Varian Omicron memperburuk situasi Covid-19 di Surabaya, Jawa Timur. Satu dari lima kasus menyerang anak-anak yang merupakan kelompok rentan dan biasanya tertular dari orangtua atau anggota keluarga lain.
Oleh
AMBROSIUS HARTO MANUMOYOSO
·4 menit baca
SURABAYA, KOMPAS — Serangan varian Omicron mengakibatkan situasi pandemi Covid-19 di Kota Surabaya, Jawa Timur, memburuk. Penambahan kasus harian amat tinggi, bahkan menjangkiti kelompok rentan, termasuk anak-anak karena penerapan protokol kesehatan tidak disiplin dalam keluarga dan lingkungan.
Menurut Wali Kota Surabaya Eri Cahyadi, Selasa (15/2/2022), anak-anak yang terserang Omicron berusia 5-17 tahun. ”Kasus Omicron pada anak sebesar 17,39 persen dari total kasus Omicron di Surabaya,” ujarnya dalam keterangan tertulis.
Eri tidak menjelaskan angka kasus Omicron, tetapi mayoritas penularan Covid-19 yang terjadi sejak awal tahun dianggap dipicu varian tersebut. Salah satu alasannya, daya tular yang begitu hebat sehingga menimbulkan lonjakan kasus. Dua pekan pertama di awal tahun, penambahan kasus harian di bawah 10 dan kemudian dengan cepat menanjak di atas 100, kemudian terus melambung.
Sejak awal bulan ini, penambahan kasus harian di atas 1.000. Bahkan, dalam sehari ini, mengutip laman lawancovid-19.surabaya.go.id/, ada penambahan 1.970 kasus baru dengan kematian empat jiwa. Kesembuhan tercatat 1.009 kasus atau separuh dari kasus baru. Laju penambahan kasus yang selalu di atas kesembuhan mengakibatkan keterisian fasilitas layanan kian penuh. Kasus aktif atau jumlah pasien Covid-19 yang ditangani 4.590 kasus.
Adapun penambahan 1.970 kasus dalam sehari menjadi yang tertinggi di tahun ini. Angka tadi mendekati rekor penambahan harian tertinggi di Surabaya yang 2.086 kasus pada 15 Juli 2021. Ketika itu, ledakan kasus terkait serangan varian Delta yang berdaya tular 10 kali lipat daripada SARS-CoV-2 penyebab Covid-19. Padahal, Omicron berdaya tular 10 kali lipat daripada Delta dan mampu menembus ”benteng” imunitas vaksinasi.
Eri mengatakan, penularan Covid-19 kembali tinggi karena karakteristik Omicron ditambah lemahnya kedisiplinan dalam penerapan protokol kesehatan. Situasi Covid-19 di Surabaya memburuk sekaligus ditandai peningkatan status pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) dari level 2 ke level 3 sejak Selasa ini. Aparatur Surabaya terpaksa memperketat kembali aktivitas masyarakat di berbagai sektor.
Eri melanjutkan, ketidakdisiplinan warga dipicu banyak hal, antara lain, aktivitas dan mobilitas tinggi masyarakat dalam pekerjaan untuk melanjutkan penghidupan. Banyak yang tidak sadar telah terjangkit Covid-19 dan tidak memperlihatkan gejala (asimtomatik), tetapi memicu penularan dalam keluarga, terutama anak-anak. ”Padahal, anak-anak masuk kelompok rentan mengingat di bawah usia 6 tahun belum bisa mengikuti vaksinasi,” katanya.
Kasus pada anak-anak hampir selalu tertular dari anggota keluarga. Dengan begitu, anak-anak menjalani isolasi terpusat bersama orangtua atau anggota keluarga lainnya yang terpapar. (Nanik Sukristina)
Kepala Dinas Kesehatan Surabaya Nanik Sukristina mengatakan, penularan Covid-19 akhir-akhir ini didominasi kluster keluarga. Penularan juga bisa terjadi ketika keluarga lengah mengawasi aktivitas anak di luar rumah atau saat di ruang publik sehingga berkemungkinan terjangkit. Anak-anak terjangkit biasanya memperlihatkan gejala klinis flu terutama demam, lesu, dan enggan makan minum.
Nanik melanjutkan, penularan terhadap anak-anak berkonsekuensi dalam perbedaan metode penanganan pasien Covid-19. Sejauh ini, di Surabaya, aparatur mendorong penanganan pasien di fasilitas isolasi terpadu, antara lain, Hotel Asrama Haji (Sukolilo) dan RS Lapangan Tembak (Kedung Cowek).
Kasus pada anak-anak hampir selalu tertular dari anggota keluarga. Dengan begitu, anak-anak menjalani isolasi terpusat bersama orangtua atau anggota keluarga lainnya yang terpapar. ”Orangtua mendampingi sampai anak-anak dinyatakan sembuh,” katanya.
Tingkat kesembuhan pasien tanpa gejala atau ringan rata-rata sampai sepekan atau tujuh hari. Namun, setelah keluar dari fasilitas isolasi, pasien termasuk anak-anak harus menambah masa isolasi mandiri di rumah selama sepekan agar kesembuhan optimal.
”Meski anak-anak termasuk kelompok rentan, kami belum menemukan kasus bahwa anak-anak membutuhkan perawatan khusus,” kata Nanik. Namun, situasi itu bisa berbeda terutama bagi anak-anak yang memiliki penyakit bawaan sejak lahir. Fatalitas Covid-19 meningkat bagi kelompok yang secara fisik rentan, yakni berpenyakit bawaan atau komorbid dan belum vaksin.
Secara terpisah, Ketua Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Jatim Sjamsul Arif meminta aparatur responsif dalam penanganan, pengendalian, dan pencegahan pandemi. Misalnya, ketika situasi memburuk, pemerintah harus mengevaluasi kegiatan pembelajaran tatap muka atau persekolahan yang sedang berlangsung.
”Tujuannya bukan sekadar menekan kemunculan kluster sekolah, melainkan perlindungan terhadap anak-anak,” kata Sjamsul.
Untuk masyarakat, terutama keluarga, penerapan protokol kesehatan harus lebih disiplin dan tegas. Orangtua yang berisiko terjangkit sebaiknya rutin memeriksakan kesehatan dan menjalani tes Covid-19. Jika kondisi kesehatan tidak fit, di rumah beraktivitas dalam kerangka protokol, yakni bermasker, menjaga kebersihan, dan menjaga jarak.