Lakukan Penanganan Pertama pada Anak Bergejala Hepatitis Akut
Orangtua perlu melakukan penanganan pertama pada anak yang mengalami gejala hepatitis akut misterius seperti demam atau diare. Upaya yang dilakukan bisa dengan memberikan obat dan cairan agar anak tidak terdehidrasi.
Oleh
PRADIPTA PANDU MUSTIKA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penyakit hepatitis akut yang tengah melanda banyak negara membuat semua orangtua harus bisa melakukan langkah atau penanganan pertama pada anak yang bergejala. Selain membawa ke fasilitas pelayanan kesehatan terdekat, orangtua bisa memberikan penanganan dengan memberikan obat-obatan darurat dan cairan.
Ketua Unit Kerja Koordinasi (UKK) Gastro-Hepatologi Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Muzal Kadim mengemukakan, hepatitis akut misterius (unknown aetiology) pada umumnya lebih rentan menyerang anak-anak, terutama di bawah usia enam tahun karena sistem imum mereka belum sempurna. Namun, tidak menutup kemungkinan hepatitis akut juga menyerang orang dengan sistem imun yang lebih kuat karena virus menyerang sel hati.
”Tidak ada jaminan anak-anak yang sudah mendapat vaksin hepatitis bisa terbebas dari penyakit ini. Vaksin yang diberikan kepada anak-anak sejak bayi sesuai jadwal itu baru untuk hepatitis A dan B,” ujarnya dalam diskusi media secara daring, Sabtu (7/5/2021).
IDAI belum membuat keputusan untuk merekomendasikan penundaan pembelajaran tatap muka.
Muzal menjelaskan, sebagian besar kasus hepatitis akut memiliki gejala di saluran cerna mulai dari muntah, diare, sakit perut, demam, danikterus atau sakit kuning (warna kuning pada sklera mata dan kulit). Pada kasus bergejala berat bahkan bisa menyebabkan penurunan kesadaran dan kejang karena adanya kerusakan sel-sel hati.
Ketika anak mengalami gejala tersebut, Muzal meminta orangtua dapat segera melakukan penanganan pertama dengan memberikan obat muntah, diare, atau penurun demam. Bila intensitas muntah cukup sering, perlu juga memberikan cairan atau minuman seperti air putih agar anak tidak terdehidrasi.
”Dalam kondisi muntah atau diare, anak tetap harus diberikan minuman atau cairan. Kalau setelah mendapat pertolongan pertama gejala tersebut benar-benar sudah menghilang, kemungkinan besar anak tersebut hanya diare atau demam biasa. Namun, kalau masih berlanjut sebaiknya harus segera dibawa ke fasilitas kesehatan terdekat,” katanya.
Menurut Muzal, sebagian besar kasus hepatitis akut ini menyerang saluran cerna yang ditularkan oleh virus lewat mulut, tangan, maupun peralatan makan yang terkontaminasi. Para ahli juga menduga hepatitis akut bisa ditularkan lewat percikan pernapasan (droplet).
Guna mencegah penularan ini, setiap orangtua perlu menerapkan pola hidup sehat kepada anaknya seperti cuci tangan, menjaga kebersihan makanan, dan sanitasi. Orangtua juga diharapkan menjauhkan anak-anaknya atau menghindari kontak langsung dengan orang yang sedang terkena penyakit diare, sakit perut, dan muntah.
”Protokol kesehatan yang selama ini sudah dijalankan seperti menggunakan masker juga tetap harus dilakukan. Selain mencegah penularan Covid-19, hal ini juga bisa mengurangi risiko penularan hepatitis akut lewat droplet meski masih bersifat dugaan,” tuturnya.
Secara umum, faktor risiko terbesar penderita hepatitis adalah kondisi imunitas yang lemah seperti anak dengan gizi buruk atau sedang menjalani pengobatan tertentu. Namun, beberapa kasus hepatitis akut terdeteksi tidak memiliki faktor risiko tersebut. Oleh karena itu, penyebab hingga faktor risiko hepatitis akut masih terus diinvesitigasi oleh para ahli.
Muzal memastikan bahwa dari investigasi yang dilakukan sampai saat ini, penyebab hepatitis akut tidak dikaitkan dengan vaksin Covid-19. Sebab, kasus yang muncul mayoritas merupakan anak-anak di bawah usia 6 tahun yang belum menerima vaksin Covid-19.
Rekomendasi IDAI
Muzal mengatakan, pemerintah sudah melibatkan IDAI dalam penanganan kasus hepatitis akut sejak penyakit ini ditetapkan sebagai kejadian luar biasa oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada April lalu. Rekomendasi dari IDAI di antaranya terkait dengan penapisan awal dan tata laksana di fasilitas pelayanan kesehatan.
”Sebagai tanda awal, pada kasus hepatitis akut terjadi peningkatan enzim transaminase. Apabila ada peningkatan enzim, barulah dilakukan penapisan untuk mengetahui jenis hepatitis yang diderita. Saat ini sudah dibuat prosedur tetap dan telah dibagikan ke dokter anak seluruh Indonesia sebagai persiapan apabila mendapat kasus serupa,” ucapnya.
Terkait dengan upaya pencegahan di sekolah, Muzal mengakui bahwa IDAI belum membuat keputusan untuk merekomendasikan penundaan pembelajaran tatap muka. IDAI masih menunggu hasil investigasi dan perkembangan lebih lanjut soal status maupun kasus hepatitis akut yang telah terkonfirmasi di Indonesia.
Sebelumnya WHO menerbitkan peringatan mengenai hepatitis akut yang tidak diketahui asalnya ini pada 23 April 2022. Tercatat sejak 5 April hingga 3 Mei 2022, telah terdapat 200 kasus hepatitis akut yang dilaporkan dari 20 negara, termasuk Indonesia. Bahkan, tiga anak di Jakarta dilaporkan meninggal karena diduga terjangkit penyakit ini.
Sekretaris Direktorat Jenderal Kesehatan Masyarakat Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Siti Nadia Tarmizi menyatakan bahwa hasil investigasi sementara menunjukkan bahwa tiga pasien yang meninggal di Jakarta tidak ditemukan riwayat penyakit bawaan hepatitis dari keluarga. Kemenkes juga belum menggolongkan kejadian ini sebagai kasus hepatitis akut berat karena masih dilakukan investigasi dan pemeriksaan laboratorium.
”Selain surat kewaspadaan yang kami kirimkan ke dinas kesehatan provinsi dan kabupaten/kota, semua kasus terkait dengan sindrom kuning bisa dilaporkan. Akan tetapi, kembali lagi kasus ini belum dikonfirmasi sebagai hepatitis akut karena masih ada pemeriksaan untuk mengetahui secara pasti bahwa dia bukan hepatitis A dan E,” katanya.