Hepatitis Misterius Sudah Dilaporkan di Jepang dan Kanada
Penyakit hepatitis misterius yang menginfeksi anak-anak juga telah dilaporkan di Jepang dan Kanada. Ini berarti wabah sudah ditemukan di 14 negara.

Petugas keamanan mengenakan masker pelindung saat bertugas di salah satu sudut Tokyo, Jepang, Senin (31/1/2022). Penyakit hepatitis misterius pada anak kini juga dilaporkan terjadi di Jepang.
JAKARTA, KOMPAS
—
Penyakit hepatitis misterius yang menginfeksi anak-anak di belasan negara Eropa dan Amerika Serikat telah dilaporkan di Jepang dan Kanada. Penyakit ini dikhawatirkan telah menyebar lebih luas, tetapi terjadi keterlambatan penemuan kasus karena masalah deteksi.
Kementerian Kesehatan Jepang, sebagaimana dilaporkan NHK, Selasa (26/4/2022), mengumumkan, seorang anak telah dirawat di rumah sakit dengan jenis hepatitis akut yang tidak teridentifikasi. Disebutkan bahwa gejala pasien mirip dengan yang baru-baru ini ditunjukkan oleh anak-anak di negara lain, sebagaimana dilaporkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Kasus pertama di Jepang ini dilaporkan sebagai anak berusia di bawah 16 tahun dan tengah dirawat di rumah sakit. Pasien telah dites negatif untuk virus korona dan adenovirus.
Sementara itu, Badan Kesehatan Masyarakat Kanada (The Public Health Agency of Canada) dalam pernyataan menyebutkan tengah menyelidiki hepatitis akut parah yang tidak diketahui asalnya pada anak-anak. Namun, belum diungkapkan jumlah kasus atau lokasinya.
Baca juga: Ancaman Hepatitis Misterius yang Menyerang Anak-anak
Sejauh ini di seluruh dunia, 190 kasus misteri hepatitis akut pada anak telah dilaporkan, dengan 140 di antaranya di 10 negara Eropa, sebagian besar di Inggris (110 kasus). Kasus lanjut juga telah ditemukan di Israel dan Amerika Serikat. Tujuh belas anak menjadi sangat sakit sehingga mereka membutuhkan transplantasi hati.
Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Amerika Serikat mengatakan dalam peringatan kesehatan nasional pekan lalu bahwa kasus AS pertama diidentifikasi pada Oktober 2021 di Alabama. Kasus Inggris pertama tercatat pada Januari 2022.
Dengan laporan kasus di Jepang dan Kanada, wabah hepatitis yang menyerang anak-anak ini telah ditemukan di 14 negara. Pada Sabtu (23/4/2022), WHO mengatakan setidaknya satu kematian telah dilaporkan sehubungan dengan wabah tersebut, tetapi tidak dijelaskan di negara mana korban jiwa ini. WHO menyebutkan kasus-kasus itu dilaporkan pada anak-anak berusia 1 bulan hingga 16 tahun.
Dengan tidak adanya bukti hubungan kasus dengan pelaku perjalanan, dikhawatirkan wabah ini sebenarnya sudah menyebar luas, tetapi belum bisa dideteksi karena persoalan kapasitas surveilans.
Hepatitis biasanya disebabkan oleh salah satu dari lima jenis virus hepatitis menular, yaitu A, B, C, D, dan E. Namun, virus hepatitis ini belum ditemukan pada anak-anak yang terkena. Penyakit kuning, diare, dan sakit perut adalah beberapa gejala yang dilaporkan.
Satu teori yang sedang diselidiki oleh Badan Keamanan Kesehatan Inggris yaitu bahwa kurangnya paparan adenovirus umum, yang biasanya menyebabkan sakit perut dan pilek—selama pandemi virus korona telah menyebabkan penyakit yang lebih parah di antara anak-anak. Dari 53 kasus yang diuji di Inggris, 40 di antaranya (75 persen) menunjukkan tanda-tanda infeksi adenovirus.

Direktur Kesehatan Masyarakat Skotlandia Jim McMenamin mengatakan kepada Reuters bahwa penelitian sedang dilakukan untuk memahami apakah adenovirus telah bermutasi menyebabkan penyakit yang lebih parah atau apakah itu dapat menyebabkan masalah ”bersamaan” dengan virus lain, termasuk kemungkinan SARS-CoV- 2, virus penyebab Covid-19.
Sementara itu, Direktur di Pusat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Eropa di Stockholm, Andrea Ammon, mengatakan, ”Sejauh ini tidak ada hubungan antara kasus dan tidak ada hubungan dengan perjalanan.”
Epidemiolog Griffith University, Dicky Budiman, mengatakan, sampai saat ini penyebab hepatitis pada anak-anak ini belum diketahui. Beberapa hipotesanya meliputi paparan toksin, obat-obatan, dan lingkungan. Kecurigaan terbesar sejauh ini pada infeksi adenovirus, yang ditemukan di sebagian besar kasus. Sekalipun demikian, ada juga kecurigaan pada koinfeksi SARS-CoV-2, yang juga ditemukan pada sebagian kasus.
”Segala kemungkinan masih terbuka, termasuk risiko varian baru SARS-CoV-2, walaupun ini hipotesa paling terakhir,” katanya.
Dicky juga menekankan pentingnya memperkuat surveilans guna mendeteksi sejak dini kemungkinan munculnya kasus ini di Indonesia. Dengan tidak adanya bukti hubungan kasus dengan pelaku perjalanan, dikhawatirkan wabah ini sebenarnya sudah menyebar luas, tetapi belum bisa dideteksi karena persoalan kapasitas surveilans.