Penanganan Kasus Lambat, Korban Pelecehan Seksual di KPI Ingin Bertemu Kapolri
Setelah enam bulan dilaporkan, kasus dugaan pelecehan seksual dan perundungan yang menimpa MS di Komisi Penyiaran Indonesia Pusat masih berstatus penyelidikan. MS ingin bertemu Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo.
Oleh
TATANG MULYANA SINAGA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penanganan kasus dugaan pelecehan seksual dan perundungan yang menimpa MS di Komisi Penyiaran Indonesia Pusat dinilai lambat. Sejak dilaporkan ke Polres Jakarta Pusat pada awal September 2021, kasusnya masih berstatus penyelidikan. MS ingin bertemu Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo untuk menyampaikan langsung kasus tersebut.
MS mengaku sedih dan cemas karena penanganan kasusnya belum menunjukkan perkembangan signifikan dan terkesan mandek. Oleh karena itu, ia berharap dapat bertemu dengan Listyo karena dinilai sebagai sosok yang mau mendengar kritik.
”Saya ingin menyampaikan langsung kepada Kapolri bahwa selama bertahun-tahun saya tidak dapat tidur karena para pelaku belum dihukum setimpal atas perbuatannya kepada saya,” ujarnya dalam konferensi pers secara daring, Senin (7/3/2022).
MS melaporkan dugaan pelecehan seksual dan perundungan yang dialaminya pada 2015 di tempat kerjanya di Gambir, DKI Jakarta. Ia membuat laporan polisi dengan persangkaan Pasal 289 KUHP dan Pasal 281 KUHP juncto Pasal 335 KUHP (Kompas, 3/9/2021).
Ia berharap polisi segera memberikan informasi perkembangan kasus tersebut. Dalam sebulan terakhir, MS mengaku cemas dan mengalami sakit lambung karena stres.
”Sejak 9 Desember 2021, hasil visum et repertum psikiatrikum saya di Rumah Sakit Polri sudah keluar dan dipegang oleh penyidik,” katanya.
MS juga menyinggung surat rekomendasi Komnas Perempuan kepada Kementerian Komunikasi dan Informatika pada 10 Februari 2022 terkait dengan keinginannya menjadi pegawai di kementerian tersebut. MS yang masih bekerja di KPI mengaku trauma terhadap dugaan pelecehan seksual yang dilakukan rekan kerjanya.
Menurut MS, salah satu pemicu pelecehan seksual dan perundungan terhadapnya adalah kecemburuan sosial dari rekan kerjanya. Ketika itu, gajinya sebagai pegawai kontrak yang baru bekerja tiga bulan disamakan dengan rekannya yang masa kerjanya lebih lama.
Kuasa hukum MS, Muhammad Mualimin, menilai, setelah lebih dari lima bulan, penyelidikan kasus tersebut tidak menunjukkan kemajuan berarti. Padahal, dampak pelecehan seksual yang dialami korban sangat nyata dengan dibuktikan oleh psikiatri forensik.
MS mengaku sedih dan cemas karena penanganan kasusnya belum menunjukkan perkembangan signifikan dan terkesan mandek
”Kami akan mendatangi Polres Jakarta Pusat untuk menanyakan kendala apa yang dialami (dalam menyelidiki kasus). Kami berharap status hukumnya naik ke penyidikan dan ditetapkannya tersangka,” ujarnya.
Mualimin menambahkan, pada awal Januari 2022, MS sempat bertemu dengan Sekretariat KPI untuk membahas perpanjangan kontrak kerjanya. Saat itu, diajukan sejumlah syarat agar kontrak kerja MS diperpanjang.
Polres Jakarta pusat belum memberikan keterangan terkait perkembangan kasus dugaan pelecehan seksual dan perundungan yang dialami MS. Hingga Senin sore, Kepala Subbagian Humas Polres Jakarta Pusat Ajun Komisaris Sam Suharto belum menanggapi pesan singkat yang diajukan Kompas untuk mengonfirmasi perkembangan kasus tersebut.
Sebelumnya, Wakil Kepala Polres Metro Jakarta Pusat Ajun Komisaris Besar Setyo Kusheryanto mengatakan, pihaknya berkomitmen menuntaskan kasus MS. ”Untuk menyelaraskan komitmen kami, kami melibatkan tim internal dari Propam Polres Metro Jakarta Pusat dan juga diasistensi oleh Propam Polda Metro Jaya,” katanya (Kompas, 14/9/2021).
Direktur Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH Apik) Siti Mazuma menyayangkan lambannya penanganan kasus tersebut. Menurut dia, kasus pelecehan seksual itu tidak hanya berdampak pada MS, tetapi juga keluarganya.
”Sudah hampir tujuh bulan, tetapi belum ada progres. Karena prosesnya lama, menimbulkan ketidakpastian hukum bagi korban,” katanya.