Layanan jaminan kesehatan semakin menjangkau masyarakat Indonesia. Namun, keberhasilan itu belum cukup untuk mencapai tujuan cakupan kesehatan semesta. Peningkatan akses dan kualitas layanan perlu terus diupayakan.
Oleh
Debora Laksmi Indraswari
·6 menit baca
KOMPAS/RADITYA HELABUMI (RAD)
Warga antre dengan tetap menjaga jarak saat mengurus administrasi BPJS Kesehatan di Kantor Cabang BPJS Kesehatan Jakarta Selatan, Jakarta, (23/11/2021). Dalam penyelenggaraan program Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS) BPJS Kesehatan terus mengupayakan kemudahan pelayanan dengan pemanfaatan layanan digital.
Setiap orang berhak atas hidup sehat, di manapun dia tinggal. Negara-negara di seluruh dunia berkewajiban menyediakan pelayanan dan jaminan kesehatan bagi warganya.
Sebagai upaya untuk memenuhi kewajiban tersebut, cakupan kesehatan semesta atau Universal Health Coverage (UHC) diterapkan. UHC menjadi salah satu target Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) yang diharapkan tercapai pada 2030. Tujuannya supaya seluruh masyarakat menerima layanan kesehatan yang mereka butuhkan tanpa menderita kesulitan keuangan. Tentunya layanan yang diberikan ditunjang dengan fasilitas kesehatan yang berkualitas.
Indonesia sendiri turut mengusung UHC dalam sistem kesehatan nasional. Salah satunya diwujudkan dalam Jaminan Kesehatan Nasional yang diamanatkan dalam UU Nomor 40 Tahun 2004. Implementasinya baru dimulai pada 2014. JKN disediakan sebagai jaminan agar masyarakat mudah mendapatkan pelayanan kesehatan, khususnya dengan biaya terjangkau dan mutu berkualitas.
Delapan tahun berlalu, jaminan kesehatan yang disebut JKN-KIS semakin menjangkau masyarakat. Hingga Februari 2022, tercatat sebanyak 236,8 juta penduduk atau 86 persen dari populasi Indonesia terdaftar sebagai peserta program JKN-KIS. Jumlah tersebut jauh meningkat dibandingkaan awal mulai program pada 2014 dengan 133,4 juta peserta.
ADITYA DIVERANTA
Tri (38), salah satu kader Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS) sedang mengunjungi salah satu warga di Kelurahan Ciputat, Ciputat, Tangerang Selatan, Banten (12/11/2019).
Peningkatan jumlah kepesertaan JKN tersebut patut diapresiasi. Dalam waktu kurang dari sepuluh tahun, jumlah peserta meningkat hingga 78 persen. Akses terhadap fasilitas dan layanan kesehatan menggunakan jaminan kesehatan tersebut juga terus meningkat.
Ragam layanan kesehatan yang diakses masyarakat menggunakan JKN juga bervariasi. Hasil Susenas Maret 2021 menyebutkan sebanyak 29 persen penduduk Indonesia yang memiliki JKN pernah menggunakan JKN untuk pemeriksaan kesehatan dalam setahun terakhir.
JKN juga dimanfaatkan untuk membantu masyarakat mengakses layanan rawat jalan dan rawat inap. Setidaknya hampir separuh masyarakat yang memiliki JKN pernah mengakses layanan rawat jalan dengan bantuan JKN. Tujuh dari sepuluh penduduk Indonesia yang pernah rawat inap dalam setahun terakhir menyebutkan menggunakan jaminan kesehatan untuk mengakses layanan kesehatan tersebut.
Manfaat JKN ini sangat dirasakan masyarakat. Masyarakat semakin mudah mendapatkan layanan kesehatan dengan adanya JKN. Apalagi kini semakin banyak fasilitas kesehatan yang bekerjasama dengan Program JKN. Dengan kerja sama ini, biaya pengobatan dan layanan kesehatan yang harus ditanggung masyarakat lebih ringan.
Kendala pemanfaatan
Terlepas dari banyak manfaat yang diterima dari JKN, tidak dimungkiri masih banyak kendala dalam penggunaan JKN dan akses layanan kesehatan. Hal ini terekam dalam Hasil Susenas Maret 2021.
Sejumlah kendala yang dihadapi masyarakat bahkan membuat masyarakat tidak menggunakan JKN untuk mengakses layanan pemeriksaan kesehatan. Salah satu yang paling dirasakan adalah waktu tunggu pelayanan lama dan antrean yang panjang. Hal ini menjadi alasan sebagian masyarakat tidak pernah memanfaatkan JKN.
Kendati bukan persoalan baru, BPJS Kesehatan berupaya mengatasi permasalahan tersebut. Sistem antrean daring mulai dilayankan untuk memberikan kemudahan peserta JKN-KIS untuk mengakses layanan kesehatan. Sistem daring ini membantu peserta JKN-KIS untuk mendapatkan kepastian waktu tunggu berobat ke fasilitas kesehatan. Dengan demikian, pasien tidak menumpuk di ruang tunggu dan tidak perlu menunggu lama.
Kendala lain yang dihadapi terkait dengan administrasi dan kurangnya informasi pemanfaatan JKN. Sebagian masyarakat masih belum mengetahui cara memanfaatkan JKN. Sekalipun sudah menggunakan JKN, masyarakat masih belum mengetahui paket manfaat lain yang dapat diterima.
KOMPAS/ADITYA DIVERANTA
Warga yang mengikuti program JKN-KIS sedang antre di Rumah Sakit Umum Kota Tangerang Selatan, Banten (12/11/2019). Antrean yang panjang dan lamanya waktu tunggu masih banyak dikeluhkan warga dalam pelayanan JKN-KIS.
Alhasil biaya kesehatan yang seharusnya bisa ditanggung jaminan kesehatan terpaksa harus dibayarkan menggunakan dana pribadi. Pemanfaatan jaminan kesehatan pun menjadi kurang optimal.
Contohnya terjadi pada layanan pemeriksaan kehamilan. Peneliti ThinkWell Institute Indonesia Trihono menyebutkan cakupan layanan tersebut mencapai 96 persen. Dari jumlah tersebut, 63 persennya adalah peserta JKN, namun yang menggunakan hak JKN hanya 22 persen.
Di sisi lain, pemanfaatan JKN juga tidak berjalan lancar karena adanya penolakan pelayanan. Sebagian besar penolakan pelayanan dikarenakan proses tidak memenuhi prosedur. Menariknya, hal lain yang mendasari penolakan pelayanan pemeriksaan atau rawat inap menggunakan JKN adalah kurangnya fasilitas dan tenaga kesehatan.
Hal tersebut dialami 33 persen dari masyarakat yang pernah ditolak rawat inap menggunakan JKN. Alasannya, jenis pelayanan yang diminta tidak cukup, tidak ada kamar, tidak memiliki pemeriksaan penunjang, tidak ada tenaga medis sesuai yang dibutuhkan dan tidak ada obat yang dibutuhkan. BPS secara khusus menyoroti kendala kurangnya fasilitas dan tenaga kesehatan ini lebih banyak terjadi di wilayah perdesaan.
Fasilitas kesehatan
Adanya ketimpangan dan kurang optimalnya layanan kesehatan karena kurangya fasilitas serta tenaga kesehatan dikuatkan dengan temuan lembaga Prakarsa dalam analisisnya tentang UHC di Indonesia.
Pada Indeks Cakupan Layanan UHC, sebagian besar provinsi dengan skor tinggi atau lebih dari rata-rata nasional (60) berada di Pulau Jawa. Ini artinya, cakupan layanan kesehatan di luar Pulau Jawa masih tertinggal sekalipun peningkatan akses kesehatan terus dikejar.
Ketimpangan akses kesehatan juga terlihat ketika Indeks Cakupan Layanan UHC disandingkan dengan aspek perlindungan keuangan. Kesenjangan sangat terlihat antara wilayah Indonesia Timur dengan wilayah lainnya. Provinsi di Indonesia Timur seperti Papua, Papua Barat, Maluku, Maluku Utara dan NTT mendapat skor Indeks Cakupan Layanan dan pengeluaran katastropik rendah.
Pada umumnya, pengeluaran katastropik rendah dipandang sebagai kondisi yang baik karena masyarakat tidak perlu mengeluarkan biaya untuk kesehatan melebihi kapasitas keuangannya. Namun, dalam data tersebut ada intepretasi khusus sesuai kondisi sosial ekonomi daerah.
KOMPAS/ WISNU WIDIANTORO
Petugas melayani warga yang mengurus keanggotaan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) di Kantor Cabang BPJS Kesehatan Tangerang, Banten, (16/11/2018). Layanan rawat inap menggunakan JKN masih kurang maksimal karena kurangnya fasilitas dan tenaga kesehatan.
Masyarakat di wilayah-wilayah tersebut menghadapi beban ganda. Pertama, cakupan pelayanan kesehatan di wilayah tersebut belum menyeluruh. Akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan terbatas.
Ada indikasi bahwa kurangnya akses dan fasilitas kesehatan, kondisi geografis dan ketimpangan menyebabkan pengeluaran katastropik rendah. Apalagi kemiskinan yang menjerat menyebabkan masyarakat memilih untuk tidak mengakses layanan kesehatan sehingga tidak ada pengeluaran besar untuk hal itu.
Dari semua kendala itu, penyediaan jaminan, fasilitas serta tenaga kesehatan secara merata dan mudah diakses masyarakat masih menjadi pekerjaan rumah pemerintah Indonesia ke depan. Secara jumlah, kepesertaan jaminan kesehatan dan fasilitas kesehatan yang bekerja sama memang sudah meningkat signifikan.
Akan tetapi sosialisasi manfaat JKN masih diperlukan agar kebermanfaatan jaminan kesehatan dapat dioptimalkan. Sistem administrasi dan prosedur pemanfaatan JKN di fasilitas kesehatan yang mulai dibenahi melalui sistem daring perlu disosialisasikan lebih menyeluruh.
KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO (DRA)
Warga mendatangi RSUD Kota Yogyakarta, Umbulharjo, Yogyakarta (24/8/2020). Setiap hari sekitar 200 warga menggunakan layanan BPJS Kesehatan di rumah sakit itu. Selama pandemi berbagai layanan di rumah sakit tersebut terus berlangsung dengan menerapkan protokol kesehatan ketat.
Meningkatnya kepesertaan jaminan kesehatan juga perlu diikuti dengan penambahan dan pemerataan fasilitas, alat, teknologi serta tenaga kesehatan. Apalagi cakupan layanan kesehatan Indonesia masih tertinggal dibandingkan negara-negara di Asia Tenggara lainnya. Dari sembilan negara Asia Tenggara, skor Indeks Cakupan Layanan Kesehatan Indonesia sebesar 59 berada di tiga terendah bersama Laos dan Filipina.
Peningkatan akses dan kualitas layanan kesehatan tidak dapat berjalan sendiri untuk mencapai target UHC. Hal ini harus berjalan bersamaan dengan peningkatan jangkauan dan mutu jaminan kesehatan. Mengingat tujuan UHC adalah agar semua orang dapat mengakses layanan kesehatan esensial yang bermutu tanpa terbebani biaya kesehatan, keduanya perlu diupayakan bersamaan. (LITBANG KOMPAS)