Pendamping pasien demensia kehilangan 143,1 jam dalam sebulan untuk merawat pasien. Anggota keluarga berusia produktif yang mengasuh anak dan orangtua sekaligus rentan mengalami tekanan fisik dan mental.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Demensia tidak hanya berdampak pada turunnya kualitas hidup pasien, tetapi juga berdampak secara ekonomi dan sosial bagi keluarga atau orang yang merawat pasien. Pengasuh pasien diperkirakan kehilangan 143,1 jam per bulan untuk merawat pasien. Angka itu setara 4,7 jam sehari.
Data tersebut diperoleh dari hasil riset Strengthening Responses to Dementia in Developing Countries (STRiDE), sebuah inisiatif penelitian multinasional. Data itu tercantum di studi Elderly Report yang dikerjakan Alzheimer Indonesia (Alzi), yang tergabung dengan STRiDE, bersama SurveyMETER dalam rangka Hari Lanjut Usia Nasional 2022.
Guru Besar Kesehatan Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya Yuda Turana mengatakan, waktu yang hilang tersebut digunakan untuk menemani orang dengan demensia (ODD) melakukan kegiatan sehari-hari, seperti makan dan mandi. Waktu juga digunakan memantau ODD, misalnya, saat berjalan-jalan agar tidak tersesat.
”Begitu banyak waktu yang hilang, khususnya jika pengasuh adalah orang berusia produktif yang masih harus bekerja. Kondisi ini akan berdampak ke ekonomi dan hal lain,” kata Yuda pada konferensi pers daring, Jumat (27/5/2022). ”Ini dampak yang bisa dihitung. Yang tidak bisa dihitung lebih banyak lagi,” ujarnya menambahkan.
Berdasarkan survei Alzheimer Indonesia (Alzi), hampir 40 persen pengasuh menghabiskan Rp 1-3 juta per bulan untuk merawat anggota keluarga dengan demensia. Adapun 15 persen pengasuh lain menghabiskan Rp 5-10 juta per bulan untuk perawatan.
Itu berarti pengeluaran pengasuh untuk merawat ODD sekitar Rp 12-120 juta per tahun. Padahal, pendapatan per kapita penduduk Indonesia pada 2019 adalah Rp 59 juta per tahun. Adapun pendapatan per kapita pada 2020 adalah Rp 57,3 per tahun, sementara pada 2021 Rp 62,2 juta per tahun.
Begitu banyak waktu yang hilang, khususnya jika pengasuh adalah orang berusia produktif yang masih harus bekerja. Kondisi ini akan berdampak ke ekonomi dan hal lain.
Di sisi lain, sebagian pengasuh berusia produktif mesti mengasuh anak dan orangtua sekaligus. Beban mereka—yang disebut generasi sandwich—menjadi lebih berat jika orangtua mengalami demensia. Beberapa dari mereka pun meninggalkan pekerjaan demi merawat keluarga.
Sebagai disabilitas tak terlihat, demensia tidak hanya berpengaruh pada turunnya kualitas hidup ODD. Demensia juga berdampak ke produktivitas hingga kehidupan sosial pengasuh. Kondisi ini dapat mempengaruhi capaian bonus demografi di masa depan.
Demensia merupakan gangguan kognitif yang ditandai dengan penurunan daya ingat, penurunan kemampuan komunikasi, hingga perubahan perilaku. Alzheimer merupakan salah satu jenis demensia yang banyak ditemui. Kondisi ini dapat terjadi pada siapa saja, tetapi umumnya dialami warga lansia.
Prevalensi tinggi
Menurut Yuda, belum ada data nasional yang merekam jumlah kasus demensia. Namun, berdasarkan sejumlah penelitian yang dilakukan di Indonesia, prevalensi demensia mencapai 20-23 persen. Angka tersebut lebih tinggi dari angka rata-rata global, yakni 10 persen.
”Demensia menjadi isu lintas generasi, provinsi, bahkan negara. Ini bukan isu kelompok spesifik saja karena berdampak ke kesehatan, ekonomi, dan sosial,” ucap Yuda.
Generasi muda pun perlu memperhatikan isu ini. Sebab, mereka akan menua dan berpotensi mengalami demensia. Pencegahan demensia pun bisa dilakukan sejak dini, yaitu dengan menjaga pola hidup sehat, baik secara fisik maupun mental.
Faktor risiko demensia dapat dicegah sejak usia muda, seperti merokok, obesitas, diabetes, hipertensi, dan jarang beraktivitas fisik. Faktor risiko lain adalah kesepian, isolasi sosial, dan cedera kepala.
Menurut Direktur Eksekutif Alzheimer Indonesia (Alzi) Michael Dirk R Maitimoe, pihaknya menggandeng kaum muda agar peduli terhadap warga lansia. Alzi juga membuat gerakan dan sejumlah aktivitas agar kelompok lansia tetap aktif dan produktif. Ia juga mendorong kaum muda menciptakan hubungan bermakna dengan kaum lansia dimulai dari keluarga masing-masing.
Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo mengatakan, kedekatan isu generasi lansia dengan generasi muda bisa dibangun melalui sejumlah narasi. Pendidikan budi pekerti pun dinilai dapat mendorong kaum muda peduli terhadap warga lansia.
Sementara itu, menurut Ketua Dewan Pembina Alzi Eva Sabdono, masih ada warga lansia yang hidup di rumah tidak layak huni, tidak punya akses ke air bersih atau sanitasi, tidak punya akses terhadap layanan kesehatan, dana pensiun, dan jaminan sosial. ”Kesejahteraan mereka adalah tanggung jawab kita semua, baik masyarakat, pemda, pemerintah pusat, maupun keluarga,” tuturnya.