Cukai Minuman Berpemanis Direkomendasikan untuk Tekan Risiko Penyakit Tidak Menular
Penerapan cukai diharapkan mengendalikan konsumsi produk minuman berpemanis sehingga mengurangi beban pembiayaan kesehatan. Selain itu, menambah pemasukan negara yang dapat digunakan untuk memperkuat pencegahan penyakit.
Oleh
TATANG MULYANA SINAGA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Konsumsi produk minuman berpemanis dalam kemasan atau MBDK di Indonesia meningkat 15 kali lipat dalam 20 tahun terakhir. Penerapan cukai pada produk itu direkomendasikan untuk menekan risiko obesitas serta penyakit tidak menular, seperti diabetes, kerusakan liver dan ginjal, jantung, serta beberapa jenis kanker.
Cukai diharapkan dapat mengendalikan konsumsi MBDK sehingga mengurangi beban pembiayaan kesehatan. Selain itu, cukai diharapkan menambah pemasukan negara yang dapat digunakan untuk memperkuat upaya pencegahan penyakit.
”Kami merekomendasikan pemerintah segera menerapkan cukai MBDK pada semua produk tanpa kecuali dan serentak. Hal itu meliputi semua minuman berpemanis, baik dalam bentuk gula asli maupun tambahan pangan. Tarif cukai terbaik adalah minimum 20 persen dari harga produk dan diterapkan secara multilayer berdasarkan kandungan pemanisnya,” tutur pakar advokasi Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI), Abdillah Ahsan, dalam konferensi pers daring di Jakarta, Kamis (31/3/2022).
Abdillah mengatakan, peningkatan konsumsi MBDK itu terdiri dari air teh kemasan, sari buah kemasan, minuman ringan, dan minuman kesehatan. Ia mencontohkan, konsumsi air teh kemasan meningkat dari 250 juta liter pada 2011 menjadi 400 juta liter pada 2014.
Konsumsi MBDK per kapita di Indonesia 20,23 liter per orang per tahun. ”Ini kondisi yang sangat mengkhawatirkan. Terlalu banyak minum dan makan yang manis akan memicu obesitas dan berujung pada meningkatnya risiko penyakit tidak menular,” ucapnya.
Abdillah menyebutkan, diabetes menjadi penyakit kematian tertinggi keenam di Tanah Air pada 2009. Sepuluh tahun berselang, peringkatnya naik menjadi ketiga setelah stroke dan jantung koroner.
”Kondisi ini menjadi perhatian kita semua serta menimbulkan urgensi bagi pemerintah dan pihak terkait untuk segera mengendalikan konsumsi minuman berpemanis,” katanya.
Pelaksana Tugas Manajer Riset CISDI Gita Kusnadi mengatakan, jika tidak ditangani dengan serius, tingginya konsumsi MBDK berpotensi meningkatkan beban kesakitan dan kematian. Ia menyebutkan, saat ini 7 dari 10 penyebab kematian di Indonesia disebabkan oleh penyakit tidak menular.
Penerapan cukai dapat menambah pemasukan negara sebesar Rp 2,7 triliun-Rp 6,25 triliun per tahun. Estimasi itu dengan mengasumsikan konsumsi semua minuman kemasan mengandung gula akan dikenai pajak Rp 1.500-Rp 2.500 per liter.
”Diabetes saat ini sudah diderita oleh 19,5 juta penduduk Indonesia dan diperkirakan akan terus meningkat hingga mencapai 28,5 juta penderita pada 2045. Karena itu, laju kenaikan prevalensinya perlu segera ditekan. Salah satu caranya melalui implementasi cukai MBDK,” ucapnya.
Gita menjelaskan dampak penerapan cukai terhadap penurunan konsumsi MBDK di sejumlah negara. Di Meksiko, misalnya, cukai sebesar 10 persen mampu mengurangi pembelian produk MBDK hingga 19 persen.
Sementara di Amerika Serikat, penerapan cukai MBDK 20 persen menurunkan konsumsi produk tersebut sebesar 24 persen. ”Penurunan konsumsi MBDK berkontribusi pada perbaikan kesehatan masyarakat dalam jangka panjang melalui penurunan beberapa faktor risiko penyebab penyakit tidak menular,” ujarnya.
Gita menambahkan, edukasi dan sosialisasi kepada masyarakat terkait bahaya konsumsi gula berlebihan saja belum cukup. Perubahan perilaku tidak bisa dicapai melalui usaha promotif semata, tetapi memerlukan kebijakan dan intervensi lain yang lebih kuat.
Ringkasan kebijakan implementasi cukai MBDK yang disusun CISDI menyebutkan, penerapan cukai dapat menambah pemasukan negara Rp 2,7 triliun-Rp 6,25 triliun per tahun. Estimasi itu dengan mengasumsikan konsumsi semua minuman kemasan mengandung gula akan dikenai pajak Rp 1.500-Rp 2.500 per liter. Jika terwujud, pemasukan itu dapat menutupi hampir seluruh defisit pendanaan BPJS Kesehatan pada 2020 sebesar Rp 6,36 triliun.
Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi mengatakan, penerapan cukai akan menegaskan komitmen pemerintah dalam memenuhi hak perlindungan kesehatan masyarakat. Kebijakan ini dapat mengurangi pemasaran MBDK yang sejalan dengan kampanye Kementerian Kesehatan terkait pengurangan konsumsi gula, garam, dan lemak (GGL).
”Selain melindungi masyarakat, penerapan cukai bisa mengendalikan defisit finansial kesehatan dari penyakit akibat pola konsumsi MBDK. Upaya ini harus kita dorong bersama-sama,” katanya.
Ketua Tim Kerja Pembiayaan Kesehatan, Pusat Kebijakan Pembiayaan, dan Desentralisasi Kesehatan (Pusjak PDK) Kementerian Kesehatan Ackhmad Afflazir menuturkan, penyakit tidak menular berpengaruh terhadap pembiayaan kesehatan nasional. Oleh karena itu, penerapan cukai MBDK sangat diperlukan.
”Akar masalah harus diselesaikan lebih dahulu, yaitu pengendalian konsumsi makanan dan minuman tinggi GGL. Dalam hal ini, cukai MBDK dapat dilihat sebagai cara efektif mengendalikan konsumsi minuman manis di masyarakat,” ujarnya.