Perempuan cantik kerap diidentikkan berambut lurus, berkulit putih, dan bertubuh langsing. Namun, apakah benar kecantikan diukur dengan hal-hal fisik tersebut?
Oleh
KRISTI POERWANDARI
·4 menit baca
Tuntutan agar kita tampil menarik ditujukan kepada semua, mulai dari perempuan, laki-laki, hingga kelompok profesi dari berbagai kalangan usia. Tetapi, tuntutan pada perempuan untuk memperhatikan penampilan fisik dan tampil menarik sangat kuat. Perempuan diajari berdandan, dan gambaran bahwa perempuan harus menyiapkan diri berjam-jam sebelum keluar rumah, menjadi sesuatu yang diterima begitu saja. Seolah-olah memang demikianlah seharusnya.
Iklan lowongan pekerjaan umumnya akan menyebutkan dengan rinci mengenai deskripsi kerja dan kualifikasi yang perlu dipenuhi oleh pelamar. Cukup sering iklan lowongan pekerjaan secara eksplisit menyebutkan tuntutan itu bagi perempuan yang berminat melamar pekerjaan: harus tampil menarik. Suatu hal yang hampir tidak pernah kita dapati untuk iklan lowongan pekerjaan bagi laki-laki.
Perempuan tidak saja harus menarik, tetapi juga perlu tampil cantik. Dan kriterianya dapat berbeda-beda. Bukan dari sisi wajah saja, melainkan juga dari aspek-aspek fisik lainnya. Misalnya, warna kulit yang oleh masyarakat kita dilekatkan dengan warna kulit putih atau terang.
Demikian pula, yang sering disebut cantik adalah perempuan berambut lurus panjang yang bersih terawat. Bentuk tubuh mungkin ada perbedaan dari waktu ke waktu, tetapi yang umumnya disebut cantik seksi adalah yang langsing, dengan sekaligus berisi dan berlekuk feminin.
Tuntutan diberikan oleh lingkungan terdekat, seperti keluarga ataupun masyarakat. Misalnya, dari ruang konseling saya bertemu perempuan muda yang tidak mencintai dan meragukan dirinya sendiri karena ibunya menganggap dia kurang cantik. Ada pula yang dikomentari ayahnya terlalu gemuk dan disuruh berdiet. Padahal, dalam pemahaman saya, mereka baik-baik saja dan sudah tampil menarik.
Sedemikian rupa sehingga sebagian perempuan tidak mengerti apa yang diinginkan dan penting bagi diri sendiri, apa yang akan membahagiakan hidupnya. Yang diketahui hanya harapan dan tuntutan dari masyarakat, yang diinternalisasi menjadi tuntutan pada diri sendiri.
Simone de Beauvoir menganalisis bahwa selama berabad-abad perempuan didefinisikan oleh masyarakat sebagai ’the Other’ atau ’Yang Lain’, atau ’Liyan’. Definisi itu menggunakan tolok ukur atau perspektif laki-laki, yang dianggap mewakili manusia secara umum.
Apa yang berbeda pada perempuan dibandingkan dengan laki-laki? Yang paling terlihat tentunya fisiknya. Perempuan memiliki rahim, dapat hamil dan melahirkan, dan menampilkan karakteristik fisik seksual yang berbeda. Perempuan dan laki-laki sama-sama manusia, tetapi pada perempuan, ia didefinisikan pertama-tama bukan sebagai manusia, melainkan sebagai jatidiri perempuan dengan tubuh dan seksualitas berbeda.
Saat ini banyak perempuan sudah tidak lagi didefinisikan untuk kepentingan orang lain saja, misalnya dituntut sepenuhnya menjadi istri atau ibu yang tinggal di rumah mengurus keluarga. Banyak kalangan juga menuntut perempuan untuk berprestasi, mandiri, bekerja profesional. Tetapi, sering tetap dengan ’embel-embel’ khas perempuan, yakni, ’menjadi pintar tetapi juga cantik’, atau ’profesional dan menarik’.
Dalam bukunya yang sangat klasik The Second Sex, de Beauvoir mengatakan bahwa untuk dapat bertahan dan memiliki perasaan positif mengenai diri, perempuan mencoba dengan berbagai cara menyesuaikan diri dengan posisinya yang inferior sebagai Liyan. Satu yang ternyata masih relevan hingga saat ini adalah dengan mengamati dan mengevaluasi diri sendiri. Dengan mengatur tubuh dan mendandani diri sedemikian rupa agar ’cantik’ dan memiliki sesuatu yang dapat dibanggakan.
Salah satu yang cukup menakutkan adalah langkah yang diambil sebagian perempuan untuk menyempurnakan diri melalui otak-atik tubuh dan operasi plastik. Apalagi bila itu dilakukan oleh pihak yang tidak kompeten dan menjalankan praktik liar.
Sempat diberitakan di media daring, mengenai R (34 tahun), perempuan yang pernah menjalani penyuntikan silikon cair di dadanya tahun 2011 dan merasa cukup puas dengan hasilnya. Awal 2022, ia ingin memperbaiki lagi bentuk payudaranya, dan mengontak lagi pihak yang dulu menyuntiknya. Tak lama setelah disuntik, ia mengalami perdarahan dari bekas suntikan, dan keesokan harinya mengembuskan napas terakhir. (https://www.kompasiana.com/irwanrinaldi/ 62173121317949338657b733/ berharap-payudara-kencang-justru-nyawa-melayang).
Selain cerita mengenaskan di atas, syukur, juga ada cerita yang lebih positif. Meski ingar-bingar dan banyak menampilkan gambaran kesempurnaan fisik, Youtube, Instagram, Facebook, dan media sosial lain juga menawarkan gambaran berbeda. Ada cukup banyak yang merepresentasikan kehidupan dan gambaran visual yang dulu dianggap tidak sesuai dengan standar ’cantik’, ’menarik’, atau ’sempurna’.
Telah ada cukup banyak individu dan kelompok yang merasa tidak nyaman dengan standar kecantikan dan tuntutan kesempurnaan fisik perempuan. Mereka mengusulkan rumusan baru mengenai kecantikan. Putih itu cantik, tetapi hitam juga cantik. Tubuh berukuran besar dapat tampil cantik dan sangat menarik. Rambut pendek keriting juga bisa sangat memesona.
Lebih lanjut lagi, disabilitas fisik diakui secara terbuka, diterima secara positif menjadi salah satu saja dari keutuhan diri manusia. Bagaimanapun, tubuh atau ciri fisik itu bersifat sangat sementara, sangat permukaan.
Maka, ’cantik’ dan ’menarik’ kriterianya bukan fisik lagi. Ada yang telah mampu juga melepaskan diri dari kemelekatannya pada tubuh, pada hal-hal yang bersifat material dan sangat sementara, untuk dapat menemukan diri yang terdalam. Untuk dapat menemukan yang paling inti dari kehidupan.