Banyak kasus Covid-19 menyebar melalui orang-orang terdekat yang positif tetapi tanpa gejala atau bergejala ringan. Kesadaran publik untuk waspada harus dibangkitkan kembali.
Oleh
DEONISIA ARLINTA, TATANG MULYANA SINAGA
·4 menit baca
KOMPAS/AGUS SUSANTO
Warga melintasi baliho ajakan mewaspadai gejala Covid-19 varian Omicron di Balai Kota Bekasi, Jawa Barat, Kamis (10/2/2022). Lonjakan kasus positif Covid-19 melanda aglomerasi Jabodetabek. Kasus Covid-19 varian Omicron kian melonjak dan melampaui gelombang kasus varian Delta. Masyarakat diminta tidak panik dan tetap mematuhi protokol kesehatan.
JAKARTA, KOMPAS — Penambahan kasus Covid-19 dalam sebulan terakhir terus berlipat secara eksponensial. Bahkan, pada 12 Februari 2022 terdapat 55.209 kasus baru sehari atau hampir menyamai puncak gelombang kedua infeksi pada 15 Juli 2021 dengan 56.757 kasus baru.
Satu hal yang harus menjadi perhatian dalam lonjakan kasus Covid-19 saat ini adalah hadirnya varian Omicron yang menyebar lebih cepat dibandingkan dengan varian Delta.
Meski banyak orang terinfeksi varian Omicron tidak bergejala atau bergejala ringan, varian tersebut tetap bisa memicu gejala berat jika menginfeksi kelompok rentan. Misalnya, warga lanjut usia, orang dengan penyakit penyerta, orang belum divaksin Covid-19, dan anak-anak. Oleh sebab itu, varian Omicron tidak boleh diremehkan.
Kasus tanpa gejala dan bergejala ringan cenderung membuat orang yang terinfeksi merasa baik-baik saja, tetapi tetap bisa menularkan kepada orang lain. Ancaman varian ini ibarat ”kuda troya” yang masuk ke lingkungan keluarga melalui orang-orang terdekat.
Epidemiolog dari Universitas Gadjah Mada, Riris Andono Ahmad, mengatakan, mobilitas masyarakat harus dikurangi untuk menekan risiko penularan. Pengabaian terhadap Omicron karena menganggap gejalanya tidak parah justru berbahaya saat berinteraksi dengan anggota keluarga di rumah.
”Mereka (orang dengan mobilitas tinggi) akan menjadi risiko bagi keluarganya, terutama lansia yang punya komorbid dan anak-anak,” ujarnya saat dihubungi di Jakarta, Sabtu (12/2/2022).
KOMPAS/RADITYA HELABUMI
Sejumlah anak terlihat tidak memakai masker saat bermain di kawasan Waduk Pluit, Jakarta Utara, Minggu (13/2/2022). Sudah satu pekan ini PPKM level 3 diberlakukan di Jakarta untuk mengendalikan lonjakan kasus baru Covid-19, terutama yang disebabkan varian Omicron. Namun, disiplin warga untuk menjaga protokol kesehatan masih saja terabaikan.
Kepala Bidang Pengembangan Profesi Perhimpunan Ahli Epidemiologi Indonesia (PAEI) Masdalina Pane mengatakan, kesadaran masyarakat akan ancaman penularan Covid-19 perlu dibangkitkan kembali. Sekalipun persentase kematian akibat varian Omicron lebih kecil, jika kasus penularan meningkat secara eksponensial, kasus kematian juga tetap tinggi. Beban di fasilitas kesehatan juga besar.
”Apabila kasus harian meningkat enam kali lipat, sekalipun persentase kasus yang masuk rumah sakit dan kasus kematian lebih kecil, jumlahnya akan tetap besar. Belum lagi jika kasus meluas di luar Jawa-Bali yang memiliki keterbatasan infrastruktur kesehatan. Upaya untuk memutus rantai penularan harus dipastikan dijalankan secara efektif,” tuturnya.
Laporan Kementerian Kesehatan, varian Omicron sudah semakin luas ditemukan dengan transmisi lokal lebih mendominasi. Per 11 Februari 2022, ada 5.027 kasus varian Omicron di Indonesia. Sebanyak 43,8 persen di antaranya merupakan transmisi lokal, 37,5 persen berasal dari pelaku perjalanan luar negeri, dan sisanya masih dalam penyelidikan epidemiologi.
Dari laporan itu, penularan Omicron sudah terdeteksi di 40 kabupaten/kota yang tersebar di 13 provinsi, meliputi DKI Jakarta (2.035 kasus), Jawa Timur (60), Papua (21), Banten (20), Jawa Barat, (17), Bali (16). Kemudian Sumatera Utara (15), Jawa Tengah (9), Lampung (5), Nusa Tenggara Barat (2), serta Riau, Sulawesi Selatan, dan Sumatera Selatan masing-masing 1 kasus.
Sementara menurut data pengurutan genom utuh spesimen SARS-CoV-2 di bank data GISAID, pada 1-13 Februari 2022, dari 3.141 spesimen yang dilaporkan, 2.544 di antaranya merupakan varian Omicron.
Mantan Direktur Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Asia Tenggara Prof Tjandra Yoga Aditama menyebutkan, masih ada orang yang kurang peduli untuk tes Covid-19 saat merasakan gejala penyakit itu. Salah satu alasannya, gejala yang dialami relatif ringan.
”Kalau yang terinfeksi masih muda, mungkin akan baik-baik saja. Tetapi, saat pulang ke rumah dan bertemu orangtuanya, situasi tidak sesederhana itu,” ucapnya.
Komunikasi risiko
Masdalina menuturkan, puncak kasus gelombang ketiga belum bisa diprediksi. Sementara tingkat kewaspadaan masyarakat akan penularan Covid-19 justru melemah.
Menurut dia, komunikasi risiko yang dibangun pemerintah berperan mengendurkan sistem pertahanan masyarakat dalam mengendalikan pandemi. Meski sebagian besar kasus yang ditemukan tidak bergejala atau bergejala ringan, penularan varian Omicron tetap berbahaya.
”Jumlah kasus bertambah, bahkan jumlahnya semakin besar. Artinya, containment (penahanan) kita tidak efektif. Kondisi sekarang seperti tidak ada intervensi untuk meredam penyebaran kasus,” kata Masdalina.
Kalau yang terinfeksi masih muda, mungkin akan baik-baik saja. Tetapi, saat pulang ke rumah dan bertemu orangtuanya, situasi tidak sesederhana itu.
Penularan varian Omicron sangat cepat. Pada varian Delta, setiap satu kasus bisa menular ke 2-4 orang, sedangkan varian Omicron bisa lima kali lipat atau setiap kasus bisa menulari 10-20 orang bergantung pada seberapa banyak orang yang berinteraksi dengan mereka yang positif Covid-19.
Masa inkubasi Omicron lebih cepat. Jika sebelumnya masa inkubasi 2-14 hari, varian Omicron memiliki masa inkubasi kurang dari dua hari. Penularan bisa terjadi tanpa harus menimbulkan gejala lebih dahulu. Karena itu, transmisi varian Omicron lebih mudah dan cepat. Jumlah anak yang tertular juga cukup banyak.
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Kementerian Kesehatan Didik Budijanto mengatakan, antisipasi menghadapi skenario terburuk dilakukan dengan memperkuat koordinasi seluruh pemangku kepentingan dan penguatan sumber daya.
Langkah-langkah lainnya juga dijalankan, seperti memperkuat promosi kesehatan, tes, lacak, dan isolasi, serta perluasan vaksinasi.
”Kita juga memperkuat layanan telemedicine untuk melayani pasien yang menjalani isolasi mandiri. Sebanyak 17 platform layanan telemedicine sudah bekerja sama melayani masyarakat. Ini akan kami perluas secara bertahap menyesuaikan kondisi di setiap daerah,” tutur Didik.