Tak ada yang baru di bawah langit. Kalimat ini terasa akrab bagi para juru foto, terutama yang sehari-hari harus mendapatkan foto untuk dipublikasikan di media cetak ataupun platform daring. Makna kalimat ’tak ada yang baru di bawah langit'’bisa jadi semacam penawar risau, bahwa tidak perlu khawatir foto-foto berita yang dihasilkan bakal sama atau berulang, baik secara visual maupun cerita. Toh, tidak ada yang benar-benar baru di muka Bumi.
Namun, di sisi lain, kalimat tersebut terasa sebagai sebuah cambuk berduri yang siap membangunkan juru foto untuk terus berpikir bagaimana caranya mendapatkan gagasan baru bagi peristiwa rutin agar foto-foto tak terkesan membosankan.
Kejadian rutin dan besar yang kerap menjadi tantangan juru foto di antaranya adalah peringatan hari besar, seperti hari raya Natal ataupun Idul Fitri, termasuk di dalamnnya fenomena arus mudik. Sementara media sosial yang menjadi corong tercepat dan terluas bagi foto-foto kejadian rutin makin terasa membosankan. Lini masa dipenuhi foto-foto yang berulang, dengan sudut pengambilan dan cerita yang sama dengan tahun-tahun sebelumnya. Belum lagi, jika juru foto hanya bergantung kepada ’cerita baru’ yang mungkin datang, mungkin juga tidak.