Dalam dunia fotografi di Indonesia dikenal istilah ”hunting foto” sebagai istilah umum yang mengacu pada kegiatan memotret obyek tertentu baik secara individu maupun kolektif. Obyek yang difoto dapat berupa manusia, satwa, bangunan, dan pemandangan. Ada pula yang melakukan ”hunting foto” untuk fotografi makro, seperti flora, fauna, dan mainan. Di luar Indonesia, yang justru lebih dikenal adalah hunting photographer. Fotografer yang berfokus pada obyek satwa liar (fotografi satwa liar) dan karya-karyanya dimuat dalam majalah seperti National Geographic.
Dalam hal ini kita dapat melihat persamaan antara juru foto dengan pemburu. Keduanya sama-sama melakukan hunting (perburuan). Pemburu berburu satwa, sedangkan juru foto ‘berburu’ berbagai obyek menarik. Sepertinya ada unsur ‘penaklukan’ dalam dua kegiatan tersebut. Jika kedua kegiatan ini dipersatukan, maka hasilnya adalah kenangan abadi.
Seiring masuknya teknologi kamera ke Hindia-Belanda pada abad ke-19, satwa liar yang menjadi hewan buruan tidak lepas dari tangkapan lensa kamera. Kegiatan para pemburu diabadikan oleh lensa kamera para fotografer yang menghasilkan foto-foto menarik. Apalagi jika yang diabadikan adalah satwa-satwa liar yang merupakan hewan-hewan ‘eksotis’ Indonesia, seperti harimau, gajah, banteng, buaya, dan badak. Sebenarnya, obyek yang ‘ditangkap’ dalam foto bukan satwa liar melainkan sang ‘pemburu’. Dari berbagai foto yang dihasilkan terlihat satwa liar tersebut ada yang dalam kondisi hidup dan kebanyakan dalam kondisi mati.