hampir 20 tahun terakhir kami tinggal di desa di Ciawi, Bogor. Dalam pandangan mereka Bali cocok bagi mereka yang kegiatannya fleksibel, dekat dengan dunia seni.
Ah, jadi ingat Renon, tak ketinggalan Lila Bhuana kala itu. Saya paham godaan untuk tinggal di Bali. Sama pahamnya atas mimpi sebagian orang untuk tinggal di New York, San Francisco, Amsterdam, Bangkok, dan seterusnya. Kota-kota yang saya sebut di atas cocok untuk pekerja kreatif.
Imperatif bagi perkembangan kreativitas dan inovasi adalah kebebasan. Bali niscaya sedikit dari wilayah di Indonesia yang lumayan terbuka, terbiasa dengan turis dan pendatang. Setidaknya di Bali orang berpakaian aneh tidak dipelototi seperti di beberapa daerah lain, atau lebih sial, perempuan berbusana minim dianggap sah untuk dilecehkan.
Mengenai kebebasan yang dimungkinkan oleh luasnya toleransi, Richard Florida dalam buku Who’s Your City? (Basic Books, 2008) menceritakan pengalaman ketika diundang oleh Stephen Colbert untuk tampil di program televisi terkenal di Amerika, The Colbert Report. Waktu itu, tahun 2007, ia diundang atas penelitiannya mengenai kota-kota kreatif dengan menggunakan apa yang disebut Bohemian-Gay Index.
Stephen Colbert membuka acara dengan berucap kurang lebih begini: kita punya kabar baik dan kabar buruk pekan belakangan. Kabar buruknya, menurut kalangan asosiasi pengembang (perumahan), kemerosotan penjualan dan harga rumah akan terus berlanjut tahun-tahun mendatang.
Akan tetapi sebuah studi baru telah menemukan solusi bagi anjloknya harga rumah: tinggallah di dekat kalangan gay. Studi menemukan bahwa populasi kalangan artistik, bohemian, dan gay mampu meningkatkan nilai lingkungan dan komunitas yang mereka tinggali.
Menurut teori ini, lingkungan yang toleran adalah tanah subur bagi kreativitas yang akan membawa pada inovasi-inovasi seperti Google, YouTube, dan lain-lain.
Colbert berpaling pada Florida, mengenalkan pada pemirsa, sembari bertanya: apakah saya harus mengikuti para gay untuk menentukan tempat tinggal?
Florida menggunakan satire Colbert tadi dalam bukunya, mengawali uraian mengenai kota-kota masa depan, kota yang tidak lagi menumpukan diri pada eksploatasi sumber daya alam, melainkan kreativitas dan inovasi.
Hampir semua peneliti kota modern berpandangan serupa, seperti Charles Landry dalam The Creative City (Earthscan, 2000). Dia menyebut sumber daya kebudayaan adalah material utama, bukan batu bara, biji besi, atau emas.
Sistem kepercayaan kota modern umumnya tidak terlalu kaku (rigid), terbuka terhadap berbagai ekspresi spiritual.
Spiritualitas kadang bertransformasi pada kesenian. Oleh karenanya kota-kota modern selalu ditandai dengan gedung-gedung kesenian, galeri, museum, dan semacamnya. Pada era sebelum ini, symphony, opera, ballet.
Memang dengan perkembangan teknologi informasi dan tentu saja transportasi, tampaknya tinggal di mana saja sama saja. Betapa pun dalam penelitiannya Florida menunjukkan adanya clustering force (kekuatan pengklasteran).
Daya pertumbuhan banyak ditentukan oleh terklaster dan terkonsentrasinya orang-orang berbakat dan produktif di satu tempat. Gagasan-gagasan baru dan produktivitas muncul ketika individu-individu kreatif tinggal berdekatan.
Setiap kota memiliki kepribadian. Contoh gampangnya, di Amerika kalau mau jadi seniman tinggallah di New York, mau jadi bintang film di Los Angeles, mau jadi pioneer teknologi di Silicon Valley, mau jadi pegawai negeri di Washington DC.
Sebegitu menentukannya kepribadian kota bagi individu yang tinggal di dalamnya, maka Florida memberi judul bukunya Who’s Your City? bukan What’s Your City? Menemukan kota yang tepat ibarat menemukan jodoh. Ia akan mempengaruhi berbagai facet hidup kita.
“Atau kamu hendak pindah ke ibu kota baru? Bertetangga dengan birokrat, pegawai negeri, pejabat?” tanya teman tadi menanggapi keengganan saya menyusul dia pindah ke Bali. “Dari ibu kota baru ke Amerika cuma dua jam,” tambahnya.
Saya tertawa membayangkan orang berhalusinasi.
Biarlah saya tinggal di Ciawi saja. Lebih membumi, meski belakangan macetnya setengah mati.
Tempat kami dikelilingi Gunung Salak, Gede, Pangrango.
Pada tembok rumah sederhana saya mencoret mengutip sajak Rendra: Tiga gunung memeluk rembulan.***