Lemahnya dunia Arab saat ini membuka peluang negara tetangga mereka, seperti Israel, Ethiopia, Iran, dan Turki, mengintervensi dan mengganggu kepentingan dunia Arab. Negara-negara Arab utama harus bergandengan tangan.
Oleh
MUSTHAFA ABD RAHMAN, DARI KAIRO, MESIR
·6 menit baca
Pengamat politik Mesir, Abdel Moneim Said, menulis artikel dengan judul “Dunia Arab di Persimpangan Jalan” pada harian Asharq al-Awsat edisi hari Rabu (2/2/2022) lalu. Ia menyebut posisi bangsa Arab saat ini seperti posisi panglima perang dari Dinasti Umawi, Tareq ibn Ziyad, dan bala tentaranya saat mau menaklukkan Andalusia (sekarang: Spanyol) pada 711–718 M.
Ketika Ibn Ziyad dan bala tentaranya berhasil mendarat di Gibraltar, Spanyol, setelah menyeberang Laut Tengah dari Afrika Utara, ia langsung memberi perintah kepada bala tentaranya untuk membakar semua perahu yang mereka naiki ke Gibraltar. Setelah itu, Ibn Ziyad di depan bala tenteranya menegaskan, mereka sekarang berada d ipersimpangan jalan, yakni di belakang adalah lautan, sementara di depan adalah musuh.
Ibn Ziyad melanjutkan, kini tidak ada tempat pelarian bagi. Kalau lari ke belakang, demikian kata Ibn Ziyad, "Kita mati konyol karena akan ditelan lautan". Tidak ada pilihan, lanjut Ibn Ziyad, terus maju menghadapi musuh.
Ia saat itu menegaskan, tidak ada yang menolong mereka, kecuali diri mereka sendiri. Akhir kisah, Ibn Ziyad dan bala tentaranya terus bergerak maju dan akhirnya mampu menakukkan Andalusia. Kemenangan Ibn Ziyad dan bala tentaranya itu menandai mulai berkuasanya Arab Muslim di tanah Andalusia selama hampir 7 abad.
Sejarah seperti berulang lagi. Bangsa Arab kini juga, seperti yang dikatakan Ibn Ziyad lebih dari 13 abad silam, yakni berada di persimpangan jalan. Bangsa Arab kini dalam posisi bertahan atau sedang menghadapi ancaman dari luar. Karena itu, bangsa Arab dalam posisi sangat sulit. Tidak ada yang bisa menolong, kecuali diri mereka sendiri.
Bangsa Arab sudah tidak bisa menaruh harapan lagi terhadap bantuan Amerika Serikat (AS). AS lebih sibuk menghadapi pertarungan dengan China di tingkat global dan mencari solusi atas isu Ukraina untuk mencegah kemungkinan invasi Rusia ke Ukraina yang bisa menyulut perang di Eropa.
Isyarat AS untuk mulai tidak memberi prioritas atas wilayah Timur Tengah ditunjukkan melalui keputusannya mundur dari Afghanistan pada Agustus tahun lalu. Selain itu, isyarat tersebut juga diperlihatkan lewat keengganannya melakukan intervensi langsung untuk mendorong kembalinya perundingan damai Palestina-Israel. Karena itu, bangsa Arab harus mampu menyelesaikan semua persoalannya sendiri yang sekarang mengantarkan posisi bangsa Arab di persimpangan jalan.
Posisi Mesir dan Sudan, misalnya, kini dalam keadaan sangat sulit akibat buntunya perundingan isu bendungan raksasa di Ethiopia, yang dinamakan Grand Ethiopian Renaissance Dam (GERD) dengan biaya sekitar 5 miliar dollar AS. Bagi Mesir dan Sudan, pembangunan GERD tidak kalah bahayanya dari ancaman serangan militer karena GERD bisa mengurangi jatah air untuk Mesir dan Sudan dari Sungai Nil.
Menurut kesepakatan tahun 1959, Mesir memiliki jatah 55 miliar meter kubik air Sungai Nil per tahun. Adapun Sudan memperoleh jatah 18 miliar meter kubik air per tahun. Lebih dari 85 persen kebutuhan air di Mesir, baik untuk tenaga pembangkit listrik, irigasi, maupun air minum, berasal dari Sungai Nil. Isu GERD menyulut hubungan tegang Ethiopia dengan Mesir dan Sudan dalam beberapa tahun terakhir ini.
Dalam isu Palestina, pihak Palestina dan bangsa Arab juga dalam posisi sulit. Ini karena Israel cenderung semakin kuat menolak untuk memulai perundingan damai dengan Palestina dalam upaya mencari solusi dengan prinsip solusi dua negara. Harian Asharq al-Awsat edisi 17 Januari 2022 melansir, Mesir dan Jordania berkoordinasi dengan Otoritas Palestina serta sedang berusaha bergerak membujuk AS agar melakukan intervensi untuk menggerakkan lagi perundingan damai Palestina-Israel dengan prinsip solusi dua negara.
Seperti diketahui, perundingan damai Palestina-Israel macet total sejak tahun 2014. Palestina saat itu membekukan perundingan dengan Israel sebagai protes atas gencarnya pembangunan permukiman Yahudi di Jerusalem Timur dan Tepi Barat yang mengancam wacana solusi dua negara. Palestina kini merasakan, peluang solusi damai pada era pemerintah PM Israel, Naftali Bennett, lebih suram dibanding pada era PM Benjamin Netanyahu.
Bennett selalu berkelit dari upaya memulai lagi perundingan damai dengan Palestina. Sementara di sisi lain, ekspansi pembangunan permukiman Yahudi di Tepi Barat terus berlanjut. Dalam waktu yang sama, pemerintah Presiden AS Joe Biden juga kurang bersemangat mendorong dimulainya lagi perundingan Palestina-Israel. Ini yang membuat posisi Palestina semakin sulit.
Di tengah muramnya masa depan isu Palestina dan isu ketersediaan air dari Sungai Nil untuk Mesir dan Sudan, serangan rudal balistik dari kelompok loyalis Iran ke tempat-tempat strategis di kawasan Arab Teluk cenderung semakin gencar. Kota Abu Dhabi, ibu kota Uni Emirat Arab (UEA), telah tiga kali mendapat serangan rudal balistik selama bulan Januari lalu dari kelompok Houthi di Yaman yang dikenal loyalis Iran.
Kementerian Pertahanan UEA mengklaim telah berhasil mencegat serangan rudal balistik yang ditembakkan kelompok Houthi ke arah kota Abu Dhabi pada hari Senin (31/1/2022). Sebelumnya, kantor berita UEA (WAM) pada 24 Januari lalu melansir bahwa UEA telah berhasil mencegat dua rudal balistik yang diluncurkan kelompok Houthi ke kota Abu Dhabi.
Pada 17 Januari lalu, UEA juga mengakui bahwa kota Abu Dhabi mendapat serangan rudal balistik dan pesawat tanpa awak (drone) yang membawa korban tiga tewas dan enam luka-luka.
Di saat kota Abu Dhabi mendapat serangan rudal balistik secara beruntun, Bandara Internasional Baghdad juga mendapat serangan enam rudal pada 28 Januari lalu. Diduga kuat, serangan rudal atas Bandara Internasional Baghdad dilakukan oleh milisi loyalis Iran di Irak terkait hasil pemilu parlemen Irak pada 10 Oktober tahun lalu yang membawa kekalahan telak partai politik loyalis Iran.
Partai Fatah loyalis Iran hanya meraih 17 kursi dari 329 kursi parlemen. Sampai saat ini, Irak masih belum mampu membentuk pemerintahan baru akibat tarik-menarik kepentingan antara partai-partai politik loyalis Iran dan partai-partai politik nasionalis.
Situasi Lebanon juga tidak kalah runyamnya. Mantan PM Lebanon Saad Hariri pada 24 Januari lalu secara mengejutkan mengumumkan pembekuan aktivitas politik dirinya dan tidak akan mencalonkan sebagai anggota parlemen pada pemilu Lebanon mendatang. Hariri berdalih, keputusan mundur dari karier politik tersebut sebagai protes atas hegemoni Iran di Lebanon saat ini. Ia mengatakan bahwa tidak ada ruang untuk peluang positif apa pun di Lebanon saat ini akibat kuatnya pengaruh Iran, perpecahan nasional, maraknya sektarian, dan kebingungan dunia internasional.
Selain itu, masih terus berlarut-larut pula krisis politik di Sudan, Tunisia dan Libya, serta perang saudara di Suriah dan Yaman. Turki pun masih menduduki wilayah Suriah utara dan menempatkan sejumlah pasukannya di kota Tripoli, Libya.
Lemahnya dunia Arab saat ini membuka peluang negara tetangga dunia Arab, seperti Israel, Ethiopia, Iran, dan Turki, melakukan intervensi dan mengganggu kepentingan dunia Arab. Posisi dunia Arab melemah akibat ambruknya pilar-pilar strategis kawasan itu menyusul meletupnya Musim Semi Arab tahun 2011 yang efeknya terus berlanjut sampai saat ini.
Kini bagi dunia Arab tidak pilihan lagi kecuali harus bisa segera keluar dari lubang krisis politik dan perang saudara. Negara-negara Arab utama yang relatif bebas dari krisis politik, seperti Arab Saudi, Qatar, UEA, Kuwait, Oman, dan Jordania, harus bergandeng tangan untuk membangun solidaritas Arab guna membantu saudara mereka di negara-negara Arab lain agar segera bebas dari krisis politik dan pengaruh asing.
KTT Liga Arab di Aljazair pada bulan Maret nanti bisa dijadikan forum untuk membangun kembali solidaritas Arab dalam upaya mewujudkan keseimbangan hubungan dengan kekuatan regional lainnya, seperti Turki, Israel dan Iran.