Libur Lebaran telah berlalu. Tradisi mudik Lebaran dengan ”bumbu” kemacetan di sana-sini tinggal cerita. Bertambahnya jalan (tol) yang dibangun ternyata bukan menjadi solusi karena selalu diikuti dengan banyaknya mobil yang diproduksi. Apalagi, arus mudik Lebaran yang terlalu deras meski dapat diprediksi dan disusun strategi tidak juga dapat memecahkan permasalahan kemacetan. Mengatur arus mudik dengan jumlah frekuensi kendaraan yang mengalir bersamaan bukanlah perkara mudah.
Mobil merupakan transformasi dari kereta kuda, dahulu dikenal sebagai ”kereta setan”. Para bumiputra yang sebelumnya mengenal dan menggunakan kereta yang ditarik kuda tercengang melihat kereta tanpa kuda dapat berjalan sendiri. Maka, mereka menyebutnya kereta setan. Namun, dalam istilah otomotif, peran kuda tidak dapat dilupakan. Dalam berbagai bahasa asing, kita mengenal istilah HP (horse power), PS (pferdestarke), PK (paardenkracht). Semuanya memiliki makna yang sama dengan DK (daya kuda) dan dipakai untuk mengukur kekuatan kereta setan melaju. Bahkan, ada istilah CP (camel power), yang ditujukan untuk kendaraan yang melaju di padang pasir atau gurun.
Melihat rekaman visual berbagai kereta setan alias mobil pada masa Hindia Belanda merupakan hal menarik. Terutama mengetahui rupa para nenek moyang berbagai merek mobil dalam bidikan kamera yang beberapa di antaranya hingga kini masih melaju di aspal jalanan Indonesia. Selain itu, juga merupakan hal menarik melihat rekaman visual siapa saja yang bergaya dengan kereta setan di Hindia Belanda. Bergaya di sini tidak selalu dengan sengaja berpose. Namun, ada juga foto yang diambil secara candid atau dalam situasi yang sebenarnya tidak cocok untuk bergaya.
