Layanan Kesehatan Dasar di Indonesia Masih Tertinggal
Dengan penduduk sekitar 280 juta jiwa, Indonesia hanya mempunyai 10.292 puskesmas. Peran fasilitas kesehatan yang paling dekat dengan masyarakat itu harus ditingkatkan lewat reformasi berbagai aspek.
Oleh
TATANG MULYANA SINAGA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Ketersediaan layanan kesehatan dasar di Indonesia masih tertinggal dibandingkan dengan sejumlah negara. Reformasi berbagai aspek tidak bisa ditunda untuk meningkatkan peran fasilitas kesehatan yang paling dekat dengan masyarakat tersebut.
Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia yang juga anggota Komisi Ilmu Kedokteran Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) Akmal Taher mengatakan, layanan kesehatan dasar atau primary health care (PHC) seharusnya menjadi payung perlindungan utama dalam sistem kesehatan nasional. Namun, saat ini masih fokus pada pelayanan sekunder dan tersier di rumah sakit.
Padahal, terdapat lebih dari 10.000 puskesmas di Tanah Air yang tersebar di level komunitas masyarakat terkecil. Layanan kesehatan terfragmentasi dan tidak berkesinambungan, bahkan cenderung menjurus pada komersialisasi layanan.
”Tidak ada lagi ruang untuk menunda transformasi PHC,” ujarnya dalam kuliah umum dan diskusi publik ’Menata Masa Depan Layanan Kesehatan Primer Indonesia’ yang digelar AIPI bersama Center for Indonesia’s Strategic Development Indonesia (CISDI) secara daring, Rabu (16/3/2022).
Akmal memaparkan sejumlah persoalan layanan kesehatan dasar. Expenditure atau pengeluaran PHC di Indonesia, misalnya, hanya 0,05 persen dari produk domestik bruto (GDP). Padahal, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) merekomendasikan 1 persen dari GDP.
”Dengan investasi PHC lebih tinggi, Brasil dan Thailand bisa meningkatkan status kesehatan warganya,” ucapnya.
Akmal menyebutkan, Brasil dan Thailand memulai transformasi PHC dalam cakupan luas sejak 1980-an. Sejumlah terobosan dilakukan untuk meningkatkan kualitas layanan kesehatan dasar.
Brasil, misalnya, memperkuat tenaga kesehatan primer dengan membentuk tim program kesehatan keluarga. Setiap tim memberikan pelayanan kepada 1.000 keluarga di dalam satu kawasan.
Sementara Thailand melakukan realokasi anggaran yang semula ditujukan kepada rumah sakit dialihkan memperkuat lebih dari 9.000 layanan kesehatan primer. Puskesmas di sana berbagi kapitasi dengan rumah sakit.
Sekitar 1 juta kader kesehatan dikerahkan guna mengedukasi, mendata, dan mendampingi warga dalam mengakses layanan kesehatan. ”Kita tertinggal, padahal sesama negara di Asia Tenggara,” katanya.
Menurut Akmal, diperlukan reformasi sistem kesehatan nasional untuk memastikan transformasi PHC. Reformasi tersebut meliputi berbagai aspek, seperti kepemimpinan dan tata kelola, kebijakan, kualitas layanan, jaminan kesehatan, serta sumber daya manusia.
Komitmen reformasi itu dapat diwujudkan melalui regulasi memadai. Salah satunya dengan menyusun undang-undang sistem kesehatan nasional yang memprioritaskan penguatan layanan kesehatan dasar.
”Integrasikan layanan pemerintah dan swasta. Sekitar 50 persen orang sakit di Indonesia datang ke puskesmas, sementara sisanya ke klinik pratama dan dokter praktik mandiri. Artinya, jika hanya fokus di puskesmas, baru menyelesaikan setengah masalah yang ada,” tuturnya.
Penasihat Senior Bidang Jender dan Pemuda untuk Direktur Jenderal WHO sekaligus Pendiri CISDI Diah S Saminarsihmengatakan, masih banyak hal yang harus diperbaiki demi mendorong transformasi PHC di Indonesia. Dibutuhkan beragam strategi dengan melibatkan berbagai pihak.
”Hal ini penting untuk segera dilakukan. Jika kita tetap berdiam diri, taruhannya adalah nyawa manusia,” ujarnya.
AIPI dan CISDI menyusun rekomendasi penguatan PHC berbasis fakta memakai metode foresight. Kedua lembaga itu menampung masukan puluhan narasumber ahli di bidang kesehatan ataupun non-kesehatan melalui diskusi dengan metode Delphi.
Untuk memperkaya data, CISDI mengumpulkan informasi dari 740 artikel berita media daring serta 1,5 juta cuitan tentang puskesmas dan 6,8 juta cuitan tentang rumah sakit di media sosial Twitter selama 2009-2021. Data diolah dan disintesiskan menjadi empat opsi skenario yang semuanya punya kemungkinan sama untuk terjadi.
AIPI dan CISDI menyimpulkan ada tiga pergeseran yang dibutuhkan untuk mewujudkan layanan kesehatan agar mudah diakses dan berkualitas. Hal itu meliputi pergeseran sudut pandang dari sekadar pemenuhan akses menjadi pemenuhan akses dan kualitas, dari fragmentasi menjadi integrasi, serta dari perspektif jangka pendek menuju jangka panjang dan berkelanjutan.
Direktur Jenderal Kesehatan Masyarakat Kementerian Kesehatan Maria Endang Sumiwi menuturkan, peningkatan layanan kesehatan dasar menjadi prioritas dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2020-2024. ”Dengan mendorong upaya promotif, preventif, didukung oleh inovasi dan pemanfaatan teknologi,” ucapnya.
Dengan penduduk sekitar 280 juta jiwa, Indonesia hanya mempunyai 10.292 puskesmas. Untuk memperkuat layanan kesehatan dasar, klinik pratama dan praktik dokter mandiri akan dilibatkan.
”Kami akan berdayakan semua layanan yang menjadi kontak pertama dengan masyarakat agar bisa memberikan layanan kesehatan yang komprehensif,” katanya.