Sebagian Publik Masih Menilai Kental Manis sebagai Susu
Sebagian masyarakat memahami kental manis sebagai susu untuk anak. Padahal, kandungan gizi kental manis cenderung rendah dengan kandungan gula yang tinggi.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sebagian orang di Indonesia masih menilai kental manis sebagai susu dan memberikannya kepada bayi ataupun anak balita. Padahal, kental manis bukan susu dan nilai gizinya pun rendah. Edukasi dan sosialisasi yang menyeluruh tentang gizi menjadi penting.
Hal ini mengemuka pada peluncuran buku Masa Depan Anak Indonesia Terganggu Susu Kental Manis, di Jakarta, Jumat (25/2/2022). Buku ini merupakan laporan penelitian oleh Yayasan Abhipraya Insan Cendekia Indonesia (YAICI), Pimpinan Pusat Muslimat Nahdlatul Ulama, serta Pimpinan Pusat Aisyiyah. Penelitian dilakukan sejak 2018 di sejumlah kota dan provinsi.
Ketua Umum YAICI Arif Hidayat mengatakan, penelitian YAICI dilakukan di lima provinsi, yaitu DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, Maluku, dan Nusa Tenggara Timur. Hasilnya, sebanyak 28,96 persen masyarakat memahami kental manis sebagai susu pertumbuhan.
”Sebanyak 16,79 persen ibu memberikan kental manis untuk anak setiap hari. Padahal, kental manis tidak sama dengan susu dan tidak dapat mendukung tumbuh kembang kesehatan anak. Kandungan gula kental manis sangat tinggi, yaitu 51-56 persen dengan kandungan lemak 43-48 persen,” kata Arif.
Dalam beberapa kasus, konsumsi kental manis sejak usia muda dan dalam jangka waktu panjang mengakibatkan anak ketergantungan. YAICI dan komunitas lokal pun mengadakan pendampingan ke 30 anak selama sebulan. Hasilnya, 29 anak dapat melepaskan ketergantungannya terhadap kental manis.
Penelitian tentang persepsi masyarakat terhadap kental manis juga dilakukan PP Aisyiah sejak 2019. Penelitian dilakukan di sembilan kabupaten di Aceh, Sulawesi Utara, dan Kalimantan Tengah. Ada 2.096 responden yang terlibat. Penelitian menunjukkan bahwa 3 dari 10 anak mengonsumsi kental manis.
Kental manis tidak dapat menggantikan ASI dan tidak cocok dikonsumsi bayi berusia 0-12 bulan. Kental manis dapat dikonsumsi sebagai pelengkap atau campuran pada makanan dan minuman.
Ketua Majelis Kesehatan PP Aisyiyah Chairunnisa mengatakan, sebagian ibu memahami kental manis sebagai susu. Ada yang mengaku pemahaman ini diperoleh dari tenaga kesehatan. Padahal, kental manis bukan susu.
Menurut SNI 01-2971-1998, kandungan protein kental manis 7-10 persen. Untuk setiap sajian atau sekitar empat sendok makan, kental manis hanya memenuhi sekitar 2 persen angka kecukupan protein per hari. Sementara itu, kandungan gula kental manis tergolong tinggi, yaitu 40-50 persen (Kompas.id, 17/7/2018).
Walau termasuk sebagai produk susu, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) tidak menganjurkan kental manis sebagai hidangan tunggal, apalagi sebagai satu-satunya sumber gizi. Kental manis tidak dapat menggantikan ASI dan tidak cocok dikonsumsi bayi berusia 0-12 bulan. Kental manis dapat dikonsumsi sebagai pelengkap atau campuran pada makanan dan minuman.
Konsumsi kental manis pada anak disebabkan minimnya pengetahuan orangtua soal gizi. Selain itu, kental manis dikonsumsi karena mudah diperoleh di warung, bahkan sampai di pelosok. Harga kental manis juga terjangkau.
”Kini sudah ada pergeseran pemahaman bahwa kental manis bukan susu. Namun, edukasi secara berkelanjutan masih perlu dilakukan,” ujar Chairunnisa.
Peneliti PP Aisyiyah, Tria Astika, mengatakan, sebagian responden menganggap kental manis ideal untuk pertumbuhan dan perkembangan anak balita. Sebagian responden pun meyakini bahwa mengonsumsi 3-5 gelas kental manis per hari bisa mempercepat kenaikan berat badan anak.
Di sisi lain, penelitian menunjukkan korelasi antara konsumsi kental manis dan masalah gizi. Chairunnisa mengatakan, 12 persen responden mengalami gizi buruk dan 23,7 persen kurang gizi.
Menurut dokter Handrawan Nadesul, kecukupan kalsium sangat penting bagi anak. Untuk itu, mereka dianjurkan minum susu hingga berusia 12 tahun. Adapun kental manis tidak bisa memenuhi kebutuhan kalsium anak.
Konsumsi kental manis dalam jangka waktu panjang dikhawatirkan membuat anak obesitas. Kondisi ini membuat anak rentan terhadap sejumlah penyakit degeneratif, seperti diabetes, penyakit jantung, dan stroke. Ia mengatakan, mengedukasi ibu tentang gizi menjadi penting, termasuk edukasi ASI eksklusif pada bayi berusia 0-6 bulan.
”Ibu berperan penting untuk menentukan kecukupan gizi anak dan keluarga. Sumber makanan bergizi pun tak perlu mahal, misalnya kangkung, lele, dan belut. Semuanya bisa dibudidayakan di rumah,” kata Handrawan.