Penanganan Tengkes Fokus Sebelum Kelahiran dan Saat Bayi Berumur 6-24 Bulan
Percepatan penurunan prevalensi tengkes di Indonesia dilakukan dengan dua pendekatan, spesifik dan sensitif. Intervensi spesifik akan difokuskan pada pemeriksaan kesehatan sebelum kelahiran dan pada bayi umur 6-23 bulan.
Oleh
MUCHAMAD ZAID WAHYUDI
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sebanyak 23 persen bayi di Indonesia lahir sudah mengalami tengkes. Kondisi itu dipicu oleh banyaknya ibu hamil yang mengalami kekurangan gizi dan kekurangan darah sejak remaja hingga hamil. Tengkes meningkat tajam pada bayi umur 6-23 bulan atau setelah mereka mengenal makanan tambahan akibat kurangnya asupan protein hewani.
”Pada kedua tahapan itu harus dilakukan intervensi karena dampaknya besar terhadap stunting,” kata Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin dalam pembukaan webinar Audit Kasus Stunting di Jakarta, Kamis (17/3/2022). Intervensi penyebab langsung tengkes ini berkontribusi 30 persen terhadap kasus tengkes di Indonesia.
Tantangan itu akan diatasi Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dengan membagikan tablet tambah darah pada 12,2 juta remaja putri kelas 7-12. Untuk memastikan tablet itu benar-benar diminum, tablet dibagikan saat kegiatan sekolah atau madrasah, diminum di tempat, dan diawasi oleh guru. Pemantauan konsumsi tablet tambah darah ini juga dilakukan secara digital.
Selain itu, juga akan dilakukan penapisan anemia melalui pemeriksaan hemoglobin pada remaja putri kelas 7 dan 10. Mereka yang terdiagnosis anemia akan dirujuk dan diobati di fasilitas kesehatan terdekat.
Sementara untuk ibu hamil, Kemenkes telah menaikkan frekuensi pemeriksaan sebelum kelahiran (ANC) dari 4 kali menjadi 6 kali. Dari 6 pemeriksaan ANC itu, 2 pemeriksaan di antaranya harus dilakukan dokter dan pemeriksaan kandungan menggunakan ultrasonografi (USG). Untuk itu, tahun ini Kemenkes akan mengirim alat USG bagi 3.355 puskesmas. Sisanya, karena ada lebih dari 10.000 puskesmas, akan dikirim tahun depan.
Ibu hamil yang tiap tahunnya berjumlah 4,9 juta orang juga diwajibkan mengonsumsi tablet tambah darah minimal 90 tablet selama kehamilan.
Sebanyak 847.351 ibu hamil yang mengalami kekurangan energi kronis juga akan mendapat makanan tambahan berupa protein hewani, seperti telur, ikan, daging, dan susu setiap hari. Program ini akan diintegrasikan dengan pemanfaatan dana desa dari Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi, serta dana bantuan sosial untuk keluarga miskin melalui Kementerian Sosial.
Untuk mengatasi kekurangan protein hewani pada bayi berumur kurang 2 tahun (baduta), lanjut Budi, akan diberikan 1 butir telur pada bayi umur 6-23 bulan dan 1 kotak susu UHT (ultra-high temperature) untuk bayi umur 12-23 bulan setiap hari.
Pemerintah juga menambah dua vaksinasi wajib untuk bayi, yaitu vaksin konjugasi pneumokokus (PCV) guna mencegah penumonia dan vaksin Rotavirus untuk menghindari diare. Kedua jenis infeksi itu paling sering ditemukan pada bayi hingga asupan energi mereka lebih banyak digunakan untuk mengatasi infeksi daripada untuk tumbuh kembangnya.
”Posyandu juga akan diaktifkan kembali,” kata Budi. Selama pandemi, kegiatan posyandu menurun banyak. Tercatat hanya 21 posyandu dan 16 persen posyandu yang aktif pada 2020 dan 2021.
Mulai tahun ini, diharapkan 80 persen posyandu akan aktif. Posyandu jadi ujung tombak penanganan tengkes karena jumlahnya yang banyak dan tersebar di banyak desa hingga mudah diakses masyarakat.
Posyandu juga akan dilengkapi dengan seperangkat alat ukur tumbuh kembang anak balita terstandar atau anthropometric kit hingga pengukuran berat dan tinggi anak balita bisa menggunakan alat ukur yang sama. Tahun ini, alat ini akan dibagikan untuk 42.441 posyandu dan sisanya diberikan tahun depan.
Ketua Pelaksana Tim Percepatan Penurunan Stunting (TPPS) yang juga Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Hasto Wardoyo mengapresiasi langkah yang dilakukan Kemenkes untuk menunjang percepatan penurunan tengkes. Dengan upaya itu, target prevalensi tengkes 14 persen pada 2024 diharapkan bisa dicapai meski prevalensi tengkes pada 2021 masih mencapai 24,4 persen.
Peran Kemenkes itu penting mengingat BKKBN bukanlah lembaga yang menguasai teknis medis dalam penanganan tengkes. Karena itu, dinas kesehatan di setiap kabupaten/kota dan puskesmas akan menjadi tulang punggung dalam penanganan intervensi spesifik percepatan penurunan tengkes.
”Sepanjang sejarahnya, BKKBN adalah lembaga yang sukses dalam menggerakkan masyarakat,” katanya. Karena itu, BKKBN ditunjuk sebagai Ketua Pelaksana TPPS yang menggerakkan masyarakat sekaligus mengoordinasikan berbagai kementerian dan lembaga di pusat dan daerah demi tercapainya target penurunan tengkes.
Koordinasi itu juga dilakukan BKKBN dengan Kementerian Agama yang pada 11 Maret 2022 lalu menginisiasi program pendampingan, konseling, dan pemeriksaan kesehatan bagi calon pengantin pada tiga bulan sebelum menikah. Upaya ini juga dilakukan untuk mencegah tengkes karena setiap pengantin akan senantiasa siap hamil dan menjadi orangtua yang bertanggung jawab terhadap tumbuh kembang anak.
Keterangan pemeriksaan kesehatan yang meliputi pengukuran tinggi badan, berat badan, lingkar lengan atas, dan kadar hemoglobin dalam darah itu akan jadi syarat menikah di kantor urusan agama. Mereka yang kondisi kesehatannya tidak memenuhi standar tetap boleh menikah, tetapi akan didampingi Tim Pendamping Keluarga sebagai pasangan atau keluarga yang berisiko. Pendampingan itu dimaksudkan untuk meminimalkan risiko tengkes pada anak mereka nantinya.
Sementara itu, Pelaksana Tugas Direktur Bina Keluarga Balita dan Anak BKKBN Irma Ardiana menambahkan, dengan prevalensi tengkes saat ini yang mencapai 24,4 persen, Indonesia harus mampu menurunkan prevalensi tengkes hingga 3,4 persen per tahun jika ingin target prevalensi tengkes 14 persen pada 2024 tercapai.
Target itu memang sangat tinggi karena kecepatan rata-rata penurunan prevalensi tengkes global hanya 0,5 persen per tahun. Asia adalah wilayah dengan penurunan tengkes tercepat yang mencapai 0,7 persen tiap tahun.
Namun, berkaca pada pengalaman sejumlah negara ataupun beberapa kabupaten/kota atau provinsi di Indonesia, penurunan prevalensi tengkes sebesar 3,4 persen per tahun itu sangat mungkin dilakukan. Peru mampu menurunkan prevalensi tengkes hingga 4,25 persen per tahun, Negara Bagian Maharastra di India pernah menurunkan sebesar 3 persen per tahun dan Bolivia 2,5 persen per tahun.
”Korea Utara dengan program 1 butir telur per hari mampu menurunkan prevalensi stunting hingga 1,78 persen per tahun,” katanya.
Adapun data Studi Status Gizi Indoensia 2021 menunjukkan, selama tiga tahun terakhir sejumlah daerah bisa menurunkan prevalensi tengkes secara berarti, seperti Lampung yang menurunkan 7,8 persen, Jawa Tengah turun 6,8 persen, dan Sulawesi Barat mengurangi 6,6 persen. Namun, ada tujuh provinsi yang prevalensinya justru cenderung naik, seperti Papua Barat, Jambi, dan Kalimantan Utara.
Karena itu, pemerintah optimis target prevalensi tengkes sebesar 14 persen pada 2024 bisa dicapai. Terlebih, sejumlah organisasi telah memberikan dukungannya untuk mengaudit kasus-kasus tengkes di seluruh Indonesia, seperti Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia (POGI), Asosiasi Institusi Pendidikan Tinggi Gizi Indonesia (AIPGI), dan Himpunan Psikologi Seluruh Indonesia (Himpsi).